Monday 31 August 2015

Kado Tak Sampai


Disclaimer: 
Cerita ini hanyalah fiktif belaka, jika ada kesamaan tempat, nama dan juga cerita adalah hanya kebetulan semata dan tidak ada unsur kesengajaan dari penulis.


Mata gue dengan cermat menelusuri ratusan boneka yang terpajang rapi di tempat ini. Entah kenapa belum ada satupun boneka yang cocok seperti apa yang gue mau. Di kursi dekat kasir gue lihat si jahanam Bayu sedang menggoda pramuniaga toko ini. Sialan, tau gitu gue sendiri aja tadi berangkatnya. Mengajak dia juga percuma, tidak membantu sama sekali. Gue mengalihkan lagi pandangan mencari boneka yang sekiranya pas di hati. Tiba-tiba gue teringat sebuah potongan gambar screenshot chat yang tersimpan di handphone gue. Aha! Gue tahu boneka apa yang harus gue beli.

hadiah, kado,


***********
Satu jam sebelumnya.

Sudah sangat sering gue kedatangan mahluk sialan yang mampir ke rumah gue. Bayu namanya. Gue sudah kenal dia dari awal gue pindah ke rumah yang sekarang gue tempati saat gue SD dulu . Hingga saat ini kami sudah berkuliah, walau berbeda kampus. Tapi dia sering datang mengunjungi rumah gue untuk… entahlah. 

Kerjaan dia setiap datang ke sini cuma menumpang tidur dan sesekali menghabiskan jatah makan gue. Gue juga sudah tidak heran lagi dengan kelakuan absurdnya. Tapi biar absurd, dalam beberapa kesempatan dia sering menunjukkan sisi kedewasaannya. Dan gue lihat sekarang dia mulai menyalakan laptop gue untuk bermain game.

Sunday 30 August 2015

Sepotong Cerita dari Balairung


Jum’at, 28 Agustus 2015

Gue melirik ke arah jam dinding yang tergantung di kamar. Jarum pendek sudah menunjuk ke arah angka dua sekarang. Tanpa pikir panjang, gue bergegas berganti pakaian rumah dengan pakaian yang lebih pantas. Pilihan jatuh pada kemeja lengan panjang kesayangan gue, walau sebenarnya cuaca sore itu sedang panas-panasnya.

Selesai urusan persiapan diri, gue sempatkan untuk mengintip event yang akan didatangi melalui live streaming di Youtube. Keyword yang gue masukkan adalah “Wisuda UI 2015”.


photo by @sayaderri

Yap, gue akan menghadiri acara yang paling ditunggu-tunggu oleh semua mahasiswa; wisuda. Kabar buruknya adalah peran gue sekarang bukan sebagai salah seorang wisudawan, melainkan hanya sebagai orang yang menghadiri wisuda teman-temannya. Target utama jelas si Bos Onta. Beberapa teman yang lain ngga gue niatkan buat ketemu, mengingat pengalaman wisuda sebelumnya yang sangat ramai.

Monday 24 August 2015

Lima Bulan yang Berkesan



Suatu sore beberapa pekan lalu, gue iseng-iseng main ke MIPA. Sepi sih emang, karena mungkin lagi ga ada KBM. Gue liat ada sekelompok anak berjaket kuning berseliweran di sekitar DPR. Tebakan gue sih paling mereka panitia Ospek. Gue lalu duduk sejenak di bangku semen di bawah pohon rindang sambil memerhatikan kegiatan mereka. Menikmati angin sore yang saat itu berembus dengan menenangkan. Membelai permukaan kulit dengan lembut. Cahaya matahari muncul dengan hangat dari balik dedaunan pohon tempat gue berteduh. Gue menyenderkan badan ke belakang dan bersikap sesantai mungkin meresapi suasana ini.


Dari tempat gue duduk, hampir semua bangunan yang ada di sini bisa terlihat. Tapi pandangan gue terpaku ke gedung B yang tepat berada di hadapan gue. Ada sisa-sisa material bangunan di sana. Entah apa yang sedang terjadi, namun sepertinya ada pekerjaan konstruksi yang sedang berjalan. Tanpa gue sadari, gue perlahan berdiri dan bergerak menuju ke arah gedung B. Gue berjalan menuju ruang B101 yang berada di bagian paling bawah gedung. Dengan tetap berhati-hati karena ada semacam beton-beton besar tergeletak di sekitarnya. Gue melongok sejenak ke dalam dan terlihat kosong di sana. Ah, sudah empat tahun rupanya.



