Ompung (diucapkannya ‘opung’) adalah panggilan buat kakek dan nenek dalam bahasa Batak. Dan berhubung gue keturunan Batak tulen, maka gue punya empat orang Ompung kandung. Yang terdiri dari kakek-nenek dari pihak Bapak dan kakek-nenek dari pihak Ibu.
Tiga di antara mereka sudah wafat sejak gue masih kecil. Menyisakan satu nenek dari pihak Ibu. Alias ibunya Ibu gue. Sedikit mengenai Ompung gue ini, beliau merupakan tipe orang yang sangat mudah disukai. Istilahnya, very lovable person. Ngga pernah gue dengar omongan dari para saudara tentang keburukan beliau.
Hal yang paling gue kagumi dari Ompung adalah ketaatan ibadah dan pola hidup sehat yang dijalaninya. Sholat lima waktunya selalu terjaga. Jangankan yang wajib, bahkan sholat sunnah aja gue lihat selalu dilaksanakan tanpa putus. Beliau pun rutin mengikuti mengaji dan berdzikir tiap malam. Religius sekali.
Selain masalah ibadah, beliau juga sangat menjaga kesehatannya, terlebih dalam urusan makan. Ompung bukanlah orang yang suka mengonsumsi makanan berlemak layaknya masyarakat Sumatera pada umumnya. Untuk lauk makanan, beliau lebih suka sayur rebus dan ikan goreng aja. Kadang ditambah sambal terasi Medan. Ngga neko-neko dan yang pasti menyehatkan.
*******************
Di akhir tahun 2015 kemarin, gue mendengar kabar kalo Ompung bakalan main-main ke Depok. Oh ya, gue lupa bilang kalo beliau memang tinggal di Medan. Di rumah legendaris yang selalu dijadikan basecamp sama keluarga gue ketika berkunjung ke sana.
Mendengar kabar Ompung mau berkunjung ke sini, perasaan gue campur aduk. Senang, pasti. Ini berarti gue bakalan bertemu lagi setelah dua tahun ngga berjumpa. Tapi rasa khawatir lebih mendominasi. Sebab gue tau kalo kondisi beliau sedang kurang sehat. Pasalnya, penyakit maag yang beliau derita makin sering kambuh.
Namun keputusan telah diambil. Ompung tetap akan berangkat. Karena rumah di Medan sedang dalam proses renovasi. Maklum, bangunan tua. Di samping itu, beliau juga ingin menemui cucu-cucu kesayangannya ini di Depok.
Rabu, 10 Februari 2016
Ompung akhirnya memutuskan berangkat dari Medan. Tentu beliau ngga sendiri. Sebab Ibu udah jauh-jauh hari sebelumnya ke sana untuk menemani Ompung. Jadi, Ibu pergi ke Medan dulu, baru dari sana balik lagi ke Depok bersama Ompung. Lalu dari bandara Soetta, Ompung dan Ibu dijemput sama Bapak. Gue sendiri ngga bisa ikut lantaran ada kuliah hari itu.
Ngga lama sepulangnya gue dari kampus, rombongan Ompung, Ibu, dan Bapak tiba di rumah. Gue pun langsung bergegas keluar buat menyambut kedatangan mereka. Rasanya kekhawatiran gue di awal ngga berlebihan. Soalnya gue lihat Ompung bener-bener dalam kondisi kurang sehat.
Entahlah, gue merasa pandangan matanya ngga seperti pandangan Ompung yang gue kenal. Senyumnya terlihat dipaksa. Dan raut wajahnya terlihat sangat lelah. Setelah menyalaminya, beliau meminta gue menuntunnya menuju kamar. Di sini gue merasa sedikit lega karena genggaman tangannya masih terasa erat dan mantap. Mungkin wajah lelah beliau cuma disebabkan oleh panjangnya perjalanan yang baru dilalui.
Sesampainya di kamar, Ompung mengajak gue ngobrol ringan sambil mengelus-elus lembut bahu gue. Sungguh sangat menenangkan. Jenis kenyamanan berbeda dari yang biasa gue dapat dari Ibu. Namun, lama-kelamaan gue menyadari beliau agak kurang fokus saat berbicara. Maka gue berinisiatif membiarkannya berisitirahat sejenak. Ngga lama setelah itu, beliau sudah lelap tertidur.
