Tuesday 9 February 2016

Mencari Tambatan Kaki


Sepatu merupakan salah satu aset penting dalam menunjang penampilan. Makanya banyak orang menginvestasikan uangnya buat beli bermacam model sepatu. Bahkan bagi sebagian orang, terlebih cewek-cewek, berbelanja sepatu bisa dijadikan sarana pelepas stress. Sayangnya, hal tersebut ngga berlaku buat gue.

Dari dulu gue selalu malas kalo disuruh belanja sepatu. Terutama sepatu sekolah. Karena seperti sekolah negeri pada umumnya, sejak SD gue selalu diwajibkan memakai sepatu hitam. Full. Ngga boleh ada aksen warna lain. Ketika SD, masalah pemilihan sepatu emang berjalan baik-baik aja.

Mulai masuk ke SMP, aktivitas mencari sepatu perlahan berubah jadi momok buat gue. Beberapa kali kejadian, gue udah naksir berat sama salah satu model sepatu, pas diteliti ternyata ada aksen warna lain. Dan yang paling sering terjadi, model sepatu oke, warna hitam full, harga terjangkau, eh ngga ada ukurannya.
Emang segede apa sih kaki anak SMP sampe ngga ada sepatu yang muat? Well, di umur segitu, percaya atau ngga, ukuran kaki gue udah menyentuh angka 44 (Euro) atau 11 (UK). Gambaran kasarnya, sebelah telapak kaki gue udah bisa menutup seluruh muka Daus Mini.

Iya, sebesar itulah.

Dengan ukuran kaki jumbo itu, harusnya tinggi gue berada di kisaran 175-an centimeter. Tapi nyatanya ngga. Pas SMP badan gue cuma setinggi 164 centimeter. Temen-temen gue yang tingginya sepantaran, malah ukuran sepatunya standar aja. Rata-rata berukuran 41. 

Gue juga bingung, kenapa bedanya jauh banget. Tapi setelah gue amati, rasanya ukuran kaki ini adalah keturunan. Soalnya Bapak dan dua saudara kandung gue semuanya berkaki jumbo. Dan sialnya, gue dapat bagian yang paling ngga enak. Karena bentuk kaki gue lain sendiri. 

Kalo kaki mereka memanjang dan ramping, maka kaki gue... memanjang juga sih, tapi sekaligus melebar. Pernah kami iseng nyetak bentuk kaki di selembar kertas gitu. Hasil cetakan kaki mereka emang layaknya kaki manusia pada umumnya. Giliran kaki gue malah kayak hasil cetakan batako. Apa-apaan.

Masalah ini makin serius kala gue masuk ke SMA. Seiring pertumbuhan tubuh, maka kaki gue juga ikutan membesar. Ukurannya bahkan sampe menyentuh angka 45 sekarang. Mulai dari situ, gue selalu membeli sepatu-sepatu bermerk luar negeri. Bukannya apa-apa, abisnya sepatu lokal ngga ada yang berukuran segitu.

Sekalinya ada sepatu lokal, ya sepatu pantofel. Ya kali gue berkeliaran di sekolah pake sepatu pantofel. Oh, pernah deh ada sepatu lokal yang gue beli. Ini juga karena sebuah ‘kebetulan’ di Pasar Baru. Sepatu lokal berukuran besar pertama yang gue beli. Merk-nya : Spotec.

Beginilah ceritanya.

Liburan sekolah pas SMA kali itu gue manfaatkan buat jalan-jalan. Berhubung Bapak gemar sekali berwisata religi, maka beliau mengajak kami buat ke Masjid Istiqlal. Selesai sholat Dzuhur berjamaah, kami beranjak mencari makan di sekitaran Pasar Baru.

Kabarnya di sini adalah pusat perbelanjaan sepatu terlengkap di seantero Jakarta. Maka gue pun ‘dipaksa’ buat sekalian nyari sepatu. ”Daripada cari di mall terus, Bang. Sekali-sekali lah cari di sini” begitu pesan beliau.

