Adalah Vanessa nama cewek yang tadi gue ajak berkenalan di kantin kampus. Sejujurnya sudah lama cewek satu ini menarik perhatian gue. Ngga tau kenapa rasanya adem aja tiap melihat dia. Apalagi kalau memandangi wajahnya yang berbentuk oval, dengan mata sipit dan hidungnya yang mancung. Dilengkapi bibir tipisnya, maka bisa gue bilang wajahnya oriental sekali.
Perawakannya proporsional dan cukup tinggi untuk ukuran cewek. Kira-kira 170-an centimeter. Kulitnya putih bersih terawat layaknya putri raja. Tapi yang paling ngga bisa gue lupakan adalah suaranya. Lembut sekali. Terbayang terus merdu suaranya saat adegan perkenalan di kantin tadi.
“Aku Vanessa” ujarnya seraya mengulurkan tangan.
“Adam.” gue berkata sambil menyambut uluran tangannya. Halus.
Itulah cuplikan adegannya. Sisanya biar gue simpan sendiri
Oh ya, nama gue Adam. Tapi tenang, gue bukan Adam yang kalian kira. Gue bukan sosok yang awalnya tinggal di Surga, terus makan buah khuldi, dan berujung dibuang ke bumi. Itu Adam yang lain. Dan gue juga bukan lelaki berkumis tebal yang beristrikan penyanyi dangdut.
Gue adalah Adam, orang tampan berwajah rupawan yang digilai para wanita. Badan gue lumayan tinggi buat ukuran Asia, berkulit coklat terang, serta berambut cepak sisaan ospek kemarin. Bertubuh ideal, walau dengan perut yang sedikit mencuat keluar.
Gue adalah Adam, orang tampan berwajah rupawan yang digilai para wanita. Badan gue lumayan tinggi buat ukuran Asia, berkulit coklat terang, serta berambut cepak sisaan ospek kemarin. Bertubuh ideal, walau dengan perut yang sedikit mencuat keluar.
Gue merupakan mahasiswa baru di sebuah kampus paling gaul di seantero pulau. Mengambil jurusan Sastra Indonesia, jurusan yang sangat gue idam-idamkan sejak embrio dulu. Namun saat merasakan sendiri perkuliahannya, kayaknya gue mending selamanya aja jadi embrio. Karena gue baru sadar kalau kuliahnya berat banget.
Dan perkenalan dengan Vanessa membawa angin segar bagi jiwa ini. Setidaknya hari-hari gue bisa lebih cerah melihat keberadaannya di kampus. Walaupun memang kami berbeda jurusan. Dia sendiri berkuliah di jurusan Sastra Jerman.
Tapi itu bukan masalah. Sebab kami masih dalam lingkup fakultas yang sama. Obrolan gue dan dia pun nyambung-nyambung aja. Terutama pembahasan tentang Jerman. Lagian gue juga banyak mengidolakan banyak tokoh dari sana, Didier Drogba misalnya.
Setelah perkenalan dengannya tadi siang, gue melanjutkan perkuliahan seperti biasa. Masuk ke kelas yang bahkan gue ngga paham kenapa gue bisa berada di sana. Tapi untungnya waktu belajar sudah selesai sekarang. Gue lalu membereskan semua peralatan dan berjalan keluar dari gedung jurusan.
Selepas kuliah terakhir tadi, gue melihat Vanessa sedang melintas dekat gedung jurusan. Kali ini sepertinya Dewi Fortuna sedang berpihak sama gue. Baru saja gue terus memikirkannya di kelas, ternyata dia sudah ada di sini. Tanpa pikir panjang, gue pun langsung memanggilnya.
“Van, oi, Van!” gue berteriak memanggilnya.
Kemudian Ivan Gunawan datang menghampiri gue. Waduh, salah orang nih. Gue serta-merta mengoreksi panggilan tadi.
“Van… Vanessa!”
Dia menoleh, lalu melambaikan tangan ke gue. Sejurus kemudian dia melangkahkan kakinya mendekati calon kekasihnya ini.