Petang harinya, Ompung terbangun dari tidur. Tapi belum terlihat tanda-tanda kondisi fisiknya akan membaik. Malah cenderung memburuk. Begitupun keesokan harinya. Keesokan harinya lagi, lagi, dan lagi. Agaknya kekhawatiran gue yang sempat berkurang akhirnya terbukti.
Selama berada di rumah, kesehatan beliau terus menurun. Lambungnya makin sering sakit. Kemasukan makanan agak banyak aja langsung merasa ngga enak. Ini membuat asupan makan berkurang drastis. Akibatnya, kendisi fisik Ompung melemah.
Ngga mau ambil risiko, Bapak ‘memaksa’ Ibu buat membawa Ompung ke rumah sakit. Lalu dari hasil pemeriksaan, dokter menyarankan Ompung diopname karena ngga bisa lagi menerima asupan makanan. Sebagai gantinya, beliau harus diinfus selama di rumah sakit. Dan selama itu pula Ibu terus tinggal di sana untuk mengurusi Ompung. Cukup lama juga Ompung di sana, mungkin sekitar semingguan.
Di hari ke delapan, beliau meminta pulang karena merasa sudah lebih baik. Tapi gue merasa itu sekadar alasan aja. Karena gue melihat sendiri kalo kondisinya jelas-jelas memburuk. Bahkan dibandingkan saat pertama kali datang. Kini, buat berjalan aja beliau kesulitan. Jadinya Ompung hanya bisa berbaring lemah di kasur.
Gue beneran ngga tega harus melihat Ompung dalam keadaan kayak gitu. Berbaring lemas sambil menatap kosong ke arah langit-langit kamar. Tapi untungnya beliau masih mau makan. Meski ngga banyak, minimal kebutuhan gizinya bisa lah terpenuhi. Ya walau sekadar nasi putih sama sedikit banget sayur rebusan.
Yang jadi persoalan justru aktivitas hariannya. Ompung gue dulunya adalah seorang yang bisa dikatakan sangat aktif. Hampir ngga pernah dia melewatkan hari cuma dengan tiduran kayak gini. Bahkan sampai melewatkan sholat. Kalo ditanya kenapa ngga sholat, beliau hanya bisa menjawab “malas”. Sebuah sikap yang belum pernah gue lihat sebelumnya.
Selasa, 1 Maret 2016
Gue baru aja pulang dari kampus siang itu. Ngga ada kelas sih, tapi gue harus mengurus beberapa berkas buat administrasi. Dan berhubung lagi ngga ada kerjaan, maka gue iseng-iseng browsing buat mencari bahan tulisan. Sekalian kulik-kulik info tentang penulisan ilmiah gue semester ini.
Dari dalam kamar, samar-samar gue bisa mendengar suara Bapak dan Ibu yang lagi ngobrol di ruang makan. Inti pembicaraannya adalah kelegaan Ibu karena Ompung sudah mulai bisa beraktivitas setelah dipijat pagi harinya. Beliau sudah mau makan agak banyak dan bahkan bisa berjalan ke kamar mandi meski harus dipapah.
Mengetahui itu, gue pastinya ikut lega. Gue pikir ini merupakan pertanda baik. Karena lewat asupan makanan yang cukup, gue harap Ompung bisa kembali sehat. Kemauannya untuk berjalan ke kamar mandi juga bisa jadi indikasi bagus. Mudah-mudahan beliau mau lebih banyak bergerak nantinya, sehingga mempercepat proses pemulihan.
Namun ternyata takdir berkata lain.
Ketika gue sedang asyik rebahan buat beristirahat, tiba-tiba gue mendengar suara jeritan panik Ibu. Sontak, gue langsung menghambur keluar kamar. Suara panik Ibu masih terus menggema dari sebuah kamar di area depan. Ya, kamar Ompung. Firasat gue udah sangat ngga enak. Sebuah pikiran buruk terus memaksa muncul di otak. Tapi segera aja gue singkirkan jauh-jauh pikiran itu.
