Friday 10 June 2016

Kacang dan Penggunjing

Sebagai penikmat bubur ayam, saya seringkali dibuat kesal dengan hadirnya sesendok kacang tanah di sana. Kacang tanah, dengan teksturnya yang keras, telah merusak kesempurnaan komposisi semangkuk bubur yang penuh kelembutan. 

Bubur, kuah kaldu, suwiran ayam, daun seledri, bawang goreng, serta kecap, semuanya bertekstur lembut. Jikapun ada yang harus bertesktur tidak lembut, maka tempat itu telah diisi oleh kerupuk yang crispy dan renyah. Bukan kacang.

sumber

Kacang tanah goreng tidak seharusnya berada dalam semangkuk bubur. Ini merupakan sebuah penistaan kuliner.

Sama halnya dengan kacang dalam bubur, tatanan hidup bermasyarakat kita pun tak luput dari penistaan atau penodaan. Dalam hal ini, pelaku utama penodaannya adalah para manusia yang gemar membicarakan orang lain. Atau nama lainnya, penggunjing.

Dan berbekal pengamatan selama bertahun-tahun, saya coba membagi manusia -manusia tersebut ke dalam tiga kelompok besar.

Pertama, mereka yang membicarakan orang lain sesuai fakta dan apa adanya. Tidak mengurangi apalagi menambahkan cerita. Tingkatan ini sekaligus menjadi kelompok yang paling sedikit populasinya.

Tingkatan kedua adalah mereka yang membicarakan orang lain dengan menambahkan ‘bumbu’ agar ceritanya lebih menarik. Kadang bumbunya sedikit, tapi tidak jarang pula terlalu banyak. Ini merupakan kelompok dengan jumlah populasi terbanyak dari semua tingkatan.

Tingkatan terakhir ditempati oleh mereka yang membicarakan orang lain dengan cerita yang dibuat-buat. Alias fitnah. Jika pada kelompok kedua masih ada sedikit fakta yang disisipkan. Maka di tingkatan ketiga ini semuanya hanya cerita bohong belaka. Murni ingin menjatuhkan seseorang yang dibicarakan. 

Tingkatan ketiga ini memiliki jumlah populasi di antara kedua kelompok lainnya. Tidak terlalu sedikit ataupun terlalu banyak. Namun percayalah, apabila Anda harus berurusan dengan salah satu di antara mereka, maka hidup Anda tidak akan pernah tenang.

Berbicara soal para penggunjing ini, saya punya trik unik untuk mengetes apakah orang yang Anda percaya benar-benar bisa dipercaya.

Begini caranya.

Jika Anda punya empat orang teman dekat, misalnya A, B, C, dan D, cobalah untuk menyampaikan sebuah cerita berbeda kepada empat orang tersebut. Ceritakan kepada A sebuah cerita tentang Anda, lalu kepada B sebuah cerita lainnya, dan begitu seterusnya. Hingga seluruhnya mendapat masing-masing satu buah kisah tentang Anda.

Ceritanya boleh berupa fakta, tapi sebaiknya jangan. Mengingat ini hanya sebuah eksperimen belaka. Bagian paling menarik dan mendebarkan adalah ketika Anda sedang menunggu. Menunggu cerita mana yang akhirnya naik ke permukaan dan tersebar di lingkup pergaulan Anda. Berdoalah agar semua cerita itu sama sekali tidak menyebar sehingga Anda bisa mempercayai teman-teman Anda sepenuhnya.

Kalaupun ada yang sampai menyebar, perhatikan lagi apakah ceritanya masih sesuai dengan apa yang Anda sampaikan. Jika sesuai, maka teman Anda yang menyebarkannya hanya masuk ke penggunjing tingkatan pertama. Masih aman.

Namun jika ceritanya sudah mengalami penambahan bumbu di sana-sini, bahkan yang lebih parah, hanya berupa fitnah belaka, Anda pasti sudah mengerti apa yang harus dilakukan. 

Mirisnya, seperti kacang dalam bubur, kehadiran para penggunjing ini terkadang memang disukai. Terlebih bagi para sesama penikmatnya. Ya, itu pasti. Dan tahu apa yang lebih buruk dari seorang penggunjing? Benar. Sekumpulan penggunjing.

Saya pernah dihadapkan pada sekelompok penggunjing. Kebiasaannya saat berkumpul sudah pasti bisa Anda tebak. Namun bagian paling ajaib menurut saya adalah; bisa-bisanya mereka membicarakan teman mereka yang sedang tidak ada di sana. Lalu bertingkah biasa saja ketika bertemu dengan orang tersebut di kesempatan lain.

Seolah tidak terjadi apa-apa. Padahal beberapa hari sebelumnya mereka baru saja menjelek-jelekkan orang tersebut dengan penuh semangat. Saya jadi membayangkan apabila saya tidak bisa ikut berkumpul. Mengerikan.

Tak butuh waktu lama bagi saya untuk perlahan menjauh dari kelompok itu. 

*************

Kemarin, saya baru saja menyantap bubur ayam untuk makan malam. Sialnya, saat memesan, saya terlupa untuk meminta penjualnya agar jangan menambahkan kacang. Akibatnya datanglah seporsi bubur ayam lengkap bersama taburan kacangnya.

Dengan rasa gemas yang memuncak, saya lalu mengenyahkan sekumpulan kacang itu dari mangkuk bubur saya.

Sayangnya, saya tidak bisa melakukan hal serupa kepada para penggunjing.

Tulisan Lain

No comments:

Post a Comment