Friday, 30 December 2016

Waktu Berhenti di Tahun 2000


Hanya dalam hitungan beberapa jam ke depan kita akan segera menyambut tahun yang baru. Ngga berasa ya? Rasanya baru kemarin kita merayakan pergantian tahun, tau-tau sekarang udah mau ganti lagi aja. Entahlah, apa cuma gue atau semua orang juga mengalami hal yang sama. Tapi kayaknya seiring bertambahnya umur, pergantian tahun pun makin terasa begitu cepat.

Dan yang bikin gue makin berasa ‘dewasa’ adalah ketika gue menyadari bahwa di tahun depan dedek-dedek kita yang lahir di tahun 2000 udah pada bisa punya KTP.

Tahun 2000-an sendiri (tanpa sadar) selalu gue jadikan patokan pas lagi mengingat suatu kejadian di masa lampau. Jadi misalnya ada orang yang bilang “Kejadiannya sih sekitar 20 tahun lalu”, maka otak gue bakal langsung membayangkan bahwa kejadian itu terjadi di tahun 1980. Bukan di tahun 1996.

 

Pun kebalikannya. Misalkan ada orang yang bilang “Kejadiannya di tahun 1980”, maka otak gue menganggap itu terjadi dua puluh tahun lalu. Padahal seharusnya kan 36 tahun yang lalu.

Ini juga yang membuat gue merasa punya persepsi aneh sama setiap mahasiswa baru di kampus gue. Soalnya tiap anak yang gue liat profilnya rata-rata adalah kelahiran tahun 1997. Wtf, Men. Di bayangan gue, orang-orang kelahiran tahun 1997 adalah sekumpulan bocah yang masih duduk di tingkat SD atau paling ngga SMP lah. Bukan mahasiswa.

Padahal tahun kelahiran gue juga sebenarnya ngga jauh-jauh amat dari mereka. Paling beda empat tahun doang. Tapi ngga tau kenapa gue selalu menganggap mereka semua masih anak-anak. Pokoknya menurut gue batasnya itu ada di tahun 1995. DI bawah itu ya gue anggap masih bocah.

Persepsi ini juga, sialnya, gue bawa sampe ke lingkungan tempat tinggal dan keluarga. Bocah-bocah tetangga gue yang dulu masih ingusan sekarang udah pada gede. Sekolahnya pun udah di tingkat SMA, ada yang kuliah, bahkan udah ada yang kerja. Tapi tetap aja, di pikiran gue mereka tetaplah anak-anak yang dulu sering gue isengin.

Gitu juga yang terjadi sama sodara-sodara gue. Mereka yang dulu kecilnya suka rusuh dan petakilan, sekarang udah pada gede-gede dan makin kalem. Ngga keliatan lagi jejak-jejak keberingasannya di masa kecil.

Walaupun tetap aja gue kagok tiap gue tanyain umurnya, mereka menjawab “umurnya 20”, tapi “kelahiran tahun 1996”. Umur 20 jelas udah dewasa menurut gue. Tapi kelahiran tahun 1996? Oh, jelas masih anak-anak kalo dilihat dari “persepsi tahun 2000” tadi.

Fenomena ‘berhenti di tahun 2000’ ini emang soal persepsi doang sih. Tapi menurut gue bakal menarik banget kalo sampe dibahas dari segi keilmuan, semisal dari sisi psikologi atau sains. Gue juga penasaran apakah ada penjelasan ilmiahnya atau ini emang murni karena angka 2000 yang terlalu sering dijadikan patokan?
Tapi apapun penjelasannya, yang pasti gue yakin bahwa gue bukanlah satu-satunya orang yang sering mengalami mis-persepsi ini. Soalnya gue tau, generasi 'matang' kayak lo juga pasti mengalami hal yang sama.

Iya kan?

Thursday, 15 December 2016

Tangis Kematian


Aku tak kuasa menolak ketika diharuskan berpindah tugas ke wilayah yang sama sekali asing untukku.

“Tak mudah untuk bisa masuk ke perusahaan ini. Jangan macam-macam, ikuti saja aturannya.” ujar mereka.

Iya, mereka ada benarnya. Memang sulit sekali bagiku untuk bisa masuk ke perusahaan ini dan mencapai posisiku sekarang.

Maka, aku menurut saja ketika perusahaan menugaskanku untuk pindah ke sebuah daerah terpencil. Daerah ini sebenarnya tidak terlalu jauh dari pusat kota, mungkin hanya sekitar dua jam berkendara dengan mobil. Namun, entah mengapa suasananya kurasakan begitu sunyi dan mencekam.




Aku tinggal di sebuah rumah yang sudah disediakan oleh perusahaan. Rumah ini berada dalam sebuah kompleks perumahan yang baru selesai dibangun. Dan terletak di areal hutan yang jarang dimasuki warga. Bagian paling mengesalkannya, rumahku tepat berada di pojok lokasi perumahan. Sehingga berbatasan langsung dengan hutan belantara pada bagian belakang dan samping kirinya.

Seminggu lalu, rekan-rekan kerjaku berinisiatif untuk mengadakan semacam pengajian di rumah ini. Mereka berpendapat bahwa setiap rumah yang dibangun di atas tanah kosong pasti telah ditempati oleh sesuatu. Oleh karenanya, pengajian perlu dilakukan agar para penunggu itu mau pergi. 

Aku sendiri tidak percaya dengan hal-hal konyol semacam itu. Menggelikan.

Saturday, 10 December 2016

Karena Mayoritas, Kita Harus Menindas


Tanpa ada perencanaan sebelumnya, blog ini tiba-tiba kembali kedatangan seorang penulis tamu. Penulis tamu kita kali ini adalah salah seorang blogger yang juga pakar dalam bidang miring. Penasaran seperti apa pemaparannya? Mari langsung saja kita sambut dengan meriah penulis tamu kita; Ustadz Abu Ghasshaq! (kata ‘Ustadz’ bukan merupakan gelar keagamaan, melainkan nama depan -red).

Karena Mayoritas, Kita harus Menindas

Oleh: Ustadz Abu Ghasshaq

sumber
Salam sejahtera.

Halo jemaah sekalian. Ape kabar nih?

Apakah ente sekalian udah merasa lega abis teriak-teriakan di Monas kemarin? Apa ente juga udah merasa semua emosi ente terlampiaskan di sana? Enak ye abis ngata-ngatain satu orang secara kompak bareng sodara seiman? Iya lah.

Siapa suruh itu orang duluan ngata-ngatain kitab suci kita? Ye gak? Pokoknya kalo sampe itu orang lolos, kita jangan sampe berpangku tangan. Kita sendiri yang harus memastikan itu orang gak bakalan lagi berkutik. Bakar! Bakar! Bakar!