Gue lantas masuk ke kamar Ompung untuk mencari tau apa yang terjadi. Dan selanjutnya apa yang terpampang adalah sebuah pemandangan paling memilukan seumur gue hidup. Gue melihat Ibu sedang memeluk sembari mengguncangkan tubuh Ompung yang sudah terkulai lemas di kasur. Sesekali Ibu berteriak memanggil Ompung.
Selama beberapa detik gue ngga bisa bergerak sama sekali. Jantung gue tiba-tiba berdetak sangat kencang, lutut gue lemes, dan rasanya badan gue terasa ringan sekali. Untuk bisa menopang berat badan, gue sampai harus menyender di tembok. Namun untungnya gue masih dapat berpikir jernih.
Kebetulan persis di sebelah rumah gue, ada sebuah klinik. Dengan langkah gemetar, gue coba pergi ke klinik itu guna meminta pertolongan pertama. Di hadapan dokter, gue mendadak kesulitan bicara. Gue hanya bisa berucap “Nenek saya, Dok.” berulang-ulang sambil menunjuk ke arah rumah. Si dokter untungnya mengerti apa yang gue maksud.
Gue bersama si dokter lalu bergerak menuju ke tempat Ompung berada. Setibanya di kamar, Ibu yang masih panik langsung menyilakan dokter untuk memeriksa keadaan Ompung. Setelahnya, gue dan Ibu cuma bisa menunggu tindakan si dokter dengan rasa cemas
Si dokter mengawalinya dengan mencari denyut nadi di leher Ompung. Lalu menyinari mata Ompung dengan senter untuk memeriksa respon pupil. Kemudian mencari detak jantung dengan menggunakan stetoskop. Gue menyimak setiap tindakan si dokter dengan perasaan ngga karuan. Ibu? Ngga usah ditanya lah. Dia hanya bisa menyeka airmata yang mulai deras mengalir dengan tangan gemetar.
Setelah merasa cukup si dokter mengalihkan pandangannya ke arah kami. Dari tatapannya, gue udah merasa bahwa yang akan disampaikan pasti bukanlah hal baik.
“Ibu, Dek, mohon diikhlaskan ya.” kata si dokter sambil menatap gue dan Ibu.
Tangis Ibu pun pecah. Tangisan yang bahkan ngga bisa gue jelaskan lewat kata-kata. Karena seumur hidup, belum pernah gue melihat Ibu menangis seperti ini. Isakan tangis Ibu makin dalam, bahunya berguncang dan serta-merta Ibu memeluk tubuh Ompung.
Gue sendiri masih dilanda shock berat. Lutut gue semakin kehilangan kekuatannya. Menyebabkan gue harus berdiri dalam posisi setengah membungkuk. Kedua tangan gue bertumpu pada lutut agar badan gue ngga jatuh. Di sela ketidak berdayaan itu, mata gue tetap melihat ke arah si dokter dengan tatapan penuh tanya. Meminta penjelasan atas perkataannya tadi.
Seolah bisa membaca pikiran gue, dokter itu lalu melanjutkan ucapannya.
“Innalillahi wainnailaihi rojiun, nenek sudah meninggal dunia. Mohon keikhlasannya ya Ibu, Adek.” kata si dokter.
Ibu makin keras menangis dan sesekali menjerit. Gue sendiri cuma bisa terdiam sambil ternganga melihat semua kejadian ini. Perlahan pandangan gue mengabur dan akhirnya titik-titik airmata itu turun juga. Bukan menangis. Gue ngga secemen itu. Hanya saja ada air yang mengalir keluar dari mata gue.
Di tengah kebingungan, gue ingat saat itu gue masih bisa bergumam “Innalilahi wainnailaihi rojiun” untuk mengiringi kepergian Ompung.
Si dokter kemudian melirik ke arah jam tangannya dan berkata lirih “empat belas lima puluh lima”.
Sore itu, hari Selasa 1 Maret 2016 pukul 14.55, Ompung telah wafat. Meninggalkan seluruh keluarga dan kerabat setelah delapan puluh empat tahun menebarkan kebaikan.
Dan untuk kalian semua yang membaca tulisan ini, gue minta sedikit keikhlasan kalian untuk mendoakan Ompung gue.
Semoga amal ibadah Ompung diterima Allah SWT dan beliau diberikan tempat terbaik di sisi-Nya.
Aamiin.
No comments:
Post a Comment