Gue pernah baca suatu artikel. Para ilmuwan mengungkap bahwa semua tempat memiliki suatu energi metafisik yang unik bergantung dari subjek yang hadir di sana. Jika kita pernah datang ke suatu tempat, lalu pergi untuk waktu lama dan kembali lagi di lain hari, maka frekuensi energi metafisik di tempat itu akan beresonansi dengan frekuensi otak kita. Menarik kembali memori tentang kejadian di tempat itu yang terjadi pada masa lalu. Gue rasa semua orang juga pasti mengalami ini walaupun secara ga sadar.

Empat tahun lalu, ruang B101 adalah ruangan pertama yang gue masuki di fakultas ini. Seingat gue sih untuk briefing Ospek. Melongok ke dalam sekali lagi, dan seolah-olah gue dapat melihat sosok gue empat tahun lalu sedang memperhatikan pengarahan dari panitia. Seolah melihat sosok teman-teman gue yang masih lugu dan polos mengikuti alur kegiatan Ospek Fakultas waktu itu. Ngga terasa gue malah melamun dan tersenyum sendiri mengingat itu semua.

Gue lantas bergerak menuju ke lantai atas untuk melihat keadaan. Tidak ada perubahan signifikan. Di lantai dua terdiri dari empat kelas. Setiap kelas diberi jatah ruangan besar dengan kontur bertingkat dan berundak-undak, seperti bangunan kelas kampus yang sering kita lihat di televisi. Dinding yang terlihat tak banyak berubah dan ubin kuning yang menyelimuti bagian bawah. Entah memang berwarna kuning atau menguning dimakan usia.

Ada dua tingkat lagi di atas, tapi gue terlalu malas untuk naik. Gue lalu menuju dinding pembatas dan melihat suasana kampus dari atas. Pandangan gue menyapu ke segala arah dan terhenti tepat di gedung Kimia.

Lagi, gue seakan melihat sosok gue dan teman-teman sedang menjalani Ospek. Kali ini Ospek jurusan lebih tepatnya. Rangkaian Ospek inilah yang membuat ikatan kami semakin erat. Bagaimana kami dituntut menyelesaikan persoalan secara bersama-sama. Berkumpul untuk mengerjakan perintilan atribut Ospek. Diteriaki para Komdis karena pelanggaran yang kami lakukan. Meneriakkan yel-yel yang... begitulah.

*********

Lalu terbayang saat-saat gue masih berkuliah di sini. Saat-saat bersama geng Dongo. Yang selalu memilih duduk di kursi barisan belakang pada semua kelas. Geng Dongo sebenarnya terdiri dari kumpulan mahasiswa unggulan, kecuali gue tentu saja. Dan  karena didasari rasa kecemburuan intelektual, gue menamai kelompok kami dengan nama Geng Dongo tanpa sepengetahuan mereka.

Pikiran gue beralih membayangkan ruang dalam gedung itu. Di lantai satu gedung Kimia terdapat laboratorium dasar. Seingat gue sih begitu. Tempat gue merasakan satu-satunya ruangan keren di fakultas ini. Saat itu gue merasakan sensasi menjadi peneliti sepenuhnya. Walau tetap aja laporannya selalu gue kerjakan tiga jam sebelum masuk lab.

Di sanalah tempat gue pernah menimba ilmu selama beberapa bulan. Ya, hanya beberapa bulan saja, tapi kenangan yang tertancap begitu dalam. Panjang ceritanya kenapa gue akhirnya resign dari sana.

Selepas gue resign, gue sempat berkali-kali datang ke sana. Terutama saat sedang libur kuliah di kampus gue sekarang. Jadwal kampus gue memang agak unik. Gue baru libur ketika teman-teman di Kimia memulai perkuliahan semester baru. Jadi sering banget gue sempatkan datang ke sana. Sampai sepertinya mereka bingung melihat gue terus-terusan datang.