Wednesday, 7 December 2016

Aksi Super Damai dan Superioritas Iman



Aksi Super Damai 212
sumber


Kalo gue disuruh menggambarkan pasca aksi super damai 212 lalu dengan satu kata, maka kata itu adalah ‘norak’. Iya, norak. Tapi tolong jangan dipelintir. Yang gue bilang norak adalah kehebohan pasca aksinya. Alias setelah aksi damai itu telah berakhir.

Aksi damainya sendiri berjalan dengan sangat baik. Gue pun mengapresiasi penuh aksi kemarin. Walau cuma melihat dari layar kaca, namun semangat para massa aksi itu terasa sampe ke bulu kuduk gue. Bikin merinding.

Terus kenapa pasca aksinya gue bilang norak?

Saturday, 26 November 2016

Mempertahankan Pendapat


Hampir dua bulan ini obrolan orang di sekitar gue ngga jauh-jauh dari persoalan seseorang yang melakukan penistaan agama. Bosen, iya. Jengah, pasti. Di timeline sosial media gue pun banyak bertebaran makhluk-makhluk yang saling beradu argumen. Tujuannya bukan buat diskusi, tapi hanya untuk menunjukkan bahwa dirinya lah yang paling benar.

Dari awal kemunculan kasusnya, gue udah berusaha keras buat ngga ikut-ikutan. Biarpun tangan udah gatel banget mau menyanggah semua argumen konyol itu, namun apa daya, gue terlanjur malas. Akhirnya gue coba membiarkan mereka melanjutkan ‘diskusi’ tersebut sambil mengamati dalam diam.

Namun ngga gue sangka, dalam pengamatan itu gue menemukan suatu aktivitas unik yang muncul dari masing-masing pihak. Baik yang pro ataupun kontra. Aktivitas itu gue definisikan sebagai bentuk pertahanan terhadap sebuah fakta yang telah diyakini kebenarannya, dan ego untuk memaksa orang lain agar percaya pula dengan fakta tersebut.

sumber

Friday, 7 October 2016

Betapa Nikmatnya Menghujat Seseorang di Internet


Internet telah menyediakan ruang berekspresi seluas-luasnya untuk setiap orang. Terutama buat orang-orang yang kurang eksis di dunia nyata. 

Internet seakan menjadi satu-satunya jalan bagi mereka agar tetap dianggap ada. Sebuah taman bermain tanpa batas dan tempat berkarya dengan bebas.

Namun kini, di tengah derasnya aliran arus informasi, internet perlahan berubah menjadi rimba luas yang teramat ganas. Kebebasan berekspresi yang seharusnya dimanfaatkan untuk menciptakan hal-hal kreatif, malah dipergunakan untuk berbagai aktivitas negatif.

Salah satu aktivitas negatif yang belakangan sering gue lihat adalah makin banyaknya komentar pedas yang bertebaran di sosial media. Entah itu Twitter, Facebook, Youtube, atau Instagram.

sumber

Kesibukan gue sekarang emang mengharuskan gue buat menganalisa topik yang lagi hangat diperbincangkan di masyarakat. Itulah kenapa gue sering banget berkeliaran di berbagai sosial media untuk mencari informasi terkini. Sayangnya, yang banyak gue temukan bukannya pengetahuan, tapi malah bermacam cacian.

Yap, inilah hal lain yang ditawarkan oleh internet, sebuah kemudahan berkomunikasi. Di mana kita bisa berinteraksi dengan orang lain tanpa harus bertatap muka langsung. Kemudahan yang kerap kali disalahgunakan untuk ‘menyerang’ orang lain secara virtual. Bahkan kepada orang asing yang belum pernah dijumpai sebelumnya. 

Gue sebenarnya udah menganggap fenomena ini sebagai penyakit. Penyakit mental lebih tepatnya. Karena menghina orang asing tanpa alasan yang jelas hanya mungkin dilakukan oleh orang-orang yang ‘sakit’.

Tuesday, 4 October 2016

Dua Puluh Tiga






Oktober kedua puluh tiga
adalah tentang pagi yang diawali dengan cerah ceria.
Diselipi hatur kata penuh semoga dari seluruh sanak keluarga.
Tanpa kue penuh warna,
tanpa kemeriahan pesta.

Hanya ada doa.

Sederhana. Sewajarnya saja.

Ini adalah tentang perpindahan ke lingkungan pembelajaran.
Tentang hidup yang jauh dari gegap gempita,
layaknya sesuatu yang berjalan sesuai semestinya.

Karena memang Oktober kedua puluh tiga
dan mungkin Oktober-Oktober selanjutnya
akan tetap dirahasiakan dari mereka.

Ini adalah tentang siang menyengat.
Di sebuah ruangan pengap. Tersekap. Berkeringat.
Peluh menggumpal pekat tanpa bisa dihambat.

Namun dalam sesaat, segalanya berubah begitu cepat.

Tiba-tiba saja, Oktober kedua puluh tiga
menjelma menjadi senja yang bermuram durja.
Tentang langit gelap yang tertutup hitam awan.
Membawa udara dingin menusuk lewat angin dan tetesan hujan.

Lalu beralih
ke sebuah malam yang menggigilkan.
Menjadikan semangkuk mie instan mendingin perlahan
serta segelas teh manis tak lagi terasa hangat di genggaman.

Ini adalah tentang risau dan letih
yang bergerak lemah dan tertatih.
Dalam diam menginstropeksi semua yang terlewati.

Oktober kedua puluh tiga
adalah tentang usia yang kian menua
dan segenap usaha agar lebih bisa berguna.

Oktober kedua puluh tiga
adalah tentang selaksa harap yang samar terucap
dalam perjalanan menuju lelap.

Semoga masih akan tetap ada
Oktober-Oktober selanjutnya.

Dan
semoga dapat selalu bermakna
di Oktober-Oktober selanjutnya.

Wednesday, 21 September 2016

Jangan Panggil Saya Bunda


Di dalam bahasa Indonesia, kita mengenal berbagai macam kata sapaan atau panggilan untuk orang lain. Dan semuanya tentu didasarkan kepada siapa kita berbicara. Jika kita berbicara kepada wanita yang umurnya tidak terlalu jauh di atas kita, bisa dipergunakan sapaan ‘Kak’ atau ‘Mbak’. Terhadap lelaki yang jauh berumur di atas kita, mungkin sapaan ‘Pak’ akan terdengar lebih cocok.

Dari sekian banyak sapaan, ada beberapa di antaranya yang membuat gue kadang menggelinjang saat mendengarnya. Terutama kata sapa sok asik antara wanita kepada wanita lainnya semacam  ‘Jeng’, ‘Sist’, ‘Beib’, ‘Cyin’, dan sapaan aneh lainnya.

Tapi dari yang beberapa itu, tetap yang paling pecah menurut gue adalah sapaan ‘Bunda’. 

