Internet telah menyediakan ruang berekspresi seluas-luasnya untuk setiap orang. Terutama buat orang-orang yang kurang eksis di dunia nyata.
Internet seakan menjadi satu-satunya jalan bagi mereka agar tetap dianggap ada. Sebuah taman bermain tanpa batas dan tempat berkarya dengan bebas.
Namun kini, di tengah derasnya aliran arus informasi, internet perlahan berubah menjadi rimba luas yang teramat ganas. Kebebasan berekspresi yang seharusnya dimanfaatkan untuk menciptakan hal-hal kreatif, malah dipergunakan untuk berbagai aktivitas negatif.
Salah satu aktivitas negatif yang belakangan sering gue lihat adalah makin banyaknya komentar pedas yang bertebaran di sosial media. Entah itu Twitter, Facebook, Youtube, atau Instagram.
sumber |
Kesibukan gue sekarang emang mengharuskan gue buat menganalisa topik yang lagi hangat diperbincangkan di masyarakat. Itulah kenapa gue sering banget berkeliaran di berbagai sosial media untuk mencari informasi terkini. Sayangnya, yang banyak gue temukan bukannya pengetahuan, tapi malah bermacam cacian.
Yap, inilah hal lain yang ditawarkan oleh internet, sebuah kemudahan berkomunikasi. Di mana kita bisa berinteraksi dengan orang lain tanpa harus bertatap muka langsung. Kemudahan yang kerap kali disalahgunakan untuk ‘menyerang’ orang lain secara virtual. Bahkan kepada orang asing yang belum pernah dijumpai sebelumnya.
Gue sebenarnya udah menganggap fenomena ini sebagai penyakit. Penyakit mental lebih tepatnya. Karena menghina orang asing tanpa alasan yang jelas hanya mungkin dilakukan oleh orang-orang yang ‘sakit’.
Orang-orang ini adalah tipe-tipe manusia yang begitu garang di dunia maya, namun cemen di dunia nyata. Hanya bisa berkoar di balik layar. Tanpa berani bertanggung jawab jika sesuatu terjadi akibat perbuatannya. Atau nama kerennya; jagoan virtual.
Dan kalo boleh jujur, gue sempat merasakan menjadi salah satu bagian dari jagoan virtual ini sekitar delapan atau sembilan tahun lalu. Saat itu gue sengaja membuat dua akun Facebook. Satu dipakai untuk personal, dan yang satunya khusus untuk main game bawaan Facebook.
Karena gosipnya waktu itu, akun yang dipakai main game rentan banget di-hack. Jadi pembuatan dua akun itu sifatnya preventif aja, kalopun akun khusus game tadi di-hack, akun pribadi gue kan masih aman.
Berawal dari pembuatan akun fiktif itulah gue mulai berkoar di grup-grup yang membahas soal game. Karena ngga menggunakan nama asli, gue bisa sepuasnya mengeluarkan komentar. Bahkan hingga yang paling kasar sekalipun. Ya, meski masih ada orang lain yang lebih parah, tapi kayaknya kata-kata gue pun udah termasuk kelewat batas.
Oke, harus diakui, emang ada kepuasan tersendiri saat mengeluarkan sumpah serapah di sana. Gue bisa melampiaskan emosi lewat kata-kata laknat itu tanpa harus takut identitas gue ketahuan. Tanpa harus memikirkan gimana rasanya menjadi orang yang dikata-katain itu.
Emang ada beberapa balasan dari mereka yang lebih bikin sakit hati. Tapi gue tetap tenang, karena ngga merasa semua cacian itu mengarah ke gue. Melainkan ke sosok fiktif yang gue buat.
Untungnya, gue ngga lama terjebak ke dalam euforia jagoan virtual itu. Kesibukan di sekolah plus kondisi fisik yang mudah lelah membuat gue pelan-pelan mengurangi aktivitas di sana. Lagian, lama-lama gue merasa ngga enak hati udah sempat berkata sedemikian laknatnya. Terakhir, kalo ngga salah ingat, gue malah minta maaf ke beberapa orang yang udah pernah gue kata-katain. Cemen sekali memang.
Nah, belajar dari pengalaman itu, gue jadi lebih bisa mengerti kenapa akhir-akhir ini banyak banget jagoan virtual baru bermunculan. Iya, sekedar mengerti aja. Soalnya biar bagaimanapun, gue tetap ngga bisa membenarkan perbuatan mereka.
Gue kasih tau ya, rasanya menghina orang lain secara anonim itu, sialnya, sungguh sangat menyenangkan. Sensasi yang timbul setelah melampiaskan emosi kepada orang asing itu emang bikin candu. Kita bakal terpacu terus memberikan cacian itu dengan tingkatan yang terus meningkat. Adiktif.
Maka gue cukup bersyukur bisa lepas dari jeratan mental jagoan virtual. Kalo ngga, mungkin gue udah bergabung ke dalam sebuah komunitas ‘haters’ di jagat internet sana. Oh ya, sekadar info, ‘haters’ ini merupakan istilah kekinian untuk menggambarkan sekelompok orang yang membenci seseorang atau kelompok lain. Di mana kegiatan mereka seringkali disebut ‘nge-hate’.
