Coba kau renungkan kembali. Ingatlah semua cucuran keringat bercampur airmata yang selama ini terus menetes. Membanjiri dirimu dengan aliran pengharapan. Dan setelah semua hampir terlewati, kau tetap takkan mendapat apa yang kau inginkan. Lalu kau memilih untuk meneruskan semua kesia-siaan itu?
Mengapa tak menyerah saja?
Bukankah menyerah jauh lebih baik untukmu? Sebab hidup dalam ilusi akan membuatmu semakin terjepit. Kau bertingkah seolah semua baik saja, padahal tidak. Kau bermaksud membuktikan pada semua orang bahwa kau bisa, namun yang terjadi justru sebaliknya.
Kau takkan pernah bisa.
Lihat dirimu. Seseorang yang tidak pantas meraih angan-angannya sendiri. Tidakkah kau merasa bermacam celoteh yang merendahkanmu itu memang benar adanya? Pernahkah kau berpikir bahwa kau memang tidak berhak menggapai segalanya?
Lihat mereka. Orang-orang yang menghendakimu agar secepatnya terjatuh. Amati kembali senyum sinis mereka. Dengarkan gelak tawa yang penuh penistaan itu. Hiruplah aroma kebencian yang menyeruak dari tiap helaan nafas mereka.
Begitu banyak orang yang berharap agar kau segera terjerembab jatuh ke dalam jurang terdalam keterpurukan. Namun kau bersikeras agar tetap berjuang tanpa memedulikan mereka. Untuk apa, kawan? Mengapa tak menyerah saja?
Kepada siapa lagi kau coba membuktikannya?
Segala ucapan baik yang ditujukan kepadamu hanyalah omong kosong belaka. Jauh di dalam hatinya, orang-orang terdekatmu selalu menginginkan agar kau menyudahi perjuanganmu selama ini. Mereka ingin kau mematikan saja api harapan dalam hatimu.
Api harapan yang bahkan menyala terlalu kecil. Terlalu menyedihkan untuk dilihat sebagai sumber cahaya. Api yang nyaris padam, namun selalu kau lindungi agar tetap menyala. Untuk apa kau lakukan itu, kawan? Mengapa tak kau matikan saja api itu?
Sisa tenagamu kini sudah berada di titik penghabisan. Bahkan hembusan angin yang begitu lemah dapat membuatmu terhempas. Langkahmu terasa goyah ketika menapaki jalan hidupmu yang penuh liku. Namun untuk apa kau terus berjalan, kawan?
Mengapa tak menyerah saja?
Mengapa tak menyerah saja?
Kini coba resapi rasa sakit itu. Yang timbul akibat penghinaan dan pengkhianatan. Butuh berapa kali lagi kau merasakan kesakitan itu? Sampai di penghujung penyesalanmu nanti? Ketika semua sudah terlambat?
Menyerahlah, kawan.
Agar mereka yang membencimu dapat tertawa puas.
No comments:
Post a Comment