Gue masih ngga ngerti bahwa ada orang di luar sana yang memanggil orang asing yang ditemuinya dengan sebutan Bunda.

Gue bukannya ngga suka sama kata ‘Bunda’. Itu adalah sebuah kata yang bagus menurut gue. Tapi dengan catatan, penggunaannya harus disesuaikan. Kalo seorang anak memanggil ibunya dengan sebutan Bunda, tentu cocok. Atau seorang suami kepada istrinya, bolehlah. Tapi kepada orang asing?

Bahkan Ibu gue (yang notabene seorang wanita dewasa) aja geli banget kalo disapa sama orang asing dengan sebutan Bunda. Pernah dulu kejadian doi dipanggil Bunda sama pramuniaga toko pas lagi belanja. Lalu berujung pada jatuhnya mood doi selama seharian penuh.

Itu baru Ibu gue. Gimana dengan wanita lain di luar sana? 

Atau gimana kalo yang dipanggil ‘Bunda’ adalah... seorang lelaki gondrong yang gagah dan penuh wibawa?

Wednesday, 14 September 2016

Jack Ma dan Geliat Pengusaha Indonesia


Pemerintah Indonesia akan menjadikan Jack Ma sebagai salah satu dewan penasihat kegiatan e-Commerce di Indonesia.

Begitulah kira-kira wacana yang sedang hangat diperbincangkan beberapa hari belakangan ini.

Jack Ma

Sejujurnya saya agak was-was ketika pertama kali mendengar wacana tersebut. Bukannya apa-apa, tapi pasar online di Indonesia memang sudah sejak lama menjadi incaran Alibaba, perusahaan yang berada dibawah kendali Jack Ma. Dengan memberikannya posisi dewan penasihat, sama saja kita mengantarkan daging segar kepada harimau lapar.

Friday, 2 September 2016

Menjual Air Mata


Berkutat di dunia bisnis online memaksa gue untuk harus selalu update tentang hal-hal kekinian. Gunanya adalah untuk membantu gue membuat konten yang relevan dan ngga ketinggalan zaman. Dengan begitu, produk yang gue pasarkan bisa direspon positif sama pasar. Dan ujung-ujungnya angka penjualan dapat meningkat pesat. Yang artinya apa? Yak, betul. Uang.

Namun sekeras apapun gue coba membuat konten yang kekinian, produk yang gue pasarkan tetap ngga begitu laris. Angka penjualan memang naik, tapi ngga signifikan. Beda banget sama pemain-pemain lain yang juga berkecimpung di bidang ini.

Padahal semua cara udah gue terapkan. Mulai dari menggunakan bahasa yang persuasif, menyelipkan unsur humor, membuat quote-quote motivasional, mengadakan kuis, hingga promo diskon gla-gilaan. Tapi hasilnya tetap ngga maksimal.

Karena penasaran, gue terus berusaha mencari cara paling efektif lewat observasi ke pemain-pemain besar lainnya. Gue coba perhatikan strategi yang mereka terapkan dengan teliti. Sampai akhirnya gue menemukan satu metode ajaib yang ngga pernah gue sadari sebelumnya.

Metode itu gue sebut dengan ‘mengeksploitasi air mata’.

Cara kerjanya adalah dengan menampilkan konten yang penuh muatan emosional. Kalo misalkan kontennya kurang menguras emosi, maka harus dilakukan dramatisasi. Bisa dengan menambahkan caption hiperbolis, atau menyelipkan narasi surrealis. Pokoknya apapun caranya agar bisa menyita perhatian dari pasar.

Friday, 29 July 2016

Terlena Judi Bola


Dunia sepakbola udah menjadi industri yang sangat menjanjikan. Kalo dulu pekerjaan sebagai pemain sepakbola dianggap ngga bermasa depan, lain halnya dengan sekarang. Jelas. Soalnya sekarang gaji pemain sepak bola bisa mencapai ratusan juta rupiah per bulannya. Bahkan pemain bintang macam Messi atau Ronaldo bisa dibayar miliaran rupiah per minggu. Iya, per minggu.

Dengan perputaran uang yang begitu tinggi, sepakbola membawa keuntungan berlimpah bagi bisnis-bisnis terkait. Selain televisi karena hak siarnya, satu bisnis lain yang meraup untung besar adalah judi bola. 

judi bola
Mungkin terdengar blo’on, tapi dulu gue sempat terjebak ke dalam kegiatan nista ini. Walaupun masih dalam skala kecil, alias judi bola ecek-ecek.

Friday, 22 July 2016

Asal Usul Pisang Goreng


Alkisah, di sebuah kerajaan antah berantah, hiduplah sepasang suami istri yang sangat berkekurangan. Bahkan tiada hari yang mereka lewati tanpa penderitaan. Namun begitu, mereka tetap berbahagia karena merasa telah memiliki satu sama lain.

Sang suami adalah sosok lelaki gagah berwajah rupawan yang bernama Andrei Stetoskov. Kedua orangtuanya merupakan bangsawan Rusia. Pengaruh kuat sang ayah membuat Stetoskov dapat bekerja sebagai auditor di gudang emas kerajaan.

Sedangkan si istri bernama Sambut Dia Lahir, atau biasa dipanggil Sambut. Ia lahir dan tumbuh besar dalam lingkungan keluarga jelata di kerajaan. Sehari-hari ia bertahan hidup dengan menjadi barista di kedai penyamun. 

Walaupun memiliki pekerjaan tetap, namun mereka berdua selalu hidup dalam keadaan memprihatinkan. Itu semua disebabkan ulah Sambut yang gemar sekali melakukan sabung ayam. Hutangnya bahkan sudah melebihi pendapatan ia dan suaminya.

Friday, 15 July 2016

Pokemon Go dan Potensi Bahaya di Dalamnya



Beberapa hari terakhir, para gamers di seluruh dunia lagi heboh-hebohnya dengan sebuah game yang bernama Pokemon Go. Buat yang belum tau, Pokemon Go adalah sebuah game berjenis augmented reality, di mana game ini memasukkan unsur virtual ke dalam dunia nyata.

Kalo kalian pernah main game Mosquitos di HP Nokia jadul, nah kira-kira begitulah konsep augmented reality. Game Mosquitos bakal mengaktifkan kamera HP guna merekam keadaan di sekitar, lalu memasukkan nyamuk virtual ke dalam layar. Nyamuk-nyamuk virtual itu nantinya harus kita tembak dengan menekan tombol tertentu untuk mendapat skor.

Pokemon Go sebenarnya mirip seperti itu, cuma dalam level yang lebih tinggi lagi. Ngga hanya gambar dari kamera, game ini juga menyertakan fitur GPS. Jadi posisi pemain dan setting lokasi di dalam game didasarkan pada keadaan dunia nyata.

sumber


Dalam Pokemon Go, kita diharuskan untuk berkelana mencari monster-monster Pokemon yang berkeliaran di sekitar. Berhubung ini game augmented reality, maka ‘berkelana’ di sini diartikan secara harfiah. Yang berarti kita diwajibkan untuk benar-benar berjalan ke luar ruangan. Mencari keberadaan Pokemon dengan peta sesuai tempat di mana kita berada. Untuk penjelasan lebih lengkap bisa cek di sini.