Karena terkadang yang kita rindukan bukan tempat atau orangnya, tapi momen yang terjadi bersama mereka di masa lalu. 

Dengan datang ke sana dan bertukar cerita dengan mereka, gue setidaknya bisa memuaskan rasa rindu dengan suasana yang terjadi empat tahun kemarin. Tentang melewati berbagai kejadian yang membentuk gue menjadi diri gue yang sekarang. Dari sana gue merasakan sepercik semangat yang muncul. Mengingat diri gue pernah menjadi bagian dari mereka. Dan itu cukup membantu gue memotivasi diri untuk menjalani perkuliahan di kampus gue sekarang.

Gedung Fakultas MIPA memang akan terus berdiri kokoh di sana. Kecuali ada peristiwa luar biasa yang terjadi. Gue pun masih tetap akan di Depok setidaknya dua tahun ke depan sampai gue lulus dari kampus yang sekarang. Jarak dari kampus gue ke FMIPA juga ga jauh, Gue bisa aja bolak-balik ke sana setiap hari.

Tapi apakah keadaannya akan sama? Gue rasa tidak.

Karena yang gue cari selama kemarin sering main ke MIPA adalah mereka, teman-teman seangkatan gue di Kimia. Bukan tempatnya. Seperti yang pernah gue bilang, gedung kampus tanpa mereka bagaikan raga tanpa jiwa.

Dan mereka sudah lulus saat ini. Walau belum diwisuda ketika gue menulis ini, tapi secara akademis mereka sudah dinyatakan lulus. Gue turut senang saat mendengar kabar tersebut. Gue sendiri pasti mendoakan yang terbaik untuk mereka. Apapun jalan hidup yang mereka pilih.

*******

Gue tersadar dari lamunan, memandang ke arah langit yang sudah mulai gelap. Gue lalu berjalan menuruni tangga dan menyusuri koridor untuk menuju halte bikun. Tidak banyak orang di halte, terhitung cuma ada gue sama seorang ibu-ibu. Setelah menunggu cukup lama, akhirnya bis kuning yang ditunggu-tunggu muncul juga. Gue dan si ibu-ibu lalu melangkah naik ke dalam bis. Keadaan di bis sama saja dengan di halte tadi. Sepi. Gue lantas mengambil tempat duduk dekat pintu keluar.

Dari balik kaca jendela bis gue menatap gedung FMIPA sekali lagi sambil tersenyum kecil. Kali ini mungkin, dan sangat mungkin akan menjadi kali terakhir. Ga ada lagi alasan kuat untuk kembali menginjakkan kaki di sana. Setidaknya sampai saat ini.

Bis mulai melaju dengan perlahan membawa gue pergi meninggalkan gedung itu dan segala kenangan yang berkaitan tentangnya.

Terima kasih kawan untuk lima bulan yang sangat berkesan.

Friday 21 August 2015

Hidup dengan Rheumatoid Arthritis (Part 2)


<--Klik untuk kisah sebelumnya

Dalam dua bulan itu, saya lebih memfokuskan diri untuk melanjutkan pengobatan di RSF. Mengantre sudah barang tentu terjadi karena jumlah pasien yang sangat banyak. Waktu yang dibutuhkan untuk melakukan sekali kunjungan bisa mencapai enam jam. Dihitung mulai berangkat dari rumah hingga akhirnya sampai ke rumah lagi. Bahkan bisa lebih. Saya bisa maklum karena saya masih menggunakan kartu Askes jatah orangtua saya yang PNS.

Rheumatoid Arthritis, rematik artritis, RA, autoimun, kesehatan


Saya biasanya berangkat dari rumah pukul tujuh, kurang dari itu kondisi jalanan masih penuh dengan orang berangkat kerja dan juga para siswa yang menuju sekolah. Sedangkan jika lewat, maka dipastikan bisa mendapat nomor antrean yang besar. Lalu sampai sekitar pukul delapan. Di sana, seperti biasa, sudah ramai dipenuhi orang-orang yang akan berobat.