Bergerak lah gue dari satu toko ke toko lain. Gue sebenernya udah lelah betul saat itu. Keliling toko cuma buat nyari satu pasang sepatu doang. Buang-buang energi. Tapi berhubung udah di-ultimatum supaya dapat, mau gimana lagi.

Titik terang mulai muncul saat seorang pramuniaga toko menyarankan datang ke toko A. Toko A ini ternyata udah terkenal sebagai penjual sepatu ukuran besar. Berangkatlah gue ke sana. Terlihat di depan tokonya ada semacam patung sepatu berukuran sangat besar yang terbuat dari besi. Rasa percaya diri gue meluap-luap. Ini dia toko yang selama ini aku cari! Akhirnya aku menemukanmu, toko A!

Masuk lah gue ke dalam. Di rak ngga jauh dari tempat gue berdiri, nampak sepasang sepatu berwarna hitam penuh, model asik, dan sepertinya murah. Setelah bertanya ke penjaga tokonya, gue harus menelan pil pahit. Sebab ternyata ukuran besarnya ngga ada. Sedih.

Ngga menyerah, gue coba pilih sepatu model lain. Saat ini pikiran gue cuma biar dapat sepatu di toko ini, bagaimana pun modelnya. Karena gue udah mulai capek batin, sedari tadi milih-milih terus, tapi ngga ada yang ukurannya pas. Nyatanya emang ngga ada sepatu yang berwarna hitam berukuran besar di toko ini.

Dasar toko penipu! Spesialis penjual sepatu berukuran besar apanya?! Begitu kira-kira suara dalam pikiran gue. Gue lalu beranjak keluar dari toko. Saat mendekati pintu keluar, ujung mata gue menangkap suatu objek di etalase toko.

Jadi emang toko ini modelnya khas toko jaman dulu banget. Di sisi kanan-kiri pintunya ada etalase yang terbuat dari kaca. Fungsinya adalah buat memajang produk andalan toko tersebut. Dan di sana gue lihat sepasang sepatu berwarna hitam sedang berpose dengan manjanya.

Tanpa pikir panjang gue langsung menyuruh si penjaga toko buat mengambilkan sepatu itu. Modelnya lumayan lah, warnanya juga didominasi hitam. Walau ada sedikit aksen abu-abu, tapi kayaknya ngga masalah. Detik-detik gue memakai sepatu itu menjadi sangat mendebarkan. 

Perlahan gue mengarahkan kaki untuk mengenakan sepatu itu. Sampai akhirnya seluruh kaki gue bisa masuk dengan sempurna. Gue berdiam diri sebentar untuk menyesuaikan keadaan kaki dalam sepatu. Dan ternyata… muat!

Gokil! Setelah perjuangan berat keluar masuk toko, akhirnya gue menemukan juga tambatan kaki ini. Terdengar tepuk tangan para pengunjung di tempat itu. Disusul dengan sorak-sorai para penjaga toko. Air mata gue menitik perlahan. Semua perasaan lelah tadi hilang begitu aja setelah gue sadar kalo sepatunya muat. Bahkan ada lebih beberapa milimeter. 

“Wah, mantap nih, Mas. Merk apa ini sepatunya?” tanya gue sama si penjaga toko.

“Spotec, Dek. Merk lokal.” jawabnya.

“Ukuran berapa ya? Tumben sepatu lokal bisa muat.”

“Empat enam, Dek.”

“Hah? Berapa, Mas?”

“Empat enam.”

“Berapa, Mas?”

“Empat enam, bangsat! 

“...”

“Udah mending lu langsung ke kasir terus bayar sono!”

Anjis, gue baru aja membeli sepasang sepatu berukuran 46. Gokil, gue masih SMA nih pas belinya. Anak SMA mana lagi yang bisa kayak gini? Sejak itu, mulailah gue beredar di sekolah mengenakan si ‘dia’. 

Dia, sang sepatu jumbo tersayang.


Tulisan Lain

No comments:

Post a Comment