Kedengarannya emang sangat menarik. Terutama bagi penggemar anime dan game versi jadul Pokemon di Nintendo. Kalo dulu mereka hanya bisa berburu Pokemon dalam game, sekarang mereka bisa melakukannya secara nyata. Ini ibarat sebuah mimpi yang menjadi kenyataan buat seluruh fans Pokemon di muka bumi.

Namun terlepas dari gameplay yang teramat keren, gue malah kepikiran soal faktor keamanannya.

Dengan konsep menggabungkan dunia game dan dunia nyata, game ini sebenarnya cukup membahayakan pemainnya. Terlebih buat orang-orang ceroboh macam gue ini. Karena saat lagi berburu Pokemon, kemungkinan besar perhatian kita tersedot sepenuhnya ke gadget dan menghiraukan keadaan sekitar.

Ngga usah jauh-jauh. Sore beberapa hari lalu, pas gue lagi beli cemilan ke luar rumah, gue melihat sendiri ada orang hampir celaka gara-gara Pokemon Go. Jadi, pemain Pokemon Go ini adalah seorang bocah. Dari awal gue udah mulai curiga sama cara jalannya yang serampangan. Ditambah lagi dia terus-terusan mantengin layar smartphone-nya..

Benar aja, ngga berapa lama dia mulai berjalan ke arah got di pinggir jalan sambil tetap melihat layar HP. Itu bocah hampir aja nyusruk ke dalam got. Untungnya sebelum itu terjadi, dia keburu diteriakin sama tukang-tukang makanan di dekat sana. 

Itu cuma satu contoh kecil dan sepele emang. Tapi coba lihat potensi bahaya yang timbul.

Si bocah tadi masih bisa dianggap beruntung karena dia bergerak ke arah pinggir jalan dan sempat disadarkan. Terus gimana kalo dia bergerak ke tengah jalan di mana banyak kendaraan yang berlalu-lalang? Gimana kalo di sekitarnya ngga ada orang yang meneriaki dia? Kebayang kan apa yang bakal terjadi?

Gue sendiri bukan tipe orang yang penuh kewaspadaan. Itulah mengapa gue selalu berhenti mencari tempat aman sekiranya harus membuka HP buat texting. Tapi Pokemon Go adalah hal yang berbeda. Kita ngga bisa diam aja. Karena untuk mencari Pokemon-nya, kita harus terus bergerak. Bergerak sambil terus menatap layar smartphone lebih tepatnya.

Serius, ini kegiatan yang berbahaya.

Kecelakaan lalu lintas sangat mungkin terjadi. Entah kita sebagai korban ataupun pelaku. Sekedar info, Pokemon Go ini memungkinkan kita berburu Pokemon menggunakan kendaraan. Dengan catatan kecepatannya harus sangat minim. Lah, jalan kaki sembari main gadget aja udah bahaya, apalagi kalo sambil naik motor atau mobil?

Dan potensi bahayanya bisa meningkat pesat apabila game ini dimainkan oleh anak-anak. Selain karena lebih ceroboh, anak-anak juga dinilai lebih mengundang tindak kejahatan. Ya, melihat ada bocah yang mengacung-acungkan smartphone tentu menjadi sebuah pemandangan menarik bagi para pelaku kriminal.

Kalo cuma diambil smartphone-nya mungkin ngga terlalu masalah. Toh, masih bisa diganti. Yang gue takutkan, tindak kejahatannya bergeser ke hal-hal yang ngga pernah kita duga sebelumnya. Maka dari itu gue ngga menyarankan para bocah untuk memainkan game ini. Terkecuali dalam pengawasan orang tua.

Oke, mungkin gue  terlalu berlebihan. Mungkin pada praktiknya kejadian buruk yang tertulis di atas ngga akan pernah terjadi. Mungkin itu semua hanya ada dalam awang-awang belaka. Gue harap juga  demikian. Dan gue yakin kalian pun berharap hal yang sama.

Namun sayangnya, potensi bahaya selalu ada.

Jadi, tetaplah berhati-hati~

Friday, 10 June 2016

Kacang dan Penggunjing

Sebagai penikmat bubur ayam, saya seringkali dibuat kesal dengan hadirnya sesendok kacang tanah di sana. Kacang tanah, dengan teksturnya yang keras, telah merusak kesempurnaan komposisi semangkuk bubur yang penuh kelembutan. 

Bubur, kuah kaldu, suwiran ayam, daun seledri, bawang goreng, serta kecap, semuanya bertekstur lembut. Jikapun ada yang harus bertesktur tidak lembut, maka tempat itu telah diisi oleh kerupuk yang crispy dan renyah. Bukan kacang.

sumber

Kacang tanah goreng tidak seharusnya berada dalam semangkuk bubur. Ini merupakan sebuah penistaan kuliner.

Sama halnya dengan kacang dalam bubur, tatanan hidup bermasyarakat kita pun tak luput dari penistaan atau penodaan. Dalam hal ini, pelaku utama penodaannya adalah para manusia yang gemar membicarakan orang lain. Atau nama lainnya, penggunjing.

Dan berbekal pengamatan selama bertahun-tahun, saya coba membagi manusia -manusia tersebut ke dalam tiga kelompok besar.

Friday, 27 May 2016

Menyerahlah




Coba kau renungkan kembali. Ingatlah semua cucuran keringat bercampur airmata yang selama ini terus menetes. Membanjiri dirimu dengan aliran pengharapan. Dan setelah semua hampir terlewati, kau tetap takkan mendapat apa yang kau inginkan. Lalu kau memilih untuk meneruskan semua kesia-siaan itu?

Mengapa tak menyerah saja?

Bukankah menyerah jauh lebih baik untukmu? Sebab hidup dalam ilusi akan membuatmu semakin terjepit. Kau bertingkah seolah semua baik saja, padahal tidak. Kau bermaksud membuktikan pada semua orang bahwa kau bisa, namun yang terjadi justru sebaliknya.

Kau takkan pernah bisa.

Lihat dirimu. Seseorang yang tidak pantas meraih angan-angannya sendiri. Tidakkah kau merasa bermacam celoteh yang merendahkanmu itu memang benar adanya? Pernahkah kau berpikir bahwa kau memang tidak berhak menggapai segalanya?

Lihat mereka. Orang-orang yang menghendakimu agar secepatnya terjatuh. Amati kembali senyum sinis mereka. Dengarkan gelak tawa yang penuh penistaan itu. Hiruplah aroma kebencian yang menyeruak dari tiap helaan nafas mereka.

