Friday 15 April 2016

Selembar Asa yang Hilang


Gumpalan awan hitam masih tampak menggantung di langit. Disertai dengan ribuan titik air yang tumpah membasahi bumi. Dari balik jendela kamar, aku memandang ke arah luar. Berniat melihat hiruk pikuk Jakarta di pagi hari, seperti kebiasaanku di pagi-pagi sebelumnya. Namun yang kudapat hanyalah sepi. Begitu sunyi, gelap, dan kelam. Layaknya sebuah pagi yang dimulai dengan teramat muram.

Semilir angin yang masuk dari sela-sela jendela pun terasa dingin menggigit tulang. Aneh, tak biasanya suhu udara Jakarta dapat sedemikian rendah. Hawa dingin ini mendesakku untuk segera menyeduh secangkir kopi panas. Entahlah, tapi kurasa secangkir kopi dapat memberiku sedikit kehangatan di pagi yang beku ini.

Saat aku baru akan menghirup sesapan pertama, tiba-tiba terdengar suara bel rumahku berbunyi. Tanpa pikir panjang, aku lantas menaruh cangkir kopiku di meja makan dan bergegas keluar untuk menyambut siapapun yang datang. Rasa penasaran mempercepat langkahku menuju halaman. Sebab jarang sekali ada orang bertamu ke rumahku sepagi ini.

Setibanya di halaman, aku melihat sebuah sosok sedang berdiri menunggu di balik pagar. Aku tahu tamuku seorang wanita. Terlihat jelas dari pakaian yang dikenakannya; blouse biru muda, rok span hitam, dan high heels. Serta sebuah tas jinjing merah yang tergantung di tangannya. Semua sangat serasi melekat di tubuh tinggi semampainya. Namun wajahnya yang terhalang payung membuatku tak bisa mengenalinya.

“Ya, cari siapa ya, Mbak?” tanyaku pada wanita itu.

“Hai, Dimas.” sapanya sambil sedikit mengangkat payungnya. Membuat wajahnya dapat kulihat. 

Wanita itu.

Ada hening panjang yang tercipta di sana. Aku tidak bisa menyembunyikan keterkejutanku. Aku terperangah dan terdiam di tempat, membiarkan tubuhku basah diguyur hujan. Ia pun tetap berdiri memegang payungnya sambil terus menatapku. Cukup lama kami terjebak dalam kecanggungan ini. 

“Hayoo, kok bengong?” tanyanya memecah kebisuan.

“Ocha?” ujarku pelan.

“Iya. Kamu kenapa sih, Dim? Kayak yang bingung gitu.”

“Hah? Eh, ngga kok.” jawabku gugup, “Masuk dulu, Cha.” lanjutku sembari membukakan pagar.

“Iya” dia lalu menyelinap masuk dan berjalan ke teras rumahku. 

Sesudah menutup pagar kembali, aku menyusul ke teras tempat wanita itu berada. Kulihat dia sedang terduduk di kursi teras yang terbuat dari rotan. Kursi di mana dia duduk setiap kali datang ke sini. Ia bahkan menamai kursi itu dengan sebutan ‘kurfa’ alias kursi favorit.

“Kursi favorit?” ucapku.

Ia mengangguk semangat, “Dan akan selalu jadi tempat yang bagus untuk ngobrol.” tambahnya.

“Tapi ngga sekarang, Cha.” aku menunjuk ke arah langit, “Hujannya terlalu deras, nanti kamu basah kena tampias airnya.”

Aku lalu mengisyaratkan supaya dia masuk ke dalam rumah. Mempersilakannya duduk di kursi ruang tamu, sementara aku menuju kamar untuk mengganti baju yang basah kuyup. Di dalam kamar, aku tidak bisa lagi menyembunyikan rasa bahagiaku. Aku menghempaskan tubuhku ke kasur. Kemudian mengepalkan tangan dan berteriak “Yeah!” tanpa suara 

Mimpi apa aku semalam?

Seorang wanita yang telah lama kupuja kini hadir di dekatku. Membawa lagi keteduhan yang telah empat tahun menghilang. Dan aku tidak mau menghilangkan kesempatan emas ini. Aku menghabiskan lebih banyak waktu memilih pakaian. Semata-mata agar tak terlihat menyedihkan di hadapannya. Berulang kali aku mematut diri di depan cermin. Memastikan semua terlihat sempurna.

