Alkisah, di sebuah kerajaan antah berantah, hiduplah sepasang suami istri yang sangat berkekurangan. Bahkan tiada hari yang mereka lewati tanpa penderitaan. Namun begitu, mereka tetap berbahagia karena merasa telah memiliki satu sama lain.
Sang suami adalah sosok lelaki gagah berwajah rupawan yang bernama Andrei Stetoskov. Kedua orangtuanya merupakan bangsawan Rusia. Pengaruh kuat sang ayah membuat Stetoskov dapat bekerja sebagai auditor di gudang emas kerajaan.
Sedangkan si istri bernama Sambut Dia Lahir, atau biasa dipanggil Sambut. Ia lahir dan tumbuh besar dalam lingkungan keluarga jelata di kerajaan. Sehari-hari ia bertahan hidup dengan menjadi barista di kedai penyamun.
Walaupun memiliki pekerjaan tetap, namun mereka berdua selalu hidup dalam keadaan memprihatinkan. Itu semua disebabkan ulah Sambut yang gemar sekali melakukan sabung ayam. Hutangnya bahkan sudah melebihi pendapatan ia dan suaminya.
Suatu hari, keduanya dilanda kelaparan parah akibat tidak adanya makanan yang bisa dikonsumsi. Mereka hanya berjarak beberapa jam saja dari kematian akibat perut yang kosong. Menyadari keadaan itu, Stetoskov pun berinisiatif mencari bahan makanan di hutan terlarang. Berbekal parang dan perisai, ia lalu bergegas pergi.
Tak lama setelahnya, Stetoskov telah tiba di Hutan Terlarang. Hutan tersebut masih berupa rimba luas tak berpenghuni. Di dekat jalan menuju masuknya terdapat tulisan ‘Dilarang Masuk Bagi yang Tidak Berkepentingan’. Hal itulah yang menyebabkan masyarakat di sekitar menjulukinya sebagai hutan terlarang.
Stetoskov mengamati lekat-lekat keadaan di sekitarnya. Ia coba mencari bahan makanan apa yang sekiranya bisa ia bawa pulang. Karena takut untuk masuk lebih jauh, ia hanya berkeliling di sekitar kebun warga yang terletak persis di samping hutan terlarang.
Ia melihat dengan saksama hasil kebun yang bertebaran di sekitarnya. Ada rambutan, pisang, dan sayur mayur segala rupa. Namun tatapannya tertuju pada setandan pisang yang telah jatuh karena sudah masak. Ia kemudian mengambil pisang tersebut untuk dibawa pulang.
Sesampainya di rumah, ia disambut oleh Sambut yang sedang berdiri seraya memegangi perutnya. Tampak Sambut begitu tersiksa menahan rasa laparnya. Stetoskov lantas menyerahkan pisang itu kepada si istri. Lalu berpesan agar Sambut mengolah dahulu pisangnya sebelum disantap.
Dengan menenteng setandan pisang, Sambut berjalan ke arah dapur. Ia meneliti semua bahan makanan yang ada di sana. Namun malang baginya, yang tersisa hanyalah tepung dan sebagian bumbu masak. Sambut menghela nafas panjang. Ia pasrah, dan berharap semoga saja bahan-bahan tersebut dapat dipergunakan.
Entah mendapat wangsit dari mana, Sambut lantas mencampur tepung tadi dengan sedikit air. Lalu menambahkan bahan-bahan yang tersedia di dapurnya, seperti gula aren, garam, bubuk kayu manis, dan cacahan daun ganja. Kemudian ia memasukkan pisang yang telah dikupas ke dalam adonannya. Terakhir, ia menggoreng pisang berbalut adonan tepung itu secara hati-hati.
pisang goreng |
Tak disangka tak dinyana, gorengan pisang tersebut memancarkan bau harum yang menggiurkan. Stetoskov yang sedang mengerjakan laporannya pun tergoda oleh aroma harum dari arah dapur. Tak perlu berlama-lama, ia langsung menghampiri istrinya tercinta.
“Mbut…” panggil Stetoskov kepada Sambut.
“Iya, Mas?” sahut Sambut pelan.
“Mbut…” panggil Stetoskov kepada Sambut.
“Iya, Mas?” sahut Sambut pelan.
“Apakah gerangan yang sedang engkau masak itu?” tanya Stetoskov kepada Sambut.
“Ini, Mas, pisang yang tadi kauberikan.” jawab Sambut.