Begitu banyak orang yang berharap agar kau segera terjerembab jatuh ke dalam jurang terdalam keterpurukan. Namun kau bersikeras agar tetap berjuang tanpa memedulikan mereka. Untuk apa, kawan? Mengapa tak menyerah saja?

Kepada siapa lagi kau coba membuktikannya? 

Segala ucapan baik yang ditujukan kepadamu hanyalah omong kosong belaka. Jauh di dalam hatinya, orang-orang terdekatmu selalu menginginkan agar kau menyudahi perjuanganmu selama ini. Mereka ingin kau mematikan saja api harapan dalam hatimu.

Api harapan yang bahkan menyala terlalu kecil. Terlalu menyedihkan untuk dilihat sebagai sumber cahaya. Api yang nyaris padam, namun selalu kau lindungi agar tetap menyala. Untuk apa kau lakukan itu, kawan? Mengapa tak kau matikan saja api itu?

Sisa tenagamu kini sudah berada di titik penghabisan. Bahkan hembusan angin yang begitu lemah dapat membuatmu terhempas. Langkahmu terasa goyah ketika menapaki jalan hidupmu yang penuh liku. Namun untuk apa kau terus berjalan, kawan?

Mengapa tak menyerah saja?

Kini coba resapi rasa sakit itu. Yang timbul akibat penghinaan dan pengkhianatan. Butuh berapa kali lagi kau merasakan kesakitan itu? Sampai di penghujung penyesalanmu nanti? Ketika semua sudah terlambat?

Menyerahlah, kawan.

Agar mereka yang membencimu dapat tertawa puas.


Tuesday, 24 May 2016

Tulisan yang Salah


Mengutip pernyataan Eka Kurniawan, penulis buku Lelaki Harimau, bahwa blog adalah sebuah platform yang unik. Blog bersifat personal, tapi sekaligus global. Sebab apa yang ditulis di sana sebagai cerita pribadi juga bisa dilihat jutaan orang di seluruh dunia.

Hal yang kurang lebih mirip baru aja gue rasakan seminggu kemarin.

Berawal dari rasa gemas melihat penyebaran berita berlebihan tentang senior gue yang meninggal dunia, gue jadi terbawa emosi. Gue menuliskan di blog ini sebuah postingan yang menyudutkan profesi tertentu. Lalu langsung membagikannya di akun sosmed pribadi gue.

Awalnya emang ngga ada yang peduli. Mungkin semua menganggap tulisan gue pastilah basi. Sampai pada malam setelahnya, ada seorang teman yang membaca. Lalu dia merasa tertarik dan membagikan tulisan gue di akun sosmed-nya dengan menambahkan sedikit opini pribadinya.

Tanpa diduga, tulisan gue mendadak jadi viral. Dibagikan puluhan kali dan dibaca ribuan orang dalam waktu yang terbilang singkat. Sebagai blogger amatir, pastinya gue senang melihat kenyataan ini. 

Setelah tulisan tadi jadi viral, pengunjung blog gue meningkat pesat. Bayangin aja, dalam sehari, jumlah pembacanya hampir menyamai setengah jumlah pengunjung dalam setahun. Grafik pun melonjak tajam. Bahkan tiap me-refresh halaman, pengunjungnya terus aja bertambah. Gokil.

Thursday, 19 May 2016

'Jurnalis' Sampah


Gue sempat memandang jurnalis dan wartawan sebagai profesi yang keren. Bahkan ketika kecil gue pernah bercita-cita menjadi wartawan. Sebab di mata gue, pekerjaan mereka begitu mulia. Yakni menayangkan berita supaya orang-orang bisa tau informasi terkini. Membuka mata masyarakat tentang keadaan dunia luar.

Sumber

Namun keinginan itu berangsur-angsur menghilang. Karena dalam beberapa tahun terakhir, gue melihat profesi ini seperti kehilangan wibawanya. Terutama sejak penggunaan media online mulai merajalela. Para ‘jurnalis’ atau ‘wartawan’ itu lebih mementingkan traffic (jumlah pembaca) ketimbang kualitas informasi.

Akibatnya bisa kita lihat. Berita yang berseliweran di internet kini banyak yang ngga bermutu. Apalagi kalo berasal dari portal berita abal-abal. Ya tujuannya emang tercapai, jumlah traffic membludak. Tapi apakah cuma sebatas itu tujuan yang ingin dicapai? Serendah itukah?

Ke mana perginya para jurnalis yang dulu dianggap sebagai sosok cerdas dan berwibawa?

Wednesday, 11 May 2016

Baik-baik Saja


Sengaja saya menulis ini agar kamu tahu bahwa saya baik-baik saja.

Saya juga ingin kamu tahu bahwa perpisahan kemarin tidak berefek terlalu signifikan dalam kehidupan saya secara keseluruhan.Tulisan bernada sendu yang tempo hari saya buat bukan muncul akibat kepergianmu. Sama sekali bukan.

Semenjak kamu pergi, relatif tidak ada yang berubah dari saya. Saya masih dapat beraktivitas dengan normal. Senormal ribuan hari saat kamu ada. Saya tetap makan dengan lahap, tidur dengan nyenyak, dan bekerja dengan produktif.
Saya baik-baik saja.

Sebaiknya fokuskan pikiranmu pada apa yang kamu kerjakan di sana. Kembangkan dirimu, pelajari hal-hal baru. Jelajahi tiap sudut kota tempat kamu berada. Coba berinteraksi dengan orang-orang sekitar. Lakukanlah semua hal baik demi tercapainya cita-citamu.

Tidak perlu kamu cemas. Jarak ini bukanlah masalah. Sebab ada yang lebih jauh dari jarak. Sebentuk ingatan tentang masa-masa lalu. Tentang pelbagai peristiwa yang terlewati. Tentang interaksi yang begitu hangat. Tentang canda tawa dan keluh kesah. Tentang kita.

Saya akui, saya selalu rindu kamu.

Dan apabila rindu itu datang, doa senantiasa menjadi satu-satunya jawaban. Selaksa doa yang saya yakini sampai kepadamu. Entah lewat untaian hujan, bias sinar rembulan, atau sebait lagu kenangan.

Saya tahu kamu pun sedemikian rindunya. Setumpuk pesan darimu telah menjelaskan semuanya. Kertas-kertas beraroma teh itu. Goresan huruf yang terlihat ragu-ragu. Dan jejak bekas air matamu.

Perjumpaan yang kita harapkan memang belum pasti kapan. Mungkin masih tercantum dalam satuan waktu yang belum terdefinisi. Mungkin lebih lama dari abad, atau lebih singkat dari kecepatan kilat. Walau begitu, saya selalu percaya kelak kita akan kembali bersama.

