Tuesday, 24 May 2016

Tulisan yang Salah


Mengutip pernyataan Eka Kurniawan, penulis buku Lelaki Harimau, bahwa blog adalah sebuah platform yang unik. Blog bersifat personal, tapi sekaligus global. Sebab apa yang ditulis di sana sebagai cerita pribadi juga bisa dilihat jutaan orang di seluruh dunia.

Hal yang kurang lebih mirip baru aja gue rasakan seminggu kemarin.

Berawal dari rasa gemas melihat penyebaran berita berlebihan tentang senior gue yang meninggal dunia, gue jadi terbawa emosi. Gue menuliskan di blog ini sebuah postingan yang menyudutkan profesi tertentu. Lalu langsung membagikannya di akun sosmed pribadi gue.

Awalnya emang ngga ada yang peduli. Mungkin semua menganggap tulisan gue pastilah basi. Sampai pada malam setelahnya, ada seorang teman yang membaca. Lalu dia merasa tertarik dan membagikan tulisan gue di akun sosmed-nya dengan menambahkan sedikit opini pribadinya.

Tanpa diduga, tulisan gue mendadak jadi viral. Dibagikan puluhan kali dan dibaca ribuan orang dalam waktu yang terbilang singkat. Sebagai blogger amatir, pastinya gue senang melihat kenyataan ini. 

Setelah tulisan tadi jadi viral, pengunjung blog gue meningkat pesat. Bayangin aja, dalam sehari, jumlah pembacanya hampir menyamai setengah jumlah pengunjung dalam setahun. Grafik pun melonjak tajam. Bahkan tiap me-refresh halaman, pengunjungnya terus aja bertambah. Gokil.

Yang bikin senang, mayoritas orang-orang yang membagikannya merupakan orang ‘berpendidikan’. Walau emang sih mereka membagikan postingan yang dari teman gue, bukan postingan gue langsung. Iya, gue sampe senorak itu buat masuk ke timeline teman gue dan mengecek orang lain yang ikut membagikannya. Maklum, blogger amatir.

Kesenangan ini ditambah lagi dengan komentar kecil saat mereka membagikan tulisannya. Semacam “tulisan bagus, nih.”, “ulasan yang bagus menurut gue”, atau “This!!”. Pastinya ada kebanggaan tersendiri saat mengetahui tulisan gue disukai oleh banyak orang.

Saking bangganya (atau katrok-nya), sebelum tidur gue berulang kali membaca tulisan itu. Mencoba meresapi poin apa yang menjadikannya banyak disukai. Gue baca lagi, baca lagi, baca terus, berulang-ulang. 

Lalu akhirnya tersadar, bahwa tulisan itu ngga seharusnya disebar dan dibagikan ke banyak orang. 

Ada beberapa hal yang membuat gue merasa tulisan tadi begitu salah.

Satu, gue terbawa emosi sesaat. 

Di saat beritanya tayang di TV, ada orang terdekat gue yang berkomentar “Ih, kasihan ya itu anak diracunin teh sama pacarnya sendiri”. Bukan. Penyebabnya bukan karena diracun. Maka tepat saat itu juga gue jadi terpancing untuk menuliskan postingan tadi. Bermaksud untuk memberikan penjelasan tentang kebenarannya.

Dua, gue merasa memiliki kedekatan emosional sama almarhum.

Ya, hanya karena pernah menggunakan jaket almamater yang sama, gue merasa bertanggung jawab atas simpang-siurnya berita tentang beliau. Padahal kenal aja ngga. Sebuah bentuk solidaritas buta.

Tiga, gue terlalu menyudutkan profesi tertentu. Kalo baca postingannya, udah jelas lah profesi apa yang dimaksud.

Empat, gue memanfaatkan momen yang salah.

Pemanfaatan momen merupakan sebuah trik lumrah untuk menjaring visitor blog. Yang gue ngga sadari adalah; gue memanfaatkan momen yang salah. Gue mengambil contoh kasus yang terlalu spesifik. Kasus duka pula. Dan itu mungkin ngga seharusnya gue lakukan. Beruntung, banyak orang yang ngga menyadari itu. Sehingga fokus mereka tetap berada di garis besar pembahasannya.

Lima, gue awalnya berniat menjadikan postingan itu buat dikonsumsi kalangan terbatas aja. Alias cuma teman-teman seangkatan. Tapi gue ceroboh dengan membagikannya di sosmed. Risikonya ya tulisan itu menyebar ke berbagai pihak.

Mungkin lima poin tadi udah bisa menjelaskan betapa salahnya postingan tersebut.

Gue sempat berpikir buat menghapus tulisan itu. Tapi gue takut malah muncul polemik baru ketika gue menghilangkan tulisannya begitu aja. Akhirnya gue memilih untuk tetap membiarkannya. Jadi tulisan itu masih ada dan tetap bisa dibaca.

Dan sebagai kompensasi, gue membuat tulisan ini. Berniat menjadikannya sebagai media klarifikasi. Sebab jujur aja, beberapa hari kemarin gue terus-terusan merasa bersalah lantaran bikin posting kayak gitu. Merasa ngga enak hati udah mengambil keuntungan sepihak dari sebuah kemalangan. Makanya gue berharap dengan menulis ini bisa bikin gue lebih tenang. 

Tapi jangan khawatir, ke depannya gue bakal tetap menulis. Tentunya dengan lebih berhati-hati dan memperhatikan nilai-nilai kepantasan. Gue bakal lebih sering menerapkan ‘filter’ pribadi. Bakal berulang kali mengevaluasi tulisan sebelum dilepas ke internet. Gue akan sebisa mungkin menahan diri agar tidak terbawa emosi sesaat.

Sehingga tidak lagi membuat tulisan yang salah.


p.s: tulisan yang dimaksud adalah tulisan tentang 'Jurnalis' Sampah
Tulisan Lain

No comments:

Post a Comment