Wednesday 19 August 2015

Efek Samping Terapi Injeksi


Memasuki minggu-minggu terakhir menjalani terapi injeksi, rasanya semakin tidak karuan saja. Pernah suatu hari setelah di suntik saya merasakan perih yang teramat sangat pada permukaan kulit. Saya tidak terlalu ambil pusing dan berjalan menuju ke rumah. Sampai di rumah, ketika saya ingin mengompres bekas suntikan, saya melihat noda darah di celana saya. Astaga, ternyata bekas suntikan itu mengucurkan darah dan membengkak cukup besar. Saya lalu meminta bantuan adik saya untuk membersihkan bekas luka dan mengompres dengan air yang lebih panas. Saya langsung bergegas mandi untuk membersihkan sisa darah yang keluar. Setelah mandi, saya menyadari bahwa bagian yang luka tadi membengkak lebih besar hingga seukuran bola pingpong. 



Tentu saya jadi tak nyaman dengan keadaan ini. Terutama saat duduk di kursi ruang makan yang terbuat dari kayu. Saya harus memiringkan badan karena terasa ada yang mengganjal ketika duduk. Esoknya saya lapor ke dokter jaga sebelum melakukan injeksi. Sang dokter menyatakan bahwa hal itu merupakan hal yang wajar, mengingat saya sudah lebih dari sebulan terus menerus disuntik di bagian yang itu-itu saja.

Terapi Injeksi


<--Klik di sini untuk tulisan sebelumnya

Posting kali ini niatnya ingin saya beri judul "Bokong yang Tersakiti", namun saya urungkan niat karena malah terlihat seperti headline koran Lampu Hijau. Kenapa bokong? Menurut para petugas Puskesmas, bagian bokong adalah tempat paling ideal untuk dilakukan tindak injeksi secara rutin dalam waktu lama. Bagian ini terlindung dari lapisan lemak yang cukup tebal sebelum bertemu otot. Resiko cedera dan trauma bisa lebih diminimalkan. Saya sih mengiyakan saja.

suntik, streptomisin, streptomycin, suntikan, jarum suntik, TBC, TB paru,

Setelah fix dengan jadwal suntik, saya jadi lebih tenang menjalani kegiatan sehari-hari. Walau tetap saja tidak bisa terlalu malam karena khawatir dengan kondisi fisik para perawat yang sudah lelah seharian bekerja. Khawatir mereka malah menyuntik yang bukan-bukan. Akibatnya, saya berkali-kali bolos kuliah (lagi)  yang terjadwal di sore hari. Salah sendiri mengadakan kelas jam 4 sore. Mahasiswa sehat saja belum tentu mau mengikuti kuliah full dari jam 8 pagi sampai 6 sore. Begitu kira-kira pembenaran saya. Mohon jangan ditiru.

Friday 14 August 2015

Hidup dengan Rheumatoid Arthritis (Part 1)



Ini merupakan lanjutan dari posting Hidup dengan Rheumatoid Atrhtiris (Mukadimah).
<--Klik di sini untuk membaca tulisan sebelumnya

Rheumatoid Arthritis, rematik artritis, RA, autoimun

Sang dokter kulit menatap saya dengan serius sekarang. Saya tahu beliau tidak sedang bercanda kali ini. Beliau mulai berbicara dengan nada suara yang dalam. Sejenak mencoba mencairkan suasana sembari mencari celah yang tepat untuk mulai masuk ke inti pembicaraan. Setelah beberapa lama, tibalah kami di pokok permasalahan. 

"Dik, saya curiga kamu terserang penyakit yang serius." ujar sang dokter sambil  tetap menatap dalam-dalam mata saya.

"Oh, ya? Penyakit apa Dok?" saya bertanya dengan agak was-was melihat sikap beliau.

"Jadi setelah melihat catatan medis, kondisi badan, dan keluhannya, saya rasa kamu mengidap penyakit..." sang dokter memberikan jeda sejenak sambil melihat-lihat status rekam medik saya.