Tapi sebelum pertemuan itu terwujud, saya ingin kita bersabar. Tahan sejenak segala letupan rindu ini. Lalu nanti kita lepaskan sebagai ledakan. Kita biarkan semua bekerja seperti seharusnya. Pasrahkan jika nanti saya harus memelukmu erat-erat. 

Dan selama hari itu belum tiba, saya tidak ingin kamu khawatir.

Karena saya baik-baik saja.

Tuesday, 10 May 2016

Hari Lupus Sedunia


Hari ini, tepatnya tanggal 10 Mei, telah disepakati sebagai Hari Lupus Sedunia (World Lupus Day).

Sekadar pengingat, lupus merupakan sebuah penyakit yang berkaitan erat dengan sistem kekebalan tubuh. Secara sederhana, penyakit ini membuat tubuh kita bermasalah akibat ‘diserang’ oleh sistem kekebalan tubuh kita sendiri. Bagian yang dominan ‘diserang’ adalah organ-organ dalam, seperti paru-paru, jantung, otak, ginjal, dan lainnya.

Lupus kerap kali disebut sebagai ‘penyakit seribu wajah’. Itu karena lupus memiliki banyak gejala, tergantung dari organ yang diserangnya. Jika menyerang jantung, maka pasien akan dicurigai terkena penyakit jantung. Pun jika menyerang organ lainnya. Padahal apa yang sebenarnya terjadi bisa lebih kompleks dari ‘cuma penyakit jantung’ atau ‘cuma penyakit paru-paru’. Karena lupus merupakan penyakit sistemik.

Maka terkadang kondisi odapus (orang dengan penyakit lupus) berbeda satu dengan lainnya. Banyaknya gejala yang timbul membuat penyakit ini sukar dikenali lewat pemeriksaan biasa. Harus melalui rangkaian test kesehatan khusus. 

lupus sedunia, world lupus day
sumber


Begitulah kiranya sekilas info perihal penyakit lupus.

Friday, 29 April 2016

Penebar Kontroversi


Halo sobat internet, apa kabar?

Semoga ente semua baik-baik aja ya.

Oke, sebelum mulai, izinkan ane memperkenalkan diri dulu yak. Nama ane Jeki. Biasa dipanggil Jeki. Kerjaan ane sehari-hari adalah jualan sampah. Bukan, ane bukan seorang pemulung. Rasa-rasanya pekerjaan mereka lebih mulia daripada ane. Terus kalo bukan pemulung, apa dong?

Sebentar, kita flashback sejenak ke tiga tahun yang lalu. Waktu itu kondisi keuangan ane lagi tiris-tirisnya. Istilahnya, mau makan aja sulit. Nah, suatu hari, tanpa sengaja ane ketemu sama seorang teman lama ane. Teman satu SMK, tepatnya. Sedikit soal teman ane, dulunya nih ya, teman ane ini termasuk orang yang sedikit berkekurangan. Bajunya aja itu-itu melulu. Tapi pas waktu itu ketemu, kok ya dandanannya keliatan lebih keren. 

Lalu mulailah ane ngobrol ngalor ngidul sama dia. Penasaran, ane tanya-tanya tuh soal kerjaan dia. Ternyata dia dapet duit banyak dari hasil mainan sosial media. Lah kok bisa? Waktu dia ngejelasin sih ane masih agak kurang ngerti. Terus ane bilang kalo ane bakal ke rumahnya nanti buat nanya-nanya lebih lanjut.

Singkat cerita, abis dijelasin sampe ngerti, ane mulai mengikuti jejak teman ane itu. Masih penasaran sama kerjaan ane? Nih biar ane kasih tau. Ane bekerja sebagai admin beberapa akun di sosial media. Mulai dari Facebook, Twitter, sampai Instagram. Dan kerjaan ane gampang. Cuma bikin dan nyebarin berita atau isu-isu yang lagi hangat. Kadang ane tambahin ‘bumbu’ biar lebih sedap. Kadang ‘bumbu’nya sedikit, kadang banyak. Malah kadang isinya kosong, alias berita yang ane karang-karang sendiri. Yap, inilah ‘jualan sampah’ yang ane maksud. Terdengar hina ya?




Tuesday, 19 April 2016

Obrolan Sampah : Berbeda


“Coy, lagi sibuk ngga?”

“Ngga juga, Sob. Kenapa?”

“Gue mau cerita, boleh?”

“Boleh. Waktu dan tempat dipersilakan.”

“Jadi gini…”

“Ya?”

“Anjir, gue bingung nih mulai darimana.”

“Lah apalagi gue. Yaudah, coba dari yang menurut lo paling ganjel aja.”

“Hmm gue coba ya. Jadi gini Coy, gue kan udah tua…”

“Iya sih, keliatan jelas dari kumis sama jenggot tolol lo itu.”

“Ah, tai. Gue belom selesai ngomong nih. Jangan dipotong dulu kenapa sih?!”

Friday, 15 April 2016

Selembar Asa yang Hilang


Gumpalan awan hitam masih tampak menggantung di langit. Disertai dengan ribuan titik air yang tumpah membasahi bumi. Dari balik jendela kamar, aku memandang ke arah luar. Berniat melihat hiruk pikuk Jakarta di pagi hari, seperti kebiasaanku di pagi-pagi sebelumnya. Namun yang kudapat hanyalah sepi. Begitu sunyi, gelap, dan kelam. Layaknya sebuah pagi yang dimulai dengan teramat muram.

Semilir angin yang masuk dari sela-sela jendela pun terasa dingin menggigit tulang. Aneh, tak biasanya suhu udara Jakarta dapat sedemikian rendah. Hawa dingin ini mendesakku untuk segera menyeduh secangkir kopi panas. Entahlah, tapi kurasa secangkir kopi dapat memberiku sedikit kehangatan di pagi yang beku ini.

Saat aku baru akan menghirup sesapan pertama, tiba-tiba terdengar suara bel rumahku berbunyi. Tanpa pikir panjang, aku lantas menaruh cangkir kopiku di meja makan dan bergegas keluar untuk menyambut siapapun yang datang. Rasa penasaran mempercepat langkahku menuju halaman. Sebab jarang sekali ada orang bertamu ke rumahku sepagi ini.

Setibanya di halaman, aku melihat sebuah sosok sedang berdiri menunggu di balik pagar. Aku tahu tamuku seorang wanita. Terlihat jelas dari pakaian yang dikenakannya; blouse biru muda, rok span hitam, dan high heels. Serta sebuah tas jinjing merah yang tergantung di tangannya. Semua sangat serasi melekat di tubuh tinggi semampainya. Namun wajahnya yang terhalang payung membuatku tak bisa mengenalinya.

“Ya, cari siapa ya, Mbak?” tanyaku pada wanita itu.

“Hai, Dimas.” sapanya sambil sedikit mengangkat payungnya. Membuat wajahnya dapat kulihat. 