“Hai, Dam. Kenapa kok manggil-manggil?” tanya Vanessa
“Ngg.. anu.. itu.. anu loh, itu ngg.. anu..” gue menjawab secara absurd. Sial, kenapa gue bisa jadi gugup begini ya? Rasanya tadi pas ngobrol di kantin biasa aja.
“Hah? Anunya siapa, Dam? Anunya kenapa?”
“Eh, bukan, itu.. gue cuma mau ngajak lo pulang bareng. Kan pas di kantin tadi lo bilang kalo ngga bawa kendaraan. Hehehe.”
“Oalah, kirain kenapa. Yaudah, emang rumah kamu di daerah Centong juga?”
“Iya, di Jalan Kemunafikan. Kalo rumah lo di mana?”
“Di Jalan Kepalsuan. Tapi rumah tante aku sih sebenernya, aku kan cuma numpang.”
“Wih, deket ternyata. Masih satu RW loh itu, beda RT doang.”
“Iya, ya? Aku ngga tau sih, kan baru tiga minggu di sana. Lagipula aku kan anak rumahan. Haha” ia berkata sambil tertawa kecil. Ah, lain kali gue harus rekam suara ketawanya. Lumayan buat hiburan di kala gelisah menyelimuti hati.
Percakapan kami memang terkesan janggal karena perbedaan panggilan. Gue lebih nyaman menggunakan sapaan ‘gue-lo’ maklum Betawi asli. Sementara dia terbiasa dengan ‘aku-kamu’. Kebiasaan di daerah asalnya.
“Yaudah, Van. Tapi gue Sholat Ashar dulu ya. Lo mau bareng? Biar sekalian gue imamin.” kata gue sok-sok menggombal.
“Eh, iya silakan, Dam. Aku nunggu di sini aja, soalnya aku kan… ini..” katanya sambil menunjuk kalung salib di lehernya.
“Hehehe, iya tau kok. Gue cuma iseng aja. Okelah, tunggu bentar ya.”
Gue sudah sadar dari awal perkenalan kalau kami berbeda. Gue ganteng, dia cantik. Gue Betawi asli, dia Chinese. Gue seorang muslim yang kurang taat, dan dia aktivis gereja. Tapi gue ngga anggap serius. Jika pun nanti hubungan kami beranjak ke jenjang yang lebih tinggi, dapat gue pastikan hanya akan sampai tahap berpacaran.
Selesai sholat, gue bergegas menuju ke tempat Vanessa menunggu. Kemudian mengajaknya ke parkiran tempat motor gue berada. Sesampainya di parkiran, gue lantas mengeluarkan si Dongo, motor gue, dan menyilakan Vanessa untuk segera naik. Dia lalu duduk mengambil tempat agak berjarak dan memegangi bahu gue. Posisi ini sejujurnya membuat gue terlihat seperti tukang ojek.
Sepanjang perjalanan, dia banyak bercerita soal dirinya. Bagaimana keadaan keluarganya, hubungan dengan teman-temannya, perjuangan masuk ke kampus, dan cita-citanya di masa depan. Berhubung sudah capek banget, akhirnya gue hanya bisa mengangguk-angguk aja. Akibatnya sekarang gue juga terlihat persis mainan dashboard. Hanya Vanessa seorang lah yang bisa membuat gue nampak seperti tukang ojek berkepala mainan dashboard.
Tak terasa gue sudah sampai di depan rumahnya. Ralat, rumah tantenya. Sesuai dugaan, jarak rumah gue ngga begitu jauh dari sini. Jalan kaki paling cuma tiga menit. Kalau naik si Dongo pasti lebih cepat, mungkin hanya beberapa detik. Dia sempat menawarkan buat mampir dulu, tapi gue tolak. Masih ada urusan lain yang harus gue laksanakan. Urusan yang sangat penting.
