Wednesday, 7 December 2016

Aksi Super Damai dan Superioritas Iman



Aksi Super Damai 212
sumber


Kalo gue disuruh menggambarkan pasca aksi super damai 212 lalu dengan satu kata, maka kata itu adalah ‘norak’. Iya, norak. Tapi tolong jangan dipelintir. Yang gue bilang norak adalah kehebohan pasca aksinya. Alias setelah aksi damai itu telah berakhir.

Aksi damainya sendiri berjalan dengan sangat baik. Gue pun mengapresiasi penuh aksi kemarin. Walau cuma melihat dari layar kaca, namun semangat para massa aksi itu terasa sampe ke bulu kuduk gue. Bikin merinding.

Terus kenapa pasca aksinya gue bilang norak?


Jadi gini, sore ketika aksi damai itu selesai, suasana di dunia maya mulai memanas. Orang-orang berlomba membagikan pengalaman saat mengikuti aksi. Tentu saja sebagian besarnya dibumbui dengan drama penyentuh hati. Menggugah emosi.

Makanya ngga heran banyak sekali tulisan tentang aksi kali itu bermunculan dan menjadi viral. Karena di-share juga oleh orang-orang yang sebenarnya ngga ikut aksi. Dari sana, gue pun penasaran. Gue cobalah baca-baca artikel yang di-share tadi.

Ternyata tulisannya bukan cuma dari orang biasa, para ulama pun ngga ketinggalan menjadikan momen kemarin sebagai sarana berdakwah. Timing yang sangat pas menurut gue. Sebab kadar keimanan orang lagi tinggi-tingginya setelah aksi itu.

Awal-awal emang gue juga ikut terenyuh membaca kesaksian para massa aksi. Tapi lama-lama kok gue merasa artikel yang muncul makin berlebihan. Malah untuk hal-hal yang wajar kayak buang sampah pada tempatnya aja dibikin satu tulisan panjang sendiri.

Keesokan harinya, tulisan tentang aksi damai yang muncul kian bertambah. Ya meskipun gue tau bakal dipenuhi drama, tapi tulisan-tulisan itu tetap gue lahap juga. Lumayan, buat menambah inspirasi gaya menulis.

Sayangnya, ngga jarang ada juga tulisan atau foto hoax yang bertebaran. Ngga tau ya, sampe sekarang gue masih ngga ngerti kenapa orang kita sering banget kemakan sama berita hoax. Bahkan hingga tingkatan ulama sekalipun.

Dan selain artikel, ada pula orang-orang yang berkomentar pendek mengenai aksi melalui Twitter atau Facebook. Mereka inilah sebenarnya yang menjadi fokus utama gue.

Kalo boleh gue analogikan, tingkah laku mereka ini mirip sama orang yang baru pertama kali bikin tattoo. Maunya dipamer-pamerin terus. Sepanjang hari dihabiskan buat memuji kaumnya sendiri karena telah berhasil membuat pergerakan besar.

Ngga cukup sampai di situ, mereka pun menambah lagi kadar kenorakannya dengan mengatakan bahwa umat yang ngga ikut aksi berarti kurang imannya. Bahkan sampe dibilang kafir. Ini yang gue ngga suka. Bisa-bisanya mereka menghakimi tingkat ketaatan seseorang cuma berdasarkan satu hal. Ngga ikut aksi damai berarti ngga taat beragama. Logika dari mana?

Iya, gue pun mengakui aksi kemarin merupakan salah satu yang terbesar di dunia. Jumlah massanya sangat banyak dan masif. Ditambah lagi bisa berjalan dengan sangat tertib. Taman-taman tetap terjaga kerapiannya. Ngga ada sampah yang bertebaran (walau emang udah seharusnya). Mobilisasi massa yang teroganisir dengan baik. Poinnya udah plus-plus banget di mata gue.
Tapi ada satu hal yang mau gue garis bawahi.

Hanya karena bisa menggelar aksi besar dan berlangsung damai, bukan berarti kita berada di atas yang lain. Bukan berarti boleh untuk merendahkan orang lain. Bahkan yang lebih parah, mengafirkan orang yang ngga ikut aksi. Jangan terjebak ego.

Orang-orang kayak gini ngga cuma satu gue temui. Bahkan sampe gue menuliskan ini pun mereka masih aja bermunculan. Terus-terusan membagikan berita atau artikel di sosial media dengan dibubuhi kalimat-kalimat provokatif nan nyinyir.

Bukan begitu caranya, Sob.

Kalo emang merasa benar, lalu mau mengajak orang berbuat baik, bukan dengan dinyinyiri dan dipanas-panasi. Percaya sama gue, cara itu bukannya bikin orang simpatik, tapi malah jijik.

Lagian alih-alih mengajak pada kebaikan, gue malah menangkap sedikit rasa jumawa dari mereka. Seolah-olah setelah mengikuti aksi kemarin, mereka ingin menunjukkan bahwa merekalah yang paling benar.

Merekalah yang paling beriman.

Tulisan Lain

No comments:

Post a Comment