Wanita itu.

Saturday, 2 April 2016

Sakit yang Mengesalkan


daripada sakit hati~
lebih baik sakit di gigi inii~ 
Biar tak mengapa~

Dari petikan lagu dangdut di atas, gue bisa membuat dua kemungkinan. Pertama, kehilangan atau pengkhianatan yang dialami sama si penyanyi emang parah banget, hingga membuat dia sangat depresi. Dan kemungkinan kedua, dia belum pernah sakit gigi.

Kenapa gue bisa bilang begitu? Yap, karena gue baru aja mengalami yang namanya sakit gigi. Dan demi Tuhan, rasanya itu sakit banget. Lebih sakit dari ngeliat gebetan pamer foto mesra bareng pacar barunya. Serius.

Jadi ceritanya, gigi gue yang graham bawah sebelah kanan sempat bolong beberapa tahun lalu. Dan udah ditambal. Semua berjalan baik-baik aja. Sampai pada sebulan kemarin gigi ini kembali berulah. Tambalan yang udah bertahun-tahun ngga gue kontrol, ternyata berlubang dan menyebabkan sakit.

Aaaackk gigiku sakit sekali!
Sakitnya emang datang secara bertahap. Pertama cuma ngilu-ngilu doang. Gue ngga ambil pusing dan tetap beraktivitas seperti biasa. Tapi ngga taunya makin lama sakitnya makin menggila. Dari yang awalnya cuma ngilu-ngilu berubah jadi sensasi kayak disayat-sayat. Terus gusi gue pun perlahan membengkak.

Bengkaknya beneran gede bahkan sampai membuat pipi gue menggembung. Ditambah lagi, sakit yang awalnya terpusat di sekitar gigi, lambat laun menyebar hingga ke kuping dan kepala. Gokil betul. Maka jika ada orang yang lebih memilih sakit gigi daripada sakit hati, bisa dipastikan level sakit hatinya udah tingkat expert.

Friday, 18 March 2016

Setahun Berbagi


Setahun lalu, tepatnya pada 17 Maret 2015, untuk pertama kalinya gue mempublikasikan tulisan di blog ini. 

sumber
Awalnya, gue membuat blog dengan didasari keinginan untuk menuliskan semua proses pengobatan TB paru gue secara terperinci. Yap, setahun lalu, penyakit paru gue kambuh dan itu menyebabkan trauma yang cukup dalam. Sebab gara-gara proses pengobatan sebelumnya, gue tumbang. Beneran ngga bisa melakukan aktivitas fisik dan harus bedrest selama enam bulan. 

Ingatan buruk itu terus menghantui bahkan setelah gue dinyatakan sembuh. Sehingga pas dokter menyatakan penyakitnya kambuh, gue panik. Gue masih ngga siap menghadapi efek samping dari obat-obatan itu lagi. Bayangan tentang rasa mual, lemas, dan pusing terus muncul di pikiran gue. Padahal gue belum minum obatnya sama sekali. 

Begitu keluar dari ruang praktik dokter, gue langsung ke bagian rawat inap. Menanyakan apakah ada kamar rawat yang tersedia, menanyakan prosedur birokrasinya, sampai biaya per malam.

Bahkan keesokan harinya gue langsung membuat blog ini karena gue pikir setelah pengobatan gue bakalan ambruk lagi. Dan berpikir satu-satunya hal yang bisa gue lakukan cuma menulis. Iya, gue se-desperate itu.

Friday, 11 March 2016

Ompung


Ompung (diucapkannya ‘opung’) adalah panggilan buat kakek dan nenek dalam bahasa Batak. Dan berhubung gue keturunan Batak tulen, maka gue punya empat orang Ompung kandung. Yang terdiri dari kakek-nenek dari pihak Bapak dan kakek-nenek dari pihak Ibu.

Tiga di antara mereka sudah wafat sejak gue masih kecil. Menyisakan satu nenek dari pihak Ibu. Alias ibunya Ibu gue. Sedikit mengenai Ompung gue ini, beliau merupakan tipe orang yang sangat mudah disukai. Istilahnya, very lovable person. Ngga pernah gue dengar omongan dari para saudara tentang keburukan beliau.

Hal yang paling gue kagumi dari Ompung adalah ketaatan ibadah dan pola hidup sehat yang dijalaninya. Sholat lima waktunya selalu terjaga. Jangankan yang wajib, bahkan sholat sunnah aja gue lihat selalu dilaksanakan tanpa putus. Beliau pun rutin mengikuti mengaji dan berdzikir tiap malam. Religius sekali.

Selain masalah ibadah, beliau juga sangat menjaga kesehatannya, terlebih dalam urusan makan. Ompung bukanlah orang yang suka mengonsumsi makanan berlemak layaknya masyarakat Sumatera pada umumnya. Untuk lauk makanan, beliau lebih suka sayur rebus dan ikan goreng aja. Kadang ditambah sambal terasi Medan. Ngga neko-neko dan yang pasti menyehatkan.

Sunday, 21 February 2016

Bermonolog di VLog


Baru-baru ini muncul lagi suatu tren dalam kancah perinternetan di Indonesia. Belum cukup puas berekspresi hanya lewat tulisan atau suara, maka hadir sebuah alternatif cara “nyampah” yang keren. Yakni bercerita menggunakan media audiovisual alias video. Atau istilah gaulnya: VLog (bacanya ‘vlog’ ya, bukan ‘vlog’).

Secara sederhana, VLog ini adalah blog dalam format video. Jadi kalo di blog kita menyampaikan ide melalui tulisan, nah dalam VLog, kita mengungkapkannya lewat video. Kegiatan membuatnya disebut “VLogging” dan orang yang membuatnya disebut “VLogger”.

sumber

VLogging atau kegiatan pembuatan VLog ini seringnya dilakukan sendiri dengan merekam semua hal yang mau disampaikan dengan menggunakan kamera (dan kadang microphone tambahan). Dengan kata lain, ‘curhat’ di depan kamera yang sedang merekam. Makanya kebanyakan VLogger melakukan ini di ruang privat seperti di studio atau paling simpel ya di kamar. Karena bakalan aneh banget kalo lagi di tempat umum terus mereka ngomong sendiri di depan kamera.

Tuesday, 9 February 2016

Mencari Tambatan Kaki


Sepatu merupakan salah satu aset penting dalam menunjang penampilan. Makanya banyak orang menginvestasikan uangnya buat beli bermacam model sepatu. Bahkan bagi sebagian orang, terlebih cewek-cewek, berbelanja sepatu bisa dijadikan sarana pelepas stress. Sayangnya, hal tersebut ngga berlaku buat gue.

