Tuesday, 2 February 2016

Penantian sang Pesakitan


Armin tidak tahu mengapa Bu Jariah terlihat begitu marah kepadanya.

Masih teringat jelas ketika tadi Bu Jariah memanggilnya di saat pelajaran sedang berjalan. Beliau langsung masuk ke kelas tanpa menghiraukan guru matematika yang sedang mengajar. Raut wajah Bu Jariah menunjukkan seolah beliau sanggup menelan tubuh Armin bulat-bulat.

“Armin, istirahat nanti segera ke ruangan saya!” ucap Bu Jariah dengan sedikit menyentak. Setelah itu, beliau keluar tanpa pamit.

Tidak banyak yang bisa dilakukan Armin. Ia hanya bisa mengangguk-angguk mendengar perintah dari Bu Jariah. Berdasarkan perhitungannya, Armin hanya punya empat puluh menit sebelum pergi ke ruang BP, neraka bagi seluruh siswa di sekolahnya. Empat puluh menit yang entah kenapa terasa berjalan begitu cepat sekarang.

Guru matematika di hadapan kelas pun tidak lagi diperhatikan Armin. Pikirannya hanya terfokus pada permasalahan dengan Bu Jariah. Ada apa sebenarnya? Kenapa Bu Jariah terlihat sangat marah padanya? Ia memang sudah menjadi pesakitan di sekolah. Dari sejak kelas 10 sudah tak terhitung berapa kali keluar masuk ruang BP. Tapi tidak pernah ia lihat Bu Jariah semarah ini.

Ia terus berusaha keras mengingat kejadian yang sekiranya bisa membuat Bu Jariah murka. Apa karena perkelahiannya dengan Denis? Ah, rasanya tidak. Ia dan Denis juga sudah berbaikan. Lagipula itu hanya perkelahian ringan biasa akibat salah paham. Tidak sampai menimbulkan luka parah. 

Ia melirik ke arah jam tangannya. Sepuluh menit sudah berlalu. Tersisa tiga puluh menit lagi hingga ia bertemu Bu Jariah. Tapi belum juga ia mendapatkan pencerahan. 

Jika bukan kasus perkelahiannya lalu apalagi? Apa karena ia membolos saat pelajaran fisika dua hari lalu? Kemungkinan. Namun ia yakin seratus persen bahwa pelariannya dari sekolah tidak meninggalkan jejak sedikitpun. Ia dan gerombolannya sudah mempunyai jalur rahasia yang mereka buat sendiri. Dan terbukti aman selama bertahun-tahun.

Tak terasa dua puluh menit telah berlalu.

Armin kian panik kala mengetahui waktunya semakin dekat. Ia sudah benar-benar tidak bisa berkonsentrasi pada guru matematika yang sedang mengajar. Otaknya bekerja ekstra keras mengingat segala kemungkinan. Oh, apa karena tindakannya mengerjai guru kimia kemarin? 

Guru kimia itu memang seperti punya dendam pada Armin. Setiap pertemuan pasti Armin selalu disuruh maju untuk mengerjakan soal di papan tulis. Lalu karena rasa jengkelnya, kemarin Armin menaruh permen karet bekas ke kursi guru. Sehingga permen karet itu menempel di celana beliau.

Tapi sepertinya bukan juga. Sang guru bahkan tidak sadar ada sepotong permen karet menempel di celananya. Kalaupun sadar, beliau pasti berpikir jika tertempel permen karet itu di tempat lain. Dan bukan di kelas Armin.

Waktu tersisa sepuluh menit lagi.

Kondisi Armin semakin kacau. Ia bahkan tidak mendengar kala teman sebangkunya mengajaknya berbicara. Kepalanya dipenuhi pikiran buruk soal hukuman apa yang akan diberikan padanya. Bayangan wajah Bu Jariah terlihat jelas ke manapun ia memandang.

Lima menit lagi dan bel istirahat akan berbunyi.

Guru matematika yang mengajar sudah berbenah, siap untuk menyudahi sesi pelajaran saat itu. Armin hanya bisa menunduk sembari memegangi kepalanya. Pandangannya terpaku pada putaran jarum jam di tangannya.

Tiga menit.

Armin makin gugup. Tubuhnya sudah mulai mengeluarkan keringat dingin.

Dua menit sebelum bel istirahat.

Ingatannya kembali pada hukuman terakhir yang ia dapat; skorsing selama seminggu penuh. Jika melihat raut wajah Bu Jariah tadi, rasanya hukumannya pasti lebih berat. Apa mungkin ia akan dikeluarkan dari sekolah?

Satu menit.

Sang guru matematika sudah keluar kelas beberapa detik lalu. Armin bangkit dari kursinya. Siap tidak siap ia harus menghadap Bu Jariah di ruang BP. Setidaknya ia akan dapat jawaban perihal kenapa ia dipanggil ke sana. Jawaban yang dinantikannya selama empat puluh menit tadi.

KRIIIIINGGG!!

Dan bel tanda istirahat pun berbunyi.

Tulisan Lain

No comments:

Post a Comment