Gue sempat memandang jurnalis dan wartawan sebagai profesi yang keren. Bahkan ketika kecil gue pernah bercita-cita menjadi wartawan. Sebab di mata gue, pekerjaan mereka begitu mulia. Yakni menayangkan berita supaya orang-orang bisa tau informasi terkini. Membuka mata masyarakat tentang keadaan dunia luar.
Sumber |
Namun keinginan itu berangsur-angsur menghilang. Karena dalam beberapa tahun terakhir, gue melihat profesi ini seperti kehilangan wibawanya. Terutama sejak penggunaan media online mulai merajalela. Para ‘jurnalis’ atau ‘wartawan’ itu lebih mementingkan traffic (jumlah pembaca) ketimbang kualitas informasi.
Akibatnya bisa kita lihat. Berita yang berseliweran di internet kini banyak yang ngga bermutu. Apalagi kalo berasal dari portal berita abal-abal. Ya tujuannya emang tercapai, jumlah traffic membludak. Tapi apakah cuma sebatas itu tujuan yang ingin dicapai? Serendah itukah?
Ke mana perginya para jurnalis yang dulu dianggap sebagai sosok cerdas dan berwibawa?
‘Jurnalis’ online jaman sekarang ngga ada bedanya sama blogger amatir yang kerjaannya cuma memusingkan visitor. Saban hari hanya sibuk memikirkan bagaimana cara membuat berita yang hype dan berpotensi menjadi viral. Masalah kualitas? Bisa lah dikesampingkan. Integritas? Mungkin udah lenyap ditelan setumpuk berita pesanan.
Sebenarnya udah cukup lama gue merasa muak sama aktivitas para ‘jurnalis’ ini. Tapi pemicu gue menuliskan ini adalah peristiwa kemarin sore.
Di tanggal 18 Mei 2016, ada salah seorang mahasiswa UI yang meninggal dunia. Almarhum merupakan kakak tingkat gue di Kimia dulu. Gue emang ngga mengenal beliau secara pribadi, karena gue cuma sebentar merasakan perkuliahan di sana.
Tapi semua teman seangkatan gue berpendapat bahwa beliau adalah orang baik. Malah teramat baik. Makanya sebagian besar dari mereka sangat kehilangan sosok beliau. Seharian kemarin grup chat internal angkatan gue lagi aktif banget mengenang kebaikan almarhum semasa hidupnya.
Penyebab wafatnya almarhum emang masih simpang siur. Yang udah pasti adalah kronologisnya.
Almarhum sedang mengerjakan tugas di kantin sembari minum teh bersama teman-temannya. Lalu tiba-tiba ambruk dan kepalanya terbentur dengan keras. Orang-orang langsung membawanya ke klinik untuk mendapat pertolongan. Namun ternyata nyawanya udah ngga terselamatkan.
Itu adalah informasi yang lugas dan jelas. Tapi sayangnya tidak menjual.
Oleh karena itu para ‘jurnalis’ pun berinisiatif mengubahnya agar lebih menarik. Berbekal kata kunci ‘teh’, ‘berkumpul dengan teman’, dan nama besar kampus, inilah hasil ubahannya.
Sumber |
Sumber |
Sumber |
Jahat banget kan?
Kalo mau jujur-jujuran, kita pasti tergelitik membaca judul berita kayak begitu. Menjadi penasaran dan akhirnya meng-klik tautan untuk membaca isinya. Tapi coba bayangkan gimana perasaan keluarganya melihat berita semacam itu.
Jangankan keluarga, teman-teman almarhum pun banyak yang kecewa sama kemunculan berita sampah itu. Sebab pemilihan kata dalam judul beritanya menimbulkan bias makna. Kalo gue ada di posisi awam dan ngga tau info soal almarhum, pasti gue menganggap beliau sebagai orang yang kurang baik.
Dari judulnya aja “Usai Minum Teh dan Diskusi dengan Teman Wanitanya, Mahasiswa UI Tewas”. Sebagai awam, opini gue bisa aja tergiring menuju arah negatif. Malah mungkin gue akan berkomentar ‘Ih, anak UI kok kelakuannya begitu amat sih ’. Bukan mustahil kan kalo ternyata ada orang yang beranggapan seperti itu?
Padahal poin yang seharusnya diambil adalah benturan keras di kepalanya. Di mana dalam kepala terdapat otak yang merupakan pusat pengendali tubuh. Tapi fokus dari para ‘jurnalis’ adalah hal di sekitarnya. Yang dinilai lebih berpotensi mendulang pembaca. Teh, rekan wanita, mahasiswa UI dan hal potensial lainnya.
Karena apabila ditulis “Seseorang Meninggal Akibat Benturan di Kepala” ngga akan ada yang peduli. Udah terlalu banyak kejadian seperti itu. Tapi ‘akibat minum teh’ atau ‘setelah berkumpul dengan rekan wanita’ mungkin sangat jarang terjadi. Itulah poin yang menjadikannya menarik.
Hal-hal semacam ini emang bakal terus ada. Gue bahkan udah menuliskan postingan yang kurang lebih mirip. Selama masih ada orang kurang terdidik yang membaca dan menyebarkannya, para ‘jurnalis’ ini akan terus bertahan.
Oleh karenanya gue ingin menekankan supaya kita bisa lebih selektif memilih portal berita. Tahan diri sekuatnya agar tidak masuk ke dalam jebakan judul yang terlihat begitu menggoda. Dengan harapan lahan ‘jurnalis’ sampah ini akan sepi pengunjung.
Lalu akhirnya mati secara perlahan.
No comments:
Post a Comment