Wednesday 25 January 2017

Warung Tenda


Aku tidak suka bekerja lembur.

Aku tidak mau membuang waktuku di kantor hanya untuk melakukan pekerjaan yang sebenarnya dapat kulakukan di rumah. Dan biasanya aku selalu menolak untuk bekerja lembur walau atasanku sudah memaksa.

Namun kemarin malam, aku terpaksa bekerja lewat jam pulang kantor. Sebab ada sebuah pekerjaan yang membutuhkan kerjasama dari anggota divisiku yang lain. Dan itu akan lebih efektif jika dikerjakan melalui tatap muka langsung.

Waktu menunjukkan pukul setengah satu pagi ketika kami akhirnya berhasil merampungkan pekerjaan tadi. Raut muka suntuk dan lelah terlihat jelas di wajah rekan-rekanku. Tak terkecuali aku. Ditambah lagi dengan kondisi perutku yang sedikit keroncongan akibat hanya diberikan sepotong roti untuk menemaniku bekerja.

Ya, satu lagi hal buruk yang selalu terjadi ketika kami bekerja lembur. Tak ada makanan berat yang disediakan. Hanya sepotong roti plus secangkir kopi.

Lalu kenapa kami tak membeli makanan sendiri?

Jujur saja akupun mau jika harus disuruh untuk membeli makanan terlebih dahulu. Tapi sayangnya, kawasan yang menjual makanan di malam hari berada sangat jauh dari kantorku. Sehingga atasanku melarang kami untuk bepergian karena akan menghabiskan banyak waktu.

Di tengah rasa lapar yang menyerang, aku bertekad untuk makan malam terlebih dahulu di warung pertama yang aku jumpai nanti.

Aku mulai menuruni tangga dan keluar dari gedung kantor. Motorku terletak di pakiran yang untungnya dekat dengan pintu masuk. Aku bergegas mengenakan helm dan jaketku, lalu menaiki motor dan bersiap untuk pulang.

Di sepanjang perjalanan menuju rumah, aku melihat ke sekeliling guna mencari warung makan yang sekiranya masih buka di waktu selarut ini. Namun nihil. Yang terlihat hanyalah hamparan pohon serta rumah-rumah warga.

Sudah dua puluh menit aku berkendara, tapi tidak terlihat juga adanya tanda-tanda warung makan yang masih buka. Ya sudahlah, mungkin sebaiknya aku nanti memasak mie instan saja di rumah, pikirku.

Tapi ternyata, baru saja aku berpikiran seperti itu, tanpa sengaja aku melihat sebuah warung yang kelihatannya masih beroperasi. Tempatnya agak terpencil, agak menjorok masuk ke dalam. Tanpa pikir panjang, aku langsung membelokkan motorku ke arah sana.

sumber
Warung tenda itu menyediakan menu nasi uduk beserta lauk-pauknya. Ada ikan lele, burung dara, dan ayam goreng. Setidaknya itu yang terlihat dari spanduk promosinya. Aku memasuki warung itu dengan sedikit menyibakkan kain spanduk yang juga berfungsi sebagai ‘dinding’ warung. Di dalamnya, aku melihat dua orang penjual yang sepertinya sepasang suami istri. Tidak terlihat adanya pelanggan lain di sana. Hanya aku dan mereka.

Mereka berdua menyambutku dengan senyuman yang sedikit dipaksakan. Mungkin mereka mencoba ramah, tapi bagiku senyum itu terlalu hambar.

Sang lelaki berperawakan tinggi tegap, berkulit sawo matang dengan kumis tebal yang menghiasi wajahnya. Sedang si wanita bertubuh sedang dengan kulit cerah. Kulihat sesekali ia melemparkan senyum ke arahku. Walau sesungguhnya senyuman itu lebih terlihat seperti seringai.

