Thursday 15 December 2016

Tangis Kematian


Aku tak kuasa menolak ketika diharuskan berpindah tugas ke wilayah yang sama sekali asing untukku.

“Tak mudah untuk bisa masuk ke perusahaan ini. Jangan macam-macam, ikuti saja aturannya.” ujar mereka.

Iya, mereka ada benarnya. Memang sulit sekali bagiku untuk bisa masuk ke perusahaan ini dan mencapai posisiku sekarang.

Maka, aku menurut saja ketika perusahaan menugaskanku untuk pindah ke sebuah daerah terpencil. Daerah ini sebenarnya tidak terlalu jauh dari pusat kota, mungkin hanya sekitar dua jam berkendara dengan mobil. Namun, entah mengapa suasananya kurasakan begitu sunyi dan mencekam.




Aku tinggal di sebuah rumah yang sudah disediakan oleh perusahaan. Rumah ini berada dalam sebuah kompleks perumahan yang baru selesai dibangun. Dan terletak di areal hutan yang jarang dimasuki warga. Bagian paling mengesalkannya, rumahku tepat berada di pojok lokasi perumahan. Sehingga berbatasan langsung dengan hutan belantara pada bagian belakang dan samping kirinya.

Seminggu lalu, rekan-rekan kerjaku berinisiatif untuk mengadakan semacam pengajian di rumah ini. Mereka berpendapat bahwa setiap rumah yang dibangun di atas tanah kosong pasti telah ditempati oleh sesuatu. Oleh karenanya, pengajian perlu dilakukan agar para penunggu itu mau pergi. 

Aku sendiri tidak percaya dengan hal-hal konyol semacam itu. Menggelikan.

Hal itu pula lah yang membuatku tidak khawatir ketika mereka coba menakut-nakutiku dengan berbagai cerita horor rekaan mereka. Bahkan ketika hendak pulang pun mereka tetap saja berusaha membuatku merasa takut dengan celotehan mereka. 

Sekali lagi aku tekankan, aku tidak percaya hal-hal semacam itu. Dan aku tidak akan pernah merasa takut. Termasuk ketika mereka beranjak pulang dan meninggalkanku seorang diri di rumah ini.

*********

Malam harinya, aku mulai menjalani kehidupan baru di rumah ini. Setelah menata barang-barang yang tidak begitu banyak, aku pun mulai mencicil pekerjaanku untuk esok hari. Aku sangat terbantu dengan suasana sepi di daerah perumahanku. Mungkin karena semua rumah di sekelilingku belum ditempati pemiliknya. Dan menjadikanku satu-satunya manusia yang tinggal dalam lingkungan ini.

Mengerikan? Tidak juga. Aku justru bersyukur dapat menikmati ketenangan yang tak mungkin kujumpai di kota asalku.

Tapi ketenangan yang tengah kunikmati sedikit terganggu kala aku mendengar suara gaduh di plafon. Seperti ada langkah kaki yang berderap di atas sana. Aku coba menghiraukan saja suara itu, namun tak bisa. Suara itu terlalu keras jika dibandingkan sunyinya keadaan sekitar.

Esok harinya, aku ceritakan kejadian malam itu kepada rekan-rekan kerjaku. Respon mereka seragam. Mereka mengatakan rumahku telah dihantui. Dan mereka sepakat mengusulkan agar aku mengadakan pengajian sekali lagi, serta memanggil orang pintar untuk mengusir makhuk asing yang mungkin muncul.

Ada hantu di rumahku? Konyol sekali.

Jelas aku membantah segala pendapat mereka. Aku tetap bersikukuh bahwa itu adalah suara langkah hewan kecil yang tersasar ke dalam rumahku. Entah tikus, rakun, ataupun tupai. Hal yang paling masuk akal, mengingat rumahku yang berbatasan langsung dengan hutan belantara.

Malam berikutnya, suara gaduh itu malah semakin bertambah. Kini kegaduhan itu seperti berasal dari dua sumber suara. Yang satu terletak di atas plafon kamar mandi, dan yang satunya tepat berada di atas kamarku. Tidak cukup di situ, keadaan makin diperparah dengan adanya bunyi semacam goresan kuku-kuku tajam di bagian plafon.

Ini membuatku sedikit was-was. Sebab aku hanya terpisahkan oleh selembar asbes tipis dengan makhluk asing yang berada di sana. Aku tidak mau makhluk itu menjebol asbes dan menyerangku di saat aku terlelap. Akhirnya malam itu kulewati dalam keadaan terjaga. Aku tidak bisa tertidur walau sedetik pun. Dan menjadikanku harus kehilangan fokus saat bekerja di kantor.

Sore keesokan harinya, ketika baru saja sampai di rumah, aku langsung disambut oleh suara- suara berisik seperti semalam. Ini terasa aneh, karena biasanya suara itu baru terdengar saat menjelang tengah malam. Bukan pada sore hari seperti ini.

Aku memasuki rumah dengan kewaspadaan penuh. Mataku awas menyisir semua sudut rumah yang tidak terlalu besar ini.  Masih sama. Suara itu terus saja terdengar dari atas sana. Suara garukan kuku-kuku tajam yang membuatku sedikit merinding. Apapun makhluk yang berada di atas sana, pasti sangat berbahaya.