Si Dongo langsung gue arahkan menuju ke Indomaret di dekat rumah gue. Yang berarti dekat pula dengan rumah tantenya Vanessa. Tiap sore menjelang malam begini biasanya gue habiskan bersama komunitas gue. Dari kejauhan gue lihat sudah ada banyak anggota yang berkumpul di parkiran Indomaret. Pas gue sampai dan memarkirkan si Dongo, semua mata tertuju ke arah gue.
“Ke mana aja lu, Dam? Udah gue tungguin dari tadi juga.” kata Bang Japra.
“Sorry, Bang. Gue ada kelas sore tadi di kampus.”
Bang Japra adalah ketua komunitas kami. Badannya tinggi, besar, dan kulitnya teramat hitam. Selain itu, sekujur tubuhnya ditutupi bulu-bulu kasar, kecuali telapak tangan dan area wajah. Kalau orang yang ngga kenal, pasti menganggap sosoknya sebagai gorilla, tapi tidak dengan gue. Dulu gue kira dia itu sejenis baboon yang bisa bicara.
“Yaudah lo siap-siap deh, sono ambil peralatannya di dalem.” kata dia lagi.
Lalu melangkah lah gue ke dalam Indomaret buat minta kantong plastik belanjaannya. Kasir-kasir di sana sudah paham akan kegiatan komunitas kami, jadinya mereka ngga banyak protes. Malah ada di antaranya sudah menjadi bagian dari komunitas kami. Setelah dapat plastik Indomaret, gue kemudian menuju keluar.
Gue menggantungkan plastik tadi di tembok pembatas parkiran di samping plastik milik anggota lain. Mereka telah siap di posisinya masing-masing. Menyisakan gue yang sudah pasti kebagian posisi di belakang. Bang Japra mengeluarkan aba-aba untuk segera memulai ritual. Kami serentak berlutut, memejamkan mata, menyatukan telapak tangan di depan dada, dan mulai menghaturkan puja-pujaan kepada belasan kantong plastik Indomaret di hadapan kami.
Ya, kami adalah komunitas Penyembah Kantong Plastik Indomaret.
Kegiatan ini gue mulai pada enam bulan lalu, saat itu gue tengah larut dalam kegalauan akut. Selepas membeli sebotol Baygon di Indomaret untuk diminum, gue melihat Bang Japra sedang melakukan penyembahan. Kala itu dia terlihat tenang dan berwibawa sekali. Dari situ gue mulai bertanya dengan aktivitasnya dan belakangan jadi rutin mengikuti ritual hampir tiap hari.
Awalnya pasti terasa aneh. Namun percayalah, lama-kelamaan semua rasa aneh itu akan… bertambah. Sampai akhirnya gue ngga bisa lepas dari sensasi aneh yang diciptakan kegiatan ini. Bahkan kalau seminggu aja gue melewatkan kegiatan penyembahan ini, hidup gue malah terasa normal. Dan membuat gue rindu akan keanehan ini. Aneh sekali.
Beberapa menit berselang, Bang Japra memberikan arahan untuk menyudahi sesi penyembahan kantong plastik. Gue membuka mata dan mendapati dia sudah menggunakan plastik Indomaret ukuran besar sebagai celana. Brengsek, cepat sekali proses penggantiannya. Perasaan tadi celananya masih normal.
“Gimana coy celana gue? Keren ga?” katanya sambil berputar memamerkan celana ajaibnya. Jadi celana itu terbuat dari plastik Indomaret ukuran besar yang diberi dua lubang pada bagian bawahnya. Sungguh inovatif.
“Keren, Bang!” jawab kami kompak.
Gue sebenarnya sudah setengah meninggal menahan tawa. Dan gue yakin anggota lainnya juga demikian. Tapi tetap kami tahan-tahan karena masih mau hidup. Bang Japra lalu melanjutkan ritual dengan berceramah. Isi ceramahnya kali ini seputar keunggulan plastik Indomaret dibanding plastik minimarket lain. Gue kurang menyimak ceramahnya karena sekilas gue melihat sosok Vanessa sedang berjalan keluar dari minimarket sebelah.