Aku lantas memesan makanan karena musik keroncong di perutku semakin menggelegar. Pilihanku jatuh kepada seporsi nasi uduk dengan lauk ayam goreng. Itu adalah pilihan yang aman untuk situasi apapun. Aku tidak suka ikan lele tentu saja. Karena setelah mengetahui habitat hidup serta makannya, aku langsung kehilangan nafsu makan.

Sang lelaki dan wanita tampak saling berpandangan setelah aku menyebutkan pesananku. Samar aku seperti mendengar si wanita berkata lirih “ayamnya sudah habis”, namun si lelaki memberikan isyarat agar ia tetap diam, lalu mengangguk ke arahku. 

“Tunggu sebentar ya” ucap si lelaki itu padaku. Mereka lalu melanjutkan diskusi dengan kode-kode yang asing bagiku dan tanpa mengeluarkan suara.

Aku tidak ambil pusing. Asalkan aku mendapat apa yang aku pesan, maka semua akan baik-baik saja.

Si lelaki lalu keluar dan menuju bagian belakang warung sembari membawa pisau yang terlihat sangat tajam. Mungkin ia ingin mempersiapkan ayam goreng untukku. Di dalam warung, hanya tinggal aku bersama si wanita yang sedang mempersiapkan nasi, sambal, dan lalapan.Semua dilakukannya dengan sangat berhati-hati. Nyaris tanpa menimbulkan suara sedikitpun.

Di tengah keheningan itu, tiba-tiba aku mendengar suara ribut dari kucing yang sedang berkelahi. Ya, dari awal datang, aku memang melihat ada tiga ekor kucing yang berada di warung ini. Dan sekarang, dengan asyiknya mereka berlarian ke segala arah sambil menggeram keras. Sungguh mengganggu.

Tak lama berselang, si lelaki masuk dengan membawa potongan ayam segar yang masih berlumur darah. Ia lalu mencuci potongan ayam tersebut, membumbuinya sebentar dan dengan cepat mencelupkannya ke dalam minyak panas.

Aroma harum dari ayam tersebut sontak menerbitkan air liurku. Rasanya aku tak sabar lagi untuk segera menyantapnya.

Rasa lapar yang memuncak bahkan membuatku tak lagi terganggu dengan suara geraman kucing di luar sana. Dua ekor kucing tadi bergantian menggeram ke arah si lelaki penjual. Hanya dua. Padahal seingatku tadi ada tiga ekor kucing di sini.

Tapi aku tak terlalu memikirkan hal tersebut. Aku malah mengalihkan pandanganku ke arah smartphone, sambil melihat update-an status dari rekan-rekanku.

Setelah penantian beberapa menit lamanya, akhirnya pesananku tiba juga. Nasi uduk bertaburkan bawang goreng, lalapan segar beserta sambal terasi, dan ayam goreng yang masih berasap membuatku seakan lupa diri.

Dalam kondisi kelaparan parah dan kelelahan, aku dihadapkan pada seporsi nasi uduk dan ayam goreng. Ini akan menjadi makan malam yang sangat nikmat.

Aku segera mencuci tangan di mangkuk berisi air kobokan dan mulai mencuil ayam goreng yang tersaji di piringku. Namun, baru sedikit mencuilnya, aku menyadari bahwa ada sesuatu yang janggal. Aku merasa tekstur dagingnya agak lain dari ayam biasanya. Lebih liat dan serat dagingnya terasa lebih padat.

Kemudian dengan saksama aku mengamati ayam goreng itu lekat-lekat, dan seketika saja darahku berdesir cepat.

Aku sudah mengolah dan mengonsumsi ayam sejak umur lima tahun. Ratusan ekor ayam telah mati dan terpotong-potong di tanganku saat membantu Ibu di dapur. Itu membuatku dengan mudah mengenali setiap milimeter bagiannya. Aku bahkan mengetahui seluruh organ tubuh seekor ayam hingga ke pembuluh darahnya sekalipun.

Dan aku tahu persis apa yang tersaji di piringku bukanlah potongan tubuh dari seekor ayam.

Tulisan Lain

No comments:

Post a Comment