Menjelang malam rupanya teror belum berhenti. Di sela-sela bunyi bising itu, terdengar pula suara tangis yang teramat memilukan. Asumsiku, suara itu berasal dari luar. Tepatnya di hutan belantara yang berbatasan langsung dengan rumahku. Khayalan buruk dari cerita seram rekan-rekanku perlahan membayangi. 

Apa yang sebenarnya berada di luar sana? Apakah itu hantu, atau makhluk tak kasat mata lainnya? Apakah hewan buas yang berasal dari hutan? Atau jangan-jangan… sosok yang tak pernah kubayangkan sebelumnya?

Pertahananku goyah. Keberanian yang selalu kubangga-banggakan kini menghilang entah ke mana.

Kuhabiskan malam itu dengan berlindung di balik selimut tebal sembari mendengarkan musik melalui headset. Aku sadar hal-hal buruk bisa saja terjadi selama aku meringkuk di balik selimut. Sesuatu di balik plafon, cakaran kuku-kuku tajam, dan suara mirip tangisan yang bisa saja berasal dari makhluk asing. 

Keesokan harinya di kantor, aku berbicara kepada atasanku soal keanehan rumah tersebut. Aku meminta untuk segera dipindahkan ke lokasi yang lebih kondusif. Tidak masalah jika aku harus membayar sendiri sewa rumah baru nanti. Yang jelas aku harus secepatnya keluar dari rumah terkutuk itu.

Atasanku setuju dan mengatakan bahwa aku mungkin bisa keluar dari sana sekitar seminggu lagi. Dalam rentang waktu seminggu, aku harus menguatkan diri untuk tinggal di rumah terkutuk itu, selagi mereka mencarikan rumah baru.

Malam setelahnya, suara gaduh di atas plafon mendadak lenyap. Bersamaan dengan hilangnya suara goresan kuku yang biasanya muncul. Aku merasa agak tenang setelah menyadari kedua hal buruk tersebut akhirnya pergi. Nyatanya perkiraanku terbukti. Suara itu memang berasal dari hewan kecil yang berkeliaran di atas plafon.

Sayangnya, ketenangan yang kudapat tidak berlangsung lama. Sebab baru saja aku akan memejamkan mata, tiba-tiba aku mendengar lagi sebuah suara dari arah luar.

Suara tangisan itu.

Kali ini bahkan terdengar lebih jelas dan nyaring dari kemarin. Seperti sesuatu yang sedang kesakitan dan berusaha meminta pertolongan. Tangisannya begitu jelas dan menusuk hingga ke dalam otakku.

Aku tidak tahan lagi! Segera kusumpal telinga ini dengan headset sambil menyetel musik sekeras-kerasnya. Namun sialnya, suara tangis itu masih saja terdengar. 

Aku benar-benar muak. Semoga saja mereka secepatnya menemukan rumah baru untukku. Segala teror dan suara tangisan itu sungguh membuatku frustrasi. 

Jujur saja, jauh dalam lubuk hatiku, sesungguhnya aku sangat penasaran dan ingin sekali mengetahui keadaan di luar. Aku ingin tahu dari mana suara itu berasal. Tapi kejadian buruk belakangan ini membuatku mengurungkan niat tersebut. Aku tidak mau berurusan dengan hal-hal yang belum pernah kuhadapi sebelumnya.

Akhirnya aku hanya melihat keadaan di luar melalui jendela. Benar saja, tidak jauh dari rumah, aku melihat seperti ada sesuatu yang bergerak-gerak di rerumputan. Rasa penasaran memaksaku untuk keluar memeriksanya. Dan mungkin menghabisinya.

Namun lagi-lagi, keberanianku seperti lenyap begitu saja. Jadi aku hanya membiarkan saja makhluk itu menggeliat liar di luar sana.

 “Itu mungkin bukan apa-apa” ucapku dalam hati, coba menenangkan diri.

Keesokan paginya, suara tangisan itu telah hilang sepenuhnya. Jelas aku merasa lega. Apapun makhluk yang mengusik rasa takutku kemarin, sekarang sudah menghilang. Tak ada lagi alasan bagiku untuk tetap dihantui ketakutan.

*********

Sore hari dalam perjalanan pulang, aku dikejutkan dengan ramainya keadaan di sekitar rumahku. Orang-orang berkerumun di dalam hutan sambil menutupi hidung mereka. Garis polisi terbentang sepanjang perbatasan hutan dan kompleks perumahan.

Apa-apaan ini?

Tanpa pikir panjang aku langsung menghambur ke arah kerumunan warga. Lalu bertanya kepada orang-orang yang berlalu-lalang di sana tentang apa yang sebenarnya terjadi.

“Ada bayi dibuang dalam hutan.” kata salah seorang di antara mereka.

Kemudian seorang polisi berjalan melintas di hadapanku. Ia membawa sebuah kantung jenazah yang kuyakini berisi jasad bayi malang tersebut. Tiba-tiba dadaku terasa sesak kala membayangkan bahwa bayi itu masih bisa menangis nyaring selama dua hari kemarin.

Mulai detik itu aku bersumpah takkan pernah lagi membiarkan rasa takut menguasaiku.

Tulisan Lain

No comments:

Post a Comment