Ya, tepat di sebelah Indomaret, basis penyembahan kami, berdiri minimarket saingan bernama Alfamart. Sebenarnya Bang Japra sudah berkali-kali menegur pengelola pihak Alfamart agar memindahkan lokasi tokonya. Tapi ngga pernah digubris. Apalah arti Bang Japra di mata mereka, dia hanya preman seram berbadan besar yang tak berdaya.
Gue lantas berdiri untuk menghampiri Vanessa. Ceramah Bang Japra kali ini terpaksa gue lewatkan. Setelah gue dekati, terlihat Vanessa sedang berusaha memasukkan sesuatu ke dalam dompetnya. Kayaknya dia malah kesusahan sendiri, karena sebelah tangannya juga lagi menenteng plastik belanja.
“Butuh bantuan?” tanya gue.
Dia menoleh. Wow, wajahnya kelihatan jauh lebih cerah dibanding saat di kampus tadi. Sepertinya dia baru saja mandi sore. Berlawanan sama gue yang belum ketemu air seharian, kecuali air wudhu. Dan air muncratan ludah Bang Japra pas ceramah barusan.
“Eh, Adam. Ngagetin aja. Aku kira siapa tadi.”
“Hehe, jadi gimana? Perlu dibantuin ga?”
“Boleh, deh. Tolong pegangin ini ya.” ucap dia sambil menyodorkan plastik belanjanya. Dengan berat hati, gue terima plastik belanjaan Alfamart itu. Gue terus melirik ke arah Bang Japra, berharap dia ngga melihat kejadian ini. Bisa-bisa gue dicap sebagai pengkhianat nanti.
“Itu apaan, Van, kok banyak banget kartu di dompet lo?” tanya gue saat melihat dompetnya yang penuh sesak.
“Oh, ini kartu member Alfamart. Aku emang udah lama ngoleksi kartu ini, semacam penggemar gitu lah. Hehe”
‘Apa?! Penggemar kartu member Alfamart?!’ ujar gue dalam hati.
JEGERRR!!
Tiba-tiba terdengar suara petir yang keras menggelegar. Gue kaget, Vanessa kaget, orang-orang kaget, tak terkecuali Bang Japra. Saking terkejutnya, dia sampai mengelus dada mbak-mbak di sebelahnya. Brengsek, sempat-sempatnya. Suara petir tadi disusul dengan gerimis yang perlahan mulai turun. Dramatis sekali.
“Yah, ujan.. Dam, aku duluan ya, mumpung belom deras.” katanya sambil berlari kecil.
“Oke. Hati-hati, Van!”
Lewat kejadian barusan, gue sudah bisa menebak ke mana hubungan gue sama Vanessa akan berujung. Gue sadar kami berdua ngga akan bisa meneruskan jalinan ini. Ada sedikit rasa kecewa yang muncul. Lagi-lagi gue harus menelan pil pahit lantaran menjatuhkan hati pada orang yang salah. Gue menghela nafas panjang dan coba melihat ke sekeliling. Menyaksikan aktivitas orang-orang yang sibuk berteduh seiring makin derasnya hujan.
Lalu mata gue beralih menatap langit yang sedang meneteskan hujan. Kemudian berpikir keras, berpikir dengan sangat keras bagaimana cara membunuh perasaan yang mulai tumbuh untuk Vanessa. Gue sempat sesumbar bahwa perbedaan di antara kami bukanlah masalah.
Iya, awalnya. Karena gue pikir kami cuma berbeda suku, ras, dan agama saja. Itu soal kecil. Perbedaan suku dan ras sudah menjadi biasa di tengah arus modernisasi. Beda agama pun ngga masalah. Toh, gue cuma ingin sampai tahap berpacaran. Ngga akan lebih serius dari itu
Tapi gue menyadari ada hal yang lebih mendasar tentang perbedaan gue dan Vanessa.
Gue penyembah kantong plastik Indomaret, sedangkan Vanessa penggemar kartu member Alfamart.
Mustahil bagi kami untuk bersatu.
No comments:
Post a Comment