Sunday 4 October 2015

Dua Puluh Dua



Dua puluh dua.
Angka yang menunjukkan jumlah tahun yang berulang selama gue hidup. Ya, di awal Oktober kemarin gue merayakan ulang tahun ke-22. Ga ada yang sadar kan? Iya lah, gue aja hampir lupa.

kue ulang tahun dua puluh dua 22


Gue sengaja menyembunyikan tanggal lahir gue dari semua sosial media. Merasa berdosa sama mereka yang sebetulnya ga peduli-peduli amat, tapi harus mengucapkan ‘Selamat Ulang Tahun’ ke gue. Cuma karena notifikasi di Facebook atau Google+. Tau kan? Tipe-tipe orang yang mengucapkan ulang tahun cuma dengan:

hbd y
SUT
met milad
pibesdey

Ada apa sih dengan mereka?

FYI, spesies macam tadi itu masih ada. Gue sempat buka Facebook tempo hari buat share tulisan di blog ini. Terlihat teman-teman gue yang berulang tahun mendapatkan serangan ucapan kayak gitu. Buat gue, lebih bagus jika mengucapkan lewat jalur pribadi. Kalo ga telepon ya seminimalnya SMS.  Terkesan lebih tulus dan personal. Walau balik lagi ke individu masing-masing sih.

Oke, kembali ke topik utama.
Jaman bocah dulu, gue senang banget kalo udah mau ulang tahun. Sampai kadang ga bisa tidur saking bahagianya. Kepingin cepat-cepat dewasa. Penasaran rasanya jadi orang dewasa itu seperti apa.

Tapi itu dulu.

Makin ke sini, jujur gue makin males merayakan. Setiap angka yang tertera di kue ulang tahun seakan jadi pengingat kalo gue tambah tua. Dan pemikiran gue tentang orang dewasa yang ‘keren’ dan ‘menyenangkan perlahan berubah menjadi ‘kere’ dan menyeramkan’.

Bicara soal dua puluh dua, satu kata yang tepat untuk menggambarkan keadaan gue pada ulang tahun kali ini adalah; tertinggal.

Tertinggal dari banyak hal. Soal lulus dan wisuda, jelas. Kalo ini sebenarnya udah terjadi dari 2014 kemarin. Saat teman-teman gue yang ngambil pendidikan D3 udah pada lulus. Sekarang, mayoritas udah pada kelar kuliah, termasuk yang S1. Tinggal beberapa aja yang masih harus nunggu jadwal wisuda.

Tertinggal soal kemandirian. Mereka yang udah pada lulus, otomatis langsung memasuki dunia kerja. Bekerja berarti memiliki pendapatan. Terlepas dari besar atau kecilnya gaji yang mereka terima, mereka udah menang dari sisi finansial. Mereka jelas lebih mandiri dari gue yang masih menabung uang dari orangtua.

Tertinggal soal asmara. Bukan, bukan cinta-cintaan cemen yang mau gue bahas. Soal yang lebih serius. Pernikahan. Yap. ada beberapa teman gue yang udah menikah di usia yang terbilang muda. Mayoritas cewek memang. Teman cowok yang udah menikah baru segelintir, itupun kebanyakan adalah anak Rohis. Ga tau apa hubungannya, tapi itulah yang terjadi.

Tertinggal soal kedewasaan. Poin ini justru gue dapat dari teman gue yang masuk kategori ‘suram’. Teman-teman gue buat tolol-tololan dan terkesan ga punya masa depan kini berubah jadi lebih dewasa. Lebih memikirkan rencana-rencana ke depan. Berpikir masalah karier, berumah tangga, cicilan rumah, kredit kendaraan dan sebagainya. Sedangkan gue? Pikiran gue mentok cuma agar semester ini nilai ga ada yang jelek, minimal B lah.

Syarat untuk mendapat nilai B atau mungkin A adalah harus belajar keras kan? Tapi itu pun ga menjamin. Kadang kita udah belajar dengan giat, namun ada aja kejadian yang tak terduga, keterlambatan misalnya.

Saat di mana kita terlambat memasuki ruang ujian, terburu-buru menyiapkan peralatan, lalu benar-benar mulai berkonsentrasi ke soal-soal ujian. Kemudian terlihat satu persatu orang-orang mulai beranjak dari kursi dan mengumpulkan lembar jawaban. Sementara lembar jawaban kita masih terisi sedikit. Sangat sedikit. Kita pun harus berkejaran dengan waktu yang semakin sempit.

Lalu apa yang kita rasakan? Yap, tertekan.

Gelisah mulai menyelimuti. Tangan sudah terasa basah berkeringat. Hafalan materi seolah lenyap begitu aja. Hanya karena melihat teman-teman kita mengumpulkan lembar jawaban mereka lebih dulu.

Keadaan tertekan seperti itu sedikit banyak gue rasakan sekarang. Bukan dari keluarga, mereka sih mendukung penuh apa-apa yang gue kerjakan. Bukan dari teman-teman, mereka ga akan mempermasalahkan latar belakang gue, yang penting kumpul. Bukan juga dari lingkungan sekitar, mereka bahkan ga peduli sama yang terjadi di sekeliling mereka.

Tekanan itu datang justru dari diri gue sendiri.

Jika dikaitkan sama kejadian telat ulangan tadi, maka gue udah mulai panik melihat keadaan sekitar.
Panik karena mereka udah selesai mengerjakan, gue belum. Lembar jawaban gue bahkan baru terisi seperempatnya.
Panik karena para pengawas sudah terlihat ngga sabar menunggu.
Panik karena gue tertinggal, hanya tinggal sendirian mengerjakan soal-soal ini.
Gue panik dan tertekan karena ulah gue sendiri yang bisa-bisanya telat di saat ujian.

Dan andai aja keadaan gue sekarang bisa dianalogikan dengan momen terlambat ujian itu, gue pasti berusaha sekuat tenaga supaya bisa mengendalikan diri. Berupaya lebih tenang agar bisa berpikir jernih. Coba menjawab semua pertanyaan dengan benar. Kemudian mengumpulkan lembar jawaban sebelum waktu ujian berakhir.

Dan semoga nanti gue mendapatkan hasil yang sempurna.

“I don't know about you
But I'm feeling 22
Everything will be alright”




Tulisan Lain

No comments:

Post a Comment