Gue dianggap aneh.
Setidaknya ini yang terlihat dari sikap mereka terhadap gue. Mereka yang gue maksud adalah teman-teman gue di kampus yang sekarang. Sering kejadian, saat gue dateng, suasana mendadak awkward. Yang tadinya penuh tawa, jadi hening seketika. Saat gue menyapa, ngga ada kehangatan yang terasa. Segalanya serba canggung.
Kejadian itu memaksa gue buat menginstropeksi diri. Yang lalu memunculkan satu gagasan; ini disebabkan lingkungan tempat gue berada. Dari SD, SMP, sampai SMA gue selalu belajar di sekolah negeri. Bahkan kampus lama gue juga kampus negeri. Favorit pula. Tapi sekarang, gue harus dihadapkan pada kenyataan untuk berkuliah di kampus swasta. Gue nggak tau apa hal itu berkaitan atau nggak, tapi yang jelas gue merasa kesulitan bersosialisasi di sini.
Di lingkungan instansi pendidikan negeri, gue merasa banyak orang ‘se-frekuensi’. Kecuali SD, semua jenjang pendidikan gue menerapkan seleksi masuk. Ini menyebabkan manusianya lebih tersaring. Gampang buat menemukan teman-teman sepemikiran. Terbukti, gue yang sangat tidak populer aja bisa mendapat banyak teman.
Saat gue masuk di kampus swasta, semua berbeda. Orang-orangnya lebih heterogen. Ibaratnya, seluruh jenis manusia dikumpulkan di sini. Dari mulai yang bermasa depan cerah sampai yang berkelakuan seperti sampah. Semuanya ada. Dan sialnya, gue belum siap menghadapi ini.
Kemampuan bersosialisasi gue merosot drastis. Mungkin selama ini gue terlalu dimanjakan oleh lingkungan homogen di sekolah negeri. Ketika harus terjun ke lingkungan yang lebih nyata, gue kelimpungan. Seluruh ‘jurus’ sosialisasi yang gue punya hampir ngga ada yang terpakai di sini. Alhasil, seperti yang gue bilang tadi.
Gue dianggap aneh.
Dan gue baru sadar rasanya dianggap aneh itu sangat mengesalkan. Mungkin lebih mengesalkan daripada dikata-katain satu tongkrongan. Dianggap aneh yang gue maksud adalah mereka ngga mau berinteraksi sama gue. Lalu segala perbuatan gue dianggap ngga wajar dan berakhir dengan kecanggungan. Terlebih, sepertinya mereka membicarakan gue di belakang. Emang ini masih sebatas asumsi, tapi satu hal, insting gue jarang salah.
Biarpun begitu, menyalahkan mereka juga sepertinya sia-sia. Mereka pasti berbuat begitu karena ada alasan. Tidak akan ada asap jika tak ada api. Bagian ironisnya, gue lah sang api tersebut. Mereka beranggapan gue aneh karena memang begitu adanya. Ngga tau kenapa gue sangat enggan buat berkomunikasi sama mereka. Seperti ada penolakan dalam diri gue untuk membaur.
Gue merasa superior.
Hanya karena gue pernah berkuliah di kampus negeri, gue memandang rendah mereka. Iya, ngga usah sok menasehati, gue juga sadar sepenuhnya kalo ini salah. Tapi gue tetap butuh waktu untuk membiasakan diri. Mencoba meyakinkan diri sendiri kalo kita semua itu sama dan sederajat. Maka gue biarkan waktu yang bekerja.
Bentuk penolakan gue yang lain adalah selalu menghindari kerja kelompok. Saat ini gue lebih nyaman kalo mengerjakan itu sendirian. Jadi biasanya gue cuma ikut kumpul sekali, menanyakan gue kebagian bahasan yang mana, terus cabut dan menyelesaikan bagian gue. Kalo udah selesai, langsung kirim ke ketua kelompok. Beres.
Atau kalo lagi apes dapat kelompok beranggotakan para sampah, ya gue babat semua itu materi sendirian. Ngga tau, lebih enak aja mengerjakan semua seorang diri. Daripada mengharapkan anggota lain yang udah pasti ngga mengerjakan. Sia-sia.
Karena gue menghindari kesempatan untuk bergaul, akibatnya gue makin terasing. Dan makin dianggap aneh.
Lagi, ngga usah sok menasehati, gue masih sadar sepenuhnya kalo ini salah. Kita memang makhluk sosial. Yang seharusnya bekerja sama dalam mencapai suatu tujuan. Tapi mau gimana lagi? Berharap ada keajaiban datang kayak di film-film Hollywood? Di mana sekumpulan manusia terbuang tiba-tiba menjadi pemenang. Ngga mungkin kan?
Jujur, sekarang gue benar-benar berharap agar secepatnya menghapus perasaan ini. Ya, perasaan teralienasi. Pilihannya tinggal dua, gue menerima dengan pasrah dan menjalani semua dengan ikhlas. Atau gue mengubah pola pikir agar dapat berbaur dengan mereka. Gue tahu, semua orang pasti menunjuk pilihan terakhir.
Tapi nyatanya tidak semudah itu, kawan. Gue terlanjur dianggap aneh. Dan apabila gue tiba-tiba mengubah sikap, pasti bakal terlihat semakin aneh. Jadi dengan berat hati gue coba mengambil pilihan pertama. Dan mudah-mudahan nanti seiring perjalanan, gue bisa menyesuaikan diri dan membaur.
Catatan:
Tulisan di atas adalah edisi pertama rubrik “Kotoran”. Ini merupakan kumpulan tulisan buah dari sisi lain dalam pikiran. Akui saja, kita semua pasti punya ‘sisi lain’ itu kan? Dan tulisan di atas adalah salah satu hasilnya. Yang tidak sepenuhnya terjadi dan tidak sepenuhnya gue lakukan.
Rubrik ini seringnya gue tulis di malam hari menjelang pagi. Saat kondisi badan lagi capek-capeknya, tapi belum bisa tidur. Dalam kondisi begitu, biasanya jari gue seperti bernyawa. Tugas gue tinggal membiarkan mereka bergerak sesuka hati. Menegeluarkan pemikiran paling absurd yang ada di kepala.
Maka jangan heran kalo ada beberapa frasa yang kasar. Karena memang itu yang coba gue tonjolkan. Tapi tenang, tulisannya tetap bakal gue edit agar layak dipublikasi. Naskah aslinya sih kotor banget. Segala macam umpatan ada di sana sini.
Maklum, namanya juga kotoran.
No comments:
Post a Comment