Tuesday 11 August 2015

Mengefisiensi Jenis Aplikasi di Smartphone


Pesatnya perkembangan di bidang teknologi memaksa kita untuk berusaha keras agar tidak ketinggalan zaman. Lengah sedikit saja bisa membuat kita terlewat bermacam informasi penting. Salah satu yang paling signifikan perubahannya adalah aplikasi pada smartphone, baik yang berbasis Android maupun iOS. Berbagai aplikasi muncul hampir setiap harinya guna memenuhi hasrat kegaulan kawula muda di seluruh penjuru dunia. Kaum muda memang menjadi target pasar yang sangat empuk untuk berbagai bidang. Terutama karena jumlah mereka yang mendominasi dibandingkan dengan kelompok umur lainnya. Udah keliatan keren kan paragraf pembukanya? Oke, mari kita masuk ke materi.

Sosial Media, path, instagram, aplikasi, facebook, twitter


Kalau gue perhatikan sih, sekarang ini banyak banget aplikasi, terutama sosial media sama messenger yang dipakai sama anak-anak gaul kekinian. Padahal ya hal yang mau di-share cuma itu-itu aja. Di chat messenger pun kontaknya ya cuma itu-itu aja. Yang bikin geleng-geleng kepala, kadang ada aja orang yang menghubungkan satu jenis aplikasi sosmed ke aplikasi lain. Jadi ketika dia update di Path misalnya, maka langsung otomatis muncul di Friendster.

Sunday 9 August 2015

Hidup Dengan Rheumatoid Arthritis (Mukadimah)

Sesuai janji, saya akan merealisasikan rencana proyek besar yang telah saya wacanakan beberapa minggu lalu. Sebetulnya saya sudah menuliskan hal ini beberapa tahun silam. Cukup lengkap pula. Dari cerita mengenai alur pemeriksaan, hari dan tanggal saat kontrol, nama dokter yang menangani, sampai obat-obatan yang diberikan. Sayangnya, saya dulu belum tertarik untuk menuliskan di blog. Hanya mengendap di file Ms.Word dan akhirnya lenyap tak bersisa saat komputer saya terserang virus. 

Menuliskan kembali catatan itu tentu sulit. Terlalu banyak detail dari cerita itu. Seingat saya, dulu catatan itu terdiri dari 80-an halaman A4, TNR; 12. Selain itu kesulitan lain adalah mengumpulkan niat dan mencari waktu kosong tentunya. Kebetulan sekali dalam waktu 3 minggu ke depan, jadwal kuliah saya agak longgar. Pertengahan September mungkin saya mulai pra-penelitian. Saya berharap agar proyek ini selesai sebelum penelitian.

Saya sepertinya akan membagi catatan ini ke dalam beberapa part. Karena akan terlalu panjang apabila dijadikan satu postingan. Jadi, silakan menikmati.
__o0o__


Rheumatoid Arthritis, rematik artritis, RA, autoimun

Wednesday 5 August 2015

Suntik Streptomycin


Kali ini saya akan melanjutkan tulisan saya tentang Tuberkulosis dan Pengobatannya. Sebelum masuk ke materi ada baiknya saya menjelaskan tentang sterptomycin. Streptomycin adalah obat antibiotik yang tergolong kuat dan biasa digunakan untuk mengatasi masalah TB berkelanjutan. Streptomycin tidak dapat dikonsumsi secara oral karena sifatnya yang merusak lambung. Jadi penggunaanya harus di aplikasikan melalui injeksi. Streptomycin berbentuk bubuk halus berwarna putih, tidak berbau, dan larut dalam air. Untuk melarutkan menjadi cairan injeksi,digunakan akuades murni. Kira-kira begitulah info yang saya dapatkan dari dokter dan juga pengamatan saya sendiri.

Suntik Streptomycin streptomisin streptomicin


Saturday 1 August 2015

Pendiam Sejati


Mayoritas orang yang pertama kali melihat saya pasti akan berpikir "Buset, ini orang apa patung? Diem aja sedari tadi". Tak mengherankan. Bahkan di rumah, yang notabene berisi keluarga inti, saya juga berbicara seperlunya. Entahlah, saya kadang juga merasa aneh dengan kondisi ini. Saya memang orang yang kurang suka berbicara. Apalagi sekadar berbasa-basi. Yakin, kalau saya berbasa-basi nantinya malah basi betulan.