Kemudian rasa gugup itu datang lagi. Kegugupan serupa seperti saat aku dan dia masih sering menghabiskan waktu bersama. Kegugupan yang kini membuat jantungku memompa lebih cepat dan telapak tanganku mengeluarkan keringat dingin. Tak kusangka bahwa sensasi ini masih ada. Sebuah gejolak yang meletup-letup karena aku memang memendam perasaan padanya.

Dari kamar, aku menuju dapur untuk membuatkannya segelas teh. Setelah itu, aku lantas kembali ke tempatnya menunggu sambil membawakan teh dan juga kopi yang belum sempat kuminum. Kuletakkan gelas teh itu di meja dekatnya. Lalu aku mengambil posisi duduk di sebelahnya. Kuperhatikan ia mengambil gelas teh tersebut, kemudian meminum isinya secara perlahan. 

“Teh celup yang diseduh air mendidih, dicampur dua sendok gula pasir, terus diaduk, terus ditambahin sedikit air dingin. Sebuah racikan teh yang sempurna, kan?” ucapku.

Ia mengangguk dan tersenyum, “Kamu masih inget ternyata.”

“Iyalah, bahkan sambil merem juga aku bisa bikinnya.” jawabku seraya tertawa kecil.

“Sip” dia mengacungkan dua ibu jarinya, “Kamu emang sahabat yang paling mengerti aku deh.”

Sahabat. Begitulah dia menganggapku.

“Ngemeng-ngemeng, kamu kapan dateng dari Aussie, Cha?” tanyaku.

“Baru dua minggu kemarin sih.”
“Sorry ya aku ngga sempet ngabarin kamu, lagi sibuk banget sama kerjaanku.” tambahnya.

“Lah, sibuk sama kerjaan kok bisa balik ke Indo? Cuti?”

“Enggak lah, kan aku emang udah resign dari sana. Terus pindah kerja ke sini. Makanya selama dua minggu kemarin itu aku sibuk ngurus kerjaan di kantor baru. Gitu, mas ganteng.” jawabnya.

“Ooooh.” aku mengangguk tanda mengerti.

“Nah, terus kok tiba-tiba main ke sini? Kangen ya sama aku?” kataku jahil.

“Pastinya dong! Mana mungkin aku ngga kangen sama sahabatku yang super ganteng ini…”

Aku segera memasang pose lelaki cool sembari merapikan rambut.

“....yang sayangnya masih aja betah menjomblo.” tambahnya. Dia tertawa puas sekali setelah berkata seperti tadi.

“Aelah, pake bawa-bawa status sih.” ujarku.

“Hahaha iya sorry deh. Lagian kamu juga sih, udah mau seperempat abad tetap aja konsisten jomblo. Emang nyari yang kayak gimana sih?”

‘Yang kayak kamu, Cha! Iya. Kamu!’ gumamku dalam hati.

“Yah, yang cocok aja lah, Cha. Ngga usah muluk-muluk. Udah umur segini juga kan.” jawabku.

Dia hanya tersenyum. Manis sekali.

“Oh iya, Dim. Aku ngga bisa lama ya. Soalnya harus lanjut ke kantor lagi.” ucapnya

“Iya, santai aja. Aku juga bentar lagi siap-siap ngantor.”

“Tapi sebelum pergi, aku mau kasih sesuatu dulu ke kamu. Sesuatu yang sangat spesial.” ia memberi penekanan pada kata 'spesial'.

“Wah, apaan nih? Oleh-oleh ya?”

Dia tidak menjawab. Malah tampak sibuk mencari-cari sesuatu di tas jinjingnya. Sesekali wajahnya berkerut karena tidak juga ia menemukan apa yang dicari. Aku menunggunya dengan penuh kesabaran. Tak lama setelahnya air mukanya jadi berbinar. Pertanda ia telah menemukan benda yang dicari. Ia lalu mengacungkan benda itu tepat di depan wajahku. Diiringi pendar kegembiraan dari matanya.

“Taadaa..”
“..ini dia yang mau aku kasihin ke kamu.” ia mengoyang-goyangkan benda itu di depan mataku.

Sebuah undangan.

Berukuran sebesar kartu pos. Dilapisi kain beludru merah dan dihiasi pita berwarna keemasan pada bagian tengahnya. Di sana tertulis namanya berdampingan dengan nama seorang pria yang tidak kukenal. Namaku? Jelas ada. Terletak di bagian bawah kanan undangan. Tertulis rapi pada sebuah kertas yang ditempel asal-asalan.

