Wednesday 21 September 2016

Jangan Panggil Saya Bunda


Di dalam bahasa Indonesia, kita mengenal berbagai macam kata sapaan atau panggilan untuk orang lain. Dan semuanya tentu didasarkan kepada siapa kita berbicara. Jika kita berbicara kepada wanita yang umurnya tidak terlalu jauh di atas kita, bisa dipergunakan sapaan ‘Kak’ atau ‘Mbak’. Terhadap lelaki yang jauh berumur di atas kita, mungkin sapaan ‘Pak’ akan terdengar lebih cocok.

Dari sekian banyak sapaan, ada beberapa di antaranya yang membuat gue kadang menggelinjang saat mendengarnya. Terutama kata sapa sok asik antara wanita kepada wanita lainnya semacam  ‘Jeng’, ‘Sist’, ‘Beib’, ‘Cyin’, dan sapaan aneh lainnya.

Tapi dari yang beberapa itu, tetap yang paling pecah menurut gue adalah sapaan ‘Bunda’. 

Gue masih ngga ngerti bahwa ada orang di luar sana yang memanggil orang asing yang ditemuinya dengan sebutan Bunda.

Gue bukannya ngga suka sama kata ‘Bunda’. Itu adalah sebuah kata yang bagus menurut gue. Tapi dengan catatan, penggunaannya harus disesuaikan. Kalo seorang anak memanggil ibunya dengan sebutan Bunda, tentu cocok. Atau seorang suami kepada istrinya, bolehlah. Tapi kepada orang asing?

Bahkan Ibu gue (yang notabene seorang wanita dewasa) aja geli banget kalo disapa sama orang asing dengan sebutan Bunda. Pernah dulu kejadian doi dipanggil Bunda sama pramuniaga toko pas lagi belanja. Lalu berujung pada jatuhnya mood doi selama seharian penuh.

Itu baru Ibu gue. Gimana dengan wanita lain di luar sana? 

Atau gimana kalo yang dipanggil ‘Bunda’ adalah... seorang lelaki gondrong yang gagah dan penuh wibawa?

**************
Kemarin, pada suatu sore yang cerah, gue baru aja balik dari kampus. Seperti biasa, gue menggunakan angkot sebagai sarana transportasi. Dan seperti biasa pula, gue memilih duduk di bangku penumpang sebelah supir.

Perjalanan dimulai dengan cepat karena angkot yang gue tumpangi ngga terlalu lama ngetem. Cuma lalu lintasnya emang agak padat karena berbarengan sama jam pulang kantor.

Bermacam kendaraan berserakan tanpa menyisakan sedikit pun ruang kosong. Semrawut. Asap knalpotnya memenuhi setiap inchi udara. Ditambah lagi suara klakson nyaring bersahut-sahutan menyemarakkan sore hari yang durjana itu. 

Tapi gue ngga peduli. Dengan mengenakan masker udara dan menyumpalkan headset ke telinga, gue bersiap buat tidur. Persetan lah sama kesemrawutan di luar sana.

Baru aja suara lembut Faang Wali membuai gue terbang ke alam mimpi, mendadak terdengar suara cempreng yang membahana di belakang sana. Gue seketika terbangun dan mencari dari mana gerangan suara laknat itu berasal.

Ternyata suara itu keluar dari pengamen bocah yang ada di pintu masuk angkot bagian belakang. Gue ngga begitu jelas melihat mereka, karena posisi gue yang ada di depan. Tapi kayaknya mereka berjumlah dua orang. Satu orang memainkan ukulele dan yang satunya bertepuk tangan sambil bernyanyi. Walau sebenarnya nyanyian dia lebih terdengar seperti suara erangan penghuni neraka. 

Karena penasaran, gue melirik ke kaca spion untuk melihat seperti apa sosok asli duo penghuni neraka itu. Ya udah bisa ditebak lah. Mereka itu tipe-tipe anak jalanan yang mencoba sok serem dengan bergaya khas anak punk. Rambut mohawk, kaos hitam, rompi denim, jeans ketat hitam, dan… sendal jepit. 

Setelah beberapa saat, akhirnya mereka memutuskan untuk menyudahi aksinya. Itupun ditutup dengan kata-kata “Mohon keikhlasan bapak ibu sekalian. Seribu atau dua ribu rupiah tidak akan membuat Anda miskin. Ya daripada kami ngerampok, nodong, atau nyopet. Mendingan ngamen yang penting halal”. Kampret. Sungguh intimidatif sekali.

Tiba-tiba, tanpa gue duga sebelumnya, sebuah kantong plastik bekas bungkus permen Relaxa terpampang di samping muka gue. Butuh waktu bagi gue untuk menyadari bahwa itu adalah wadah tempat menampung bayaran aksi duo pengamen tadi. Dan soal kenapa selalu aja kantong bekas permen Relaxa yang dipake, sampai sekarang pun itu masih menjadi misteri.

Kantong Relaxa itu berayun naik turun. Menandakan si pengamen tadi masih menunggu gue memasukkan sejumlah uang ke sana. Karena ngga sabar, si pengamen lalu coba bersuara untuk menarik perhatian.

“Permisi, Bunda…”

Tunggu dulu. Bunda?

Gue terdiam sejenak untuk mencerna apa yang sedang terjadi. Di bagian depan angkot cuma ada si supir dan gue sebagai penumpang. Dengan asumsi bahwa si pengamen ngga mungkin meminta bayaran ke supir angkot, berarti kesimpulannya panggilan ‘Bunda’ tadi tertuju kepada... gue.

Syit men.

Gue baru aja dipanggil ‘Bunda’ sama salah satu makhluk penghuni neraka. Ancur harga diri gue kalo begini caranya. Lelaki gagah bertampang sangar kayak gue gini masa dipanggil Bunda.

Syit men.


kurang macho apa lagi?
Okelah, saat itu dia melihat gue dari belakang. Temen-temen gue juga banyak yang ketipu kalo melihat gue dari belakang. Okelah, rambut gue kalo lagi keren bisa terlihat bergelombang dan berkilau. Okelah saat itu gue lagi pake masker udara yang menutupi kumis dan jenggot gagah gue ini. Okelah beberapa kali gue pun pernah dipanggil ‘Mbak’ oleh orang asing. 

Tapi sapaan ‘Bunda’ ini udah di luar batas. Sangat-sangat mencederai kejantanan gue.

Gue terdiam beberapa saat. Coba mengingat-ingat dosa apa yang gue perbuat selama di kampus tadi. Dan kayaknya lumayan banyak juga ya. Pantes aja dapat balasan yang sedemikian hinanya.

Mungkin karena terlalu lama dan si pengamen menganggap gue ngga mendengar, dia lantas mengulangi panggilannya.

“PERMISI, BUNDAA...” panggilnya dengan suara cempreng yang jauh, jauh lebih keras dari sebelumnya.

Syit men.



Tulisan Lain

No comments:

Post a Comment