Dari dulu gue selalu malas kalo disuruh belanja sepatu. Terutama sepatu sekolah. Karena seperti sekolah negeri pada umumnya, sejak SD gue selalu diwajibkan memakai sepatu hitam. Full. Ngga boleh ada aksen warna lain. Ketika SD, masalah pemilihan sepatu emang berjalan baik-baik aja.

Mulai masuk ke SMP, aktivitas mencari sepatu perlahan berubah jadi momok buat gue. Beberapa kali kejadian, gue udah naksir berat sama salah satu model sepatu, pas diteliti ternyata ada aksen warna lain. Dan yang paling sering terjadi, model sepatu oke, warna hitam full, harga terjangkau, eh ngga ada ukurannya.
Emang segede apa sih kaki anak SMP sampe ngga ada sepatu yang muat? Well, di umur segitu, percaya atau ngga, ukuran kaki gue udah menyentuh angka 44 (Euro) atau 11 (UK). Gambaran kasarnya, sebelah telapak kaki gue udah bisa menutup seluruh muka Daus Mini.

Iya, sebesar itulah.

Tuesday, 2 February 2016

Penantian sang Pesakitan


Armin tidak tahu mengapa Bu Jariah terlihat begitu marah kepadanya.

Masih teringat jelas ketika tadi Bu Jariah memanggilnya di saat pelajaran sedang berjalan. Beliau langsung masuk ke kelas tanpa menghiraukan guru matematika yang sedang mengajar. Raut wajah Bu Jariah menunjukkan seolah beliau sanggup menelan tubuh Armin bulat-bulat.

“Armin, istirahat nanti segera ke ruangan saya!” ucap Bu Jariah dengan sedikit menyentak. Setelah itu, beliau keluar tanpa pamit.

Tidak banyak yang bisa dilakukan Armin. Ia hanya bisa mengangguk-angguk mendengar perintah dari Bu Jariah. Berdasarkan perhitungannya, Armin hanya punya empat puluh menit sebelum pergi ke ruang BP, neraka bagi seluruh siswa di sekolahnya. Empat puluh menit yang entah kenapa terasa berjalan begitu cepat sekarang.

Guru matematika di hadapan kelas pun tidak lagi diperhatikan Armin. Pikirannya hanya terfokus pada permasalahan dengan Bu Jariah. Ada apa sebenarnya? Kenapa Bu Jariah terlihat sangat marah padanya? Ia memang sudah menjadi pesakitan di sekolah. Dari sejak kelas 10 sudah tak terhitung berapa kali keluar masuk ruang BP. Tapi tidak pernah ia lihat Bu Jariah semarah ini.

Wednesday, 27 January 2016

Terbentur Perbedaan


Adalah Vanessa nama cewek yang tadi gue ajak berkenalan di kantin kampus. Sejujurnya sudah lama cewek satu ini menarik perhatian gue. Ngga tau kenapa rasanya adem aja tiap melihat dia. Apalagi kalau memandangi wajahnya yang berbentuk oval, dengan mata sipit dan hidungnya yang mancung. Dilengkapi bibir tipisnya, maka bisa gue bilang wajahnya oriental sekali. 

Perawakannya proporsional dan cukup tinggi untuk ukuran cewek. Kira-kira 170-an centimeter. Kulitnya putih bersih terawat layaknya putri raja. Tapi yang paling ngga bisa gue lupakan adalah suaranya. Lembut sekali. Terbayang terus merdu suaranya saat adegan perkenalan di kantin tadi.

“Aku Vanessa” ujarnya seraya mengulurkan tangan.

“Adam.” gue berkata sambil menyambut uluran tangannya. Halus.

Itulah cuplikan adegannya. Sisanya biar gue simpan sendiri

Oh ya, nama gue Adam. Tapi tenang, gue bukan Adam yang kalian kira. Gue bukan sosok yang awalnya tinggal di Surga, terus makan buah khuldi, dan berujung dibuang ke bumi. Itu Adam yang lain. Dan gue juga bukan lelaki berkumis tebal yang beristrikan penyanyi dangdut.

Wednesday, 20 January 2016

Kembali Digunakan



Fashion is not my passion.

Agaknya ungkapan itu cocok buat menggambarkan diri gue. Prinsip gue dalam berpakaian adalah ‘asal jangan telanjang’. Maka jangan heran kalo gue seringkali berpakaian seadanya. Buat gue, kaos oblong dan celana jeans gombrong adalah perpaduan maut. Tingkat kenyamanan yang tercipta sungguh sangat tinggi.

Kaos oblong merupakan pilihan paling ideal buat orang berdarah panas macam gue. Sedangkan jeans gombrong sangat berjasa menunjang pergerakan. Begitu nyaman, adem, dan membebaskan. Oh ya, ditambah dengan sepatu kanvas butut yang udah mengikuti bentuk kaki. Sempurna.

Wednesday, 13 January 2016

Maaf Terakhir


“Ra, aku minta maaf.”

“...”

“Iya, emang tadi aku yang salah karena telat bangun pagi. Aku salah karena semalam begadang nonton tim bola jagoan aku. Tapi kamu tau sendiri kan? Semalam, tim jagoan aku lagi ngelawan musuh bebuyutannya, ngga mungkin aku lewatin, Ra.”

“...”

“Lagian tadi aku juga udah sebisa mungkin biar kita bisa tepat waktu sampe di acara temenmu itu. Aku udah ngebut banget bawa motornya, Ra. Bahkan walau ngga pake kacamata, aku tetap paksain buat ngebut.”

“...”

“Ra, bener sekarang aku nyesel banget. Aku ngga nyangka bakal begini akhirnya.”

“...”

“Zahra sayang, maafin aku ya.”

“...”

“Kamu mau kan maafin aku? 
Ra? Zahra? 
Zahra!”

“...”

Cklek!
Pintu ruangan terbuka. Muncul sesosok pria paruh baya mengenakan jas putih dan mengalungkan stetoskop di lehernya. Terlihat ia membawa sebuah papan jalan dengan selembar kertas di tangan yang lain.

“Apa Anda anggota keluarganya?

“I..iya, Dok. Saya suaminya.”

“Bisa tolong tandatangani ini?”

“Apa ini, Dok?”

“Surat persetujuan tindak otopsi.”

Tuesday, 5 January 2016

Geng Kuda dan Resolusi Tahunan


Pertama, biar seperti anak gaul lainnya, izinkan gue mengucapkan

“Happy New Year! Oh 2016, please be nice!”

Oke sudah.

2016


Jadi gimana nih keadaan setelah double long weekend kemarin? Masih kebawa suasana liburan atau udah fokus sepenuhnya menjalani kenyataan?.Mudah-mudahan sih makin semangat ya beraktivitas.

Gue sendiri menghabiskan liburan kemarin cuma dengan leyeh-leyeh doang di rumah. Fisik emang ngga bisa bohong. Bahkan gue melihat berita macet di TV aja jadi ikutan capek sendiri. Cemen abis.