Hampir dua bulan ini obrolan orang di sekitar gue ngga jauh-jauh dari persoalan seseorang yang melakukan penistaan agama. Bosen, iya. Jengah, pasti. Di timeline sosial media gue pun banyak bertebaran makhluk-makhluk yang saling beradu argumen. Tujuannya bukan buat diskusi, tapi hanya untuk menunjukkan bahwa dirinya lah yang paling benar.
Dari awal kemunculan kasusnya, gue udah berusaha keras buat ngga ikut-ikutan. Biarpun tangan udah gatel banget mau menyanggah semua argumen konyol itu, namun apa daya, gue terlanjur malas. Akhirnya gue coba membiarkan mereka melanjutkan ‘diskusi’ tersebut sambil mengamati dalam diam.
Namun ngga gue sangka, dalam pengamatan itu gue menemukan suatu aktivitas unik yang muncul dari masing-masing pihak. Baik yang pro ataupun kontra. Aktivitas itu gue definisikan sebagai bentuk pertahanan terhadap sebuah fakta yang telah diyakini kebenarannya, dan ego untuk memaksa orang lain agar percaya pula dengan fakta tersebut.
sumber |
Biar gue beri analoginya.
Pernah mendengar soal komunitas Flat Earth? Ini adalah sebuah komunitas yang meyakini bahwa bumi ini berbentuk datar. Lalu sebagai orang yang percaya jika bumi itu berbentuk bulat, apa tanggapan kita? Pasti kita bakal menganggap mereka itu aneh, bodoh, tolol, dan sebagainya.
Belum lagi jika mereka terang-terangan mengatakan bahwa bumi itu datar di depan kita. Pastinya rasa gemas akan memuncak. Terlebih kalo udah dikasih tau hal yang benar, eh mereka tetap teguh sama pendiriannya, bukan ngga mungkin sepatah atau dua patah kata kasar akan terlontar dari mulut kita sebagai luapan kekesalan.
Hal yang sama gue rasa juga terjadi pada orang-orang yang berdebat kusir tadi. Mereka menganggap sang lawan itu salah. Makanya mereka berusaha keras memengaruhi lawan debatnya agar memiliki pandangan serupa, yang mereka anggap benar. Mereka ngga akan puas kalo sang lawan belum sependapat dengan mereka. Sedangkan di sisi lain, pihak yang berseberangan juga bersikeras.memaksakan pendapatnya.
Dua-duanya sama keras, sama ngotot, dan sama-sama merasa paling benar. Akibatnya ya sampe Dajjal beranak juga debat ini ngga akan kelar.
Dari perdebatan itu, ada dua jenis pendapat utama yang bisa gue tangkap. Pendapat pertama menganggap si tersangka udah terbukti melakukan penistaan agama dan layak dihukum. Sedangkan pendapat kedua menganggap tindak penistaan itu hanya rekayasa dari pihak-pihak yang ngga suka sama si tersangka.
Mari kita telaah satu per satu.
Apakah terjadi penistaan agama? Bisa jadi iya. Karena si tersangka menyandingkan kata ‘bohong’ dengan sebuah ayat suci dalam satu kalimat. Walau terlihat dia ngga menyampaikan dalam konteks yang serius.
Menurut gue pribadi, dia cuma lepas kontrol aja. Kalo dilihat konteks secara keseluruhan sih gue rasa dia cuma kesal. Karena dari dulu selalu diserang menggunakan ayat yang sama ketika maju di pemilihan umum. Ngga ada niatan menghujat sebuah agama ataupun kitab suci. Ya tapi itu kan yang gue lihat. Ngga tau deh dalam hatinya seperti apa.
Namun, jelas bahwa ngga seharusnya dia menyampaikan itu di forum terbuka. Di mana banyak sekali mata yang menyaksikan. Ditambah lagi, dia menggunakan contoh ayat yang berasal dari agama lain yang ngga dia anut. Agama kaum mayoritas pula.
Ibarat kata dalam tongkrongan, kalo kita nge-jokes kasar sama temen-temen yang udah kenal lama pasti ngga masalah. Malah mungkin bisa membuat semua ketawa. Tapi ketika ada orang asing yang melakukan itu, ya siap-siap aja digebukin satu tongkrongan.
Oke, itu gambaran besar soal pendapat yang pertama. Sekarang kita masuk ke argumen kontra-nya.
Apakah benar penistaan itu hanya sebuah bentuk rekayasa semata? Bisa jadi iya. Karena dari transkrip yang beredar, ada sebuah kata yang sengaja dihilangkan. Pertanyaannya; untuk apa dihilangkan?
Belum lagi, pergerakan aksi massa yang masif menuntut si tersangka dipenjara terasa kurang natural buat gue. Masih banyak sebenarnya aktivitas penistaan agama yang lebih parah, tapi ngga pernah tuh sekalipun jadi issu nasional. Lalu kenapa yang ini bisa?
Ada segelintir orang yang mengatakan bahwa semua ini hanyalah sebuah penggiringan opini jelang Pilkada beberapa bulan mendatang. Cukup masuk akal menurut gue.
Dan kalo emang ternyata benar demikian, berarti kita harus menunggu berbulan-bulan lamanya sampai pelaksanaan Pilkada selesai agar issu ini bisa surut. Itupun dengan catatan ngga ada cela dalam pelaksanaan Pilkada-nya. Kalo ternyata ada indikasi kecurangan, ya siap-siap aja nunggu sampe Dajjal beneran beranak.
Tapi sekali lagi, gue ada di pihak netral. Malah cenderung apatis atau sebodo amat. Masalahnya, gue tau kedua pihak bukan sedang berada dalam posisi berdiskusi dan mencerahkan. Sebaliknya, mereka lagi berdebat kusir sembari memperkeruh suasana.
Sekali lagi, ngga akan ada pemenang dalam perdebatan. Yang ada cuma kompromi. Dan itulah poin tertinggi yang bisa dicapai dari sebuah perdebatan. Bisakah kita menerima orang lain yang berbeda pendapat tanpa memaksakan pendapat kita? Jelas sulit. Gue ngga munafik lah.
Toh, gue sendiri pun selalu geregetan tiap mendengar orang yang mengatakan bahwa bumi itu datar. Rasanya pengen banget gue sentil ubun-ubunnya. Tapi ya mau gimana lagi, setiap orang kan bebas meyakini apa yang mereka yakini.
Lagian, kalo dilihat dari sudut pandang mereka, kita yang percaya bahwa bumi itu bulat justru yang terlihat aneh dan bodoh. Mereka pasti menganggap kita cuma bisa menelan mentah fakta yang beredar di sebagian besar masyarakat. Tanpa mau mencari sendiri kebenarannya.
Kita dan mereka sama keras, sama ngotot, dan sama-sama merasa paling benar. Familiar dengan ini?
Ya, pada akhirnya sebuah mekanisme yang tadi gue bahas muncul pula di kasus ini. Dan kemungkinan besar juga ada di setiap permasalahan perbedaan pendapat lainnya. Baik masalah sensitif seperti soal agama, hingga masalah sepele perihal 'haruskah bubur ayam diaduk sebelum disantap?'. Karena dalam hakikatnya, sangat manusiawi apabila setiap orang memiliki mekanisme itu.
Sebuah mekanisme pertahanan terhadap sebuah fakta yang telah diyakini kebenarannya. Serta ego untuk memaksa orang lain agar ikut percaya terhadap fakta tersebut.
No comments:
Post a Comment