“Terlihat enak. Boleh kucicipi?”
“Silakan Mas, aku memang sengaja memasaknya untukmu. Tapi hati-hati, masih panas.”
Stetoskov mengambil sepotong pisang dan memulai gigitan pertamanya. Namun setelah itu raut wajahnya terlihat bingung. “Mbut, mengapa pisangnya keras sekali? Aku bahkan tak kuasa untuk menggigitnya.”
“Anu, Mas… yang kau gigit itu patahan gagang kuali yang barusan terjatuh. Pisangnya sudah kuletakkan di atas piring ini.” Sambut menunjuk piring saji di dekat tungku.
Stetoskov langsung mengambil sepotong pisang untuk mengalihkan perhatian Sambut atas kejadian memalukan barusan. Ia menggigit ujung pisang itu sembari mengangguk-anggukan kepalanya.
“Wah, enak sekali masakanmu!” ujar Stetoskov.
“Iya, Mas? Syukurlah, padahal tadi aku hanya coba-coba membuatnya.” Sambut menjawab sambil tersipu.
“Aku belum pernah menemukan makanan selezat ini.” ucap Stetoskov.
Di sela-sela kunyahannya, otak bisnis Stetoskov bekerja secara cepat. Ia membayangkan apabila makanan seenak ini bisa dibuat secara massal, kemudian dijual di pasar rakyat. Pastilah akan banyak sekali pembelinya. Dan mereka berdua dapat berubah menjadi hartawan dalam waktu singkat.
“Mbut, aku jadi terpikirkan sesuatu.” ujar Stetoskov
“Apa itu, Mas?” tanya Sambut pelan.
“Bagaimana kalau makanan ini nanti kita jual di pasar?”
Sambut mengernyitkan dahinya sejenak, seperti sedang berpikir. Lalu kemudian berucap, “Aku setuju saja, Mas dengan usulmu.”
“Bagus. Tapi sebaiknya kita tentukan dahulu nama untuk makanan ini. Kau ada usul?”
“Hmmm makanan ini kan dibuat dengan cara digoreng, mengapa tak kita namakan saja sukun goreng?” usul Sambut
Stetoskov terdiam sejenak, “Aku kurang setuju, Mbut. Bahan yang digunakan adalah pisang, bukan sukun.”
“Oh, betul juga, Mas. Makanan ini kan terbuat dari pisang. Bagaimana jika kita beri nama rainbow cake?” tanya Sambut lagi.
Stetoskov tampak makin keras berpikir, “Ah, aku masih tidak setuju. Nama itu terlalu kebarat-baratan. Tak elok jika kita menjualnya di pasar rakyat.”
Keduanya kembali terdiam. Memikirkan nama apa yang sekiranya cocok disandangkan kepada makanan itu.
“Mas, ini usul terakhirku. Maukah kau mendengarnya?” tanya Sambut.
“Ya, silakan.”
“Jadi menurut pikiranku, karena makanan ini terbuat dari pisang yang digoreng, bagaimana kalau kita beri nama pisang goreng?”
Mendengar saran tersebut, Stetoskov terperangah. Mulutnya membuka sedikit demi sedikit dan akhirnya ternganga. Matanya membelalak seolah hendak keluar dari kelopaknya. Lehernya menegang layaknya ingin meneriakkan sesuatu.
“Cerdas!” pekik Stetoskov.
“Pisang yang digoreng dengan tepung ini akan kita beri nama pisang goreng! Oh, Gusti, mengapa aku sampai tak terpikir hal seperti itu?!” tambahnya lagi sembari tersenyum lebar.
Selengkung senyuman ikut hadir di bibir Sambut. Sebab ia sendiri pun tidak sengaja memberikan nama sedemikian bagusnya. Hanya sebentuk spontanitas yang menghasilkan nama makanan yang begitu sederhana, namun penuh romansa. Pisang Goreng.
Sejak saat itu, mereka berdua memulai bisnisnya di pasar rakyat. Dan sesuai yang dibayangkan, makanan mereka sangat disukai. Bahkan keluarga kerajaan ikut menjadi pelanggan setia mereka. Bisnis mereka lalu berkembang pesat. Hingga akhirnya, pisang goreng dapat dinikmati di seluruh dunia.
Meskipun kini tak lagi menggunakan cacahan daun ganja dalam adonannya.
No comments:
Post a Comment