Pernah ada suatu sesi serius dengan salah seorang teman saya. Ini bagian dari komunikasi yang saya suka, pembicaraan berbobot. Dia mengatakan bahwa sepertinya saya sudah terlalu asyik dengan dunia sendiri. Menurutnya itu berbahaya. Dia juga menyarankan agar lebih bisa membuka diri dengan orang-orang baru. Dengan lebih banyak senyum dan bercanda. Dari kacamatanya, dia melihat hidup saya terlalu kaku, seperti kerah baju baru. Saya tidak banyak menanggapi.

Saya memang agak kesulitan bila harus membuka pembicaraan dengan orang lain. Keadaan ini sudah saya alami sejak kecil. Ada beberapa alasan yang mungkin bisa saya jadikan ‘pembenaran’. Yang pertama adalah terlalu memikirkan reaksi lawan bicara. Saya memang selalu memikirkan apa-apa saja yang akan keluar dari mulut saya ketika sedang berbincang. Takut menyinggung lawan bicara. Khawatir mendapat tanggapan yang tidak mengenakkan. Terlalu banyak pertimbangan ini malah menyebabkan saya tidak mengeluarkan sepatah kata pun. 

Alasan kedua adalah saya kurang suka dengan keramaian. Saya lebih suka meluangkan waktu untuk menghabiskan waktu seorang diri. Membaca, menulis, mengerjakan tugas, bahkan menonton film di bisokop pun saya lebih suka sendirian. Kenapa?  Ada yang aneh dengan datang ke bioskop sendiri? Saya sih merasa lebih berkonsentrasi apa bila menonton sendiri. Terlebih bila film yang ditonton masuk kategori berat. 

Untuk berkumpul juga saya lebih memilih berada di dalam kelompok kecil berisi tiga sampai enam orang. Lebih dari itu saya akan diam saja, menyimak, sambil sesekali mengeluarkan celetukan. Yang untungnya sejauh ini masih dianggap lucu. Saya kurang suka berbicara panjang lebar menceritakan sebuah lelucon. Cukup satu celetukan dan satu tongkrongan pun geger tertawa karena itu. Efektif.

Satu penyebab lain tentang pendiamnya saya ini mungkin adalah kecenderungan kondisi Introvert pada saya. Singkatnya, introvert adalah suatu kondisi dimana seseorang akan mendapat energi dari hasil meluangkan waktu sendirian. Banyak orang salah kaprah, dikiranya introvert adalah anti-sosial. Padahal tidak selalu begitu. Lain waktu akan saya tulis satu artikel khusus untuk masalah ini.

Lalu alasan terakhir sederhana saja, saya merasa memang beginilah saya. Tidak perlu berpura-pura untuk menjadi aktif dan ceria. Yang nanti malah terkesan palsu dan dibuat-buat. 

Dari semua pemaparan tadi pasti orang berpikir saya orang yang kaku dan membosankan. Tentu ada benarnya. Terlebih jika tidak mengenal saya dengan baik. Namun sebenarnya saya juga manusia biasa. Saya juga bisa menjadi ‘gila’. Ada sisi lain dalam diri saya yang juga sama seperti orang lain. Tertawa keras terbahak-bahak, melontarkan candaan kotor, berbicara kasar, melakukan hal-hal bodoh, dan yang lainnya. Tapi perlu diingat bahwa tidak kepada semua orang saya bisa menunjukkan itu. Tidak juga kepada orangtua saya, kalau yang ini sih atas alasan malu dan segan sebenarnya. Sisi lain itu hanya muncul jika berhadapan dengan orang tertentu saja.

Di sisi lain, saya tetap bisa berbicara di depan khalayak umum. Presentasi di kelas juga bukan masalah besar buat saya. Saya bukan pemalu. Saya hanya lebih diam dibandingkan orang yang dianggap normal oleh masyarakat. Diam saya juga bukan tak beralasan. Saya lebih suka mengamati. Saya adalah pengamat yang baik. Saya memilih mendengarkan orang bercerita dibandingkan saya yang harus berbicara. 

Jadi jika suatu hari takdir memutuskan kita untuk bertemu, janganlah ragu untuk menyapa.

Lalu silakan bercerita apa saja.