Haters dan nge-hate. Dua buah istilah yang apa banget sekali.
Mirisnya, kebanyakan dari haters ini adalah bocah-bocah nanggung setingkat SD hingga SMA. Iya, inilah zaman di mana kita harus menerima kenyataan bahwa ada banyak sekali anak SD yang udah mulai berani mencaci-maki. Bahkan kepada orang-orang yang berusia jauh di atas mereka.
Maka, dalam beberapa tahun ke depan mungkin kita udah bisa mengucapkan selamat tinggal kepada sopan santun dan tata krama.
Mengenai haters ini, seorang teman gue punya sebuah teori menarik. Jadi menurutnya, jenis haters bisa dibedakan sesuai dengan platform media sosialnya. Kalo di Youtube, kebanyakan haters-nya adalah bocah warnet. Di Instagram, haters-nya didominasi pedagang Olshop dan mbak-mbak penjaga toko yang magabut karena tokonya sering sepi.
Sedangkan di Facebook, gerombolan haters merangkap polisi moralnya adalah Ibu-ibu yang khawatir anaknya mendapat pengaruh buruk di internet, tapi dia sendiri dengan mudahnya kemakan sama berita hoax di news feed Facebook-nya.
Dan bentuk komentar para haters ini makin ke sini makin aneh aja. Kalo misal gue dulu berkomentar kasar, itu masih dalam konteks yang diperbincangkan. Cuma emang diselipi sama cacian dan sumpah serapah.
Beda dengan sekarang. Komentarnya banyak yang ngga nyambung sama sekali. Konten yang diposting apa, komentarnya ke mana-mana. Terkesan beneran emang mau menyerang pribadi si pembuat konten. Bukan mau memberikan kritik, saran, atau semacamnya.
Misal, ada seseorang yang mengunggah foto liburannya di Instagram, tapi komentarnya malah melebar ke masalah kekurangan fisik si orang tadi. 'Sakit' memang.
Bahkan ada gerombolan yang dengan bangganya mendeklarasikan diri mereka sebagai haters resmi dari seseorang atau kelompok lain. Wtf, apa pula itu haters resmi? Apakah mereka mempunyai struktur organisasi dan berada di bawah salah satu instansi pemerintahan? Entahlah.
Gue ngga menampik bahwa akan selalu ada aja orang bodoh bin bebal di sekitar kita. Itu emang hukum alam yang telah digariskan. Tapi keberadaan para haters ini masih menjadi tanda tanya besar. Setahu gue, kegiatan mereka itu cuma ngata-ngatain orang lain yang telah dianggap musuh bersama.
Jadi intinya, mereka bakal mengikuti setiap aktivitas orang yang mereka benci, terus memberikan komentar bernada hinaan di setiap postingannya.
Pertanyaan gue cuma satu, ngapain sih?
Gini loh, kalo emang ngga suka sama orangnya, ya jangan dilihat. Ngga usah difollow sosial medianya. Ngga usah cari-cari informasi soal si orang yang dibenci itu. Simple kan?
Jangan malah dilihat, diteliti, bahkan sampai dicari-cari kesalahannya. Terus ujung-ujungnya yang didapat apa? Nihil. Cuma timbul rasa benci yang akhirnya semakin besar. Ngga ada gunanya. Buang-buang waktu, tenaga, dan pikiran.
Gue pribadi pun ngga begitu suka sama beberapa orang di Youtube. Tapi sialnya, mereka itu seringkali muncul di kolom Trending tiap kali gue buka Youtube. Biasanya kalo udah seperti itu, hal yang gue lakukan adalah mengganti setting lokasi ke Zimbabwe. Dengan begitu semua video mereka lenyap, dan digantikan oleh video saudara-saudara kita di benua hitam sana. Simple.
Ya emang pada kenyataanya bakalan sulit mengubah kebiasaan para 'haters' ini. Apalagi yang masih tergolong bocah pentil. Tapi percaya deh, ini bukannya ngga mungkin dilakukan. Buktinya, gue sendiri bisa lepas dari jeratan penyakit mental itu. Semua pasti bisa, asalkan tau caranya.
Hal paling sederhana yang bisa kita lakukan adalah dengan memberikan contoh. Jangan lagi menulis komentar-komentar negatif terhadap orang lain di internet. Malah kalo memungkinkan cobalah sesekali kasih feedback positif dan membangun kepada mereka. Karena gue yakin, setiap orang pasti menyukai segala bentuk hal yang bernada positif.
Dengan melihat mayoritas jagoan virtual adalah para dedek-dedek gemesh, rasanya dengan memberikan contoh baik, kita bisa berperan besar dalam mengubah sudut pandang mereka.
Dan yang paling penting, ngga usah menunggu mereka berubah, mulai aja dari diri sendiri. Tanamkan sugesti kepada diri sendiri untuk tidak lagi membenci dan mencaci-maki. Ya mungkin aja dengan begitu kita bisa mengurangi populasi para jagoan virtual ini.
Lalu membuat internet menjadi tempat yang nyaman dan kondusif untuk bersosialisasi.
No comments:
Post a Comment