“Kamu… mau nikah, Cha?” sebuah pertanyaan bodoh terlontar dari mulutku.

Ia mengangguk cepat, “Acaranya bulan depan. Kamu bisa dateng kan?” tanyanya sumringah.

Aku mengangguk lemah, “Aku usahain ya.”

“Ih, nggak ada tuh ‘usahain-usahain’, pokoknya kamu harus dateng!” ia memasang ekspresi pura-pura marah, “Oh ya, terus dandan yang rapi, temen aku banyak yang cakep loh, siapa tau ada yang cocok.” ia terkekeh.

‘Tapi aku maunya kamu’ ujarku dalam hati.

“Iya.” aku memilih mengalihkan pandangan ke luar.

“Dan yang terpenting, jangan sampe telat! Aku mau kamu juga dateng ya pas akadnya.” ia mengacungkan telunjuknya, “Awas aja kalo aku ngga liat kamu!” tambahnya.

“Iya.” aku masih tetap memandang ke arah luar.

“Yee dibilangin kok iya-iya melulu. Lagian kamu ngeliatin apaan sih?” dia ikut menoleh ke luar.

“Eh, enggak. Ngga ada apa-apa kok. Aku cuma kepikiran kerjaan aja.”

“Oh, iya! Aku lupa kalo mau ke kantor juga.”
“Yaudah ya, Dim. Aku pamit dulu.” dia lalu mengemasi tasnya dan bersiap pergi.

Aku mengiyakan. Dia berdiri dari kursinya, begitupun aku. Lalu kami berjalan bersisian sampai ke pagar. Kali ini tanpa payung karena hujan sudah berhenti sepenuhnya. Menyisakan aroma tanah basah dan genangan air di sana-sini. 

“Dim, aku berangkat dulu ya. Jangan lupa, bulan depan dateng!”
“Daah..” ia berkata seraya melambaikan tangan.

“Yap. Hati-hati, Cha.” ujarku.

Aku melihatnya berjalan menjauh dan akhirnya tak terlihat lagi. Kemudian aku berjalan gontai kembali ke dalam rumah. Mendapati undangannya masih tergeletak di meja ruang tamu. Kuambil undangan itu dan membawanya ke kamar. Aku beranjak duduk di tepian kasurku. Sekadar menetralkan suasana hati setelah kenyataan pahit yang barusan aku hadapi.

Gejolak untuknya jelas masih ada. Dan tak berkurang sedikitpun. Bahkan setelah aku tahu dia telah menentukan pilihan, yang ternyata bukan diriku. Tiba-tiba kurasakan sebongkah perasaan asing menghempas ke dalam dada. Menimbulkan rasa sesak seperti ingin meledak. Bersama bara api yang merambat menuju punggung serta wajahku.

Hujan deras di luar mungkin sudah lama berhenti. Tapi gerimis di hati dan mataku baru saja dimulai. 

Mulanya diawali rintik halus. Dan lalu menjelma sebagai hujan badai beriring petir yang bersahut-sahutan. Selama beberapa menit aku termangu. Karena belum bisa menerjemahkan atas gerangan apa sesak ini timbul. Sebentuk penyesalan kah? Atau kekecewaan? Atau sekadar marah tak berdasar?

Lucu bagaimana selembar kertas berlapis beludru dan berhias pita emas ini bisa sedemikian rupa mengacaukan diriku. Semua ini terasa konyol sekaligus menyakitkan. Aku ingin tergelak puas sambil terisak memelas. Aku ingin menertawakan diri sembari mengutukinya. Aku ingin semua tekanan ini terlepas dariku. 

Aku ingin kelegaan.

Dan apabila di lain hari dia bertanya ‘apakah kamu akan datang?’ maka dengan sangat menyesal kan kujawab ‘maaf, aku tak akan datang’. Lalu jika dia mencecarku lewat pertanyaan ‘kenapa?’ rasanya lebih elok bila kujawab dengan sebuah senyuman saja. 

Sebuah senyum perpisahan untuk mengantarkan wanita itu menuju bahagianya.

Selamat bergembira, Sayang
kuyakini kau kan aman dalam dekapnya

Tulisan Lain

No comments:

Post a Comment