Mayoritas orang yang pertama kali melihat saya pasti akan berpikir "Buset, ini orang apa patung? Diem aja sedari tadi". Tak mengherankan. Bahkan di rumah, yang notabene berisi keluarga inti, saya juga berbicara seperlunya. Entahlah, saya kadang juga merasa aneh dengan kondisi ini. Saya memang orang yang kurang suka berbicara. Apalagi sekadar berbasa-basi. Yakin, kalau saya berbasa-basi nantinya malah basi betulan.
Pernah ada suatu sesi serius dengan salah seorang teman saya. Ini bagian dari komunikasi yang saya suka, pembicaraan berbobot. Dia mengatakan bahwa sepertinya saya sudah terlalu asyik dengan dunia sendiri. Menurutnya itu berbahaya. Dia juga menyarankan agar lebih bisa membuka diri dengan orang-orang baru. Dengan lebih banyak senyum dan bercanda. Dari kacamatanya, dia melihat hidup saya terlalu kaku, seperti kerah baju baru. Saya tidak banyak menanggapi.
Saya memang agak kesulitan bila harus membuka pembicaraan dengan orang lain. Keadaan ini sudah saya alami sejak kecil. Ada beberapa alasan yang mungkin bisa saya jadikan ‘pembenaran’. Yang pertama adalah terlalu memikirkan reaksi lawan bicara. Saya memang selalu memikirkan apa-apa saja yang akan keluar dari mulut saya ketika sedang berbincang. Takut menyinggung lawan bicara. Khawatir mendapat tanggapan yang tidak mengenakkan. Terlalu banyak pertimbangan ini malah menyebabkan saya tidak mengeluarkan sepatah kata pun.
Alasan kedua adalah saya kurang suka dengan keramaian. Saya lebih suka meluangkan waktu untuk menghabiskan waktu seorang diri. Membaca, menulis, mengerjakan tugas, bahkan menonton film di bisokop pun saya lebih suka sendirian. Kenapa? Ada yang aneh dengan datang ke bioskop sendiri? Saya sih merasa lebih berkonsentrasi apa bila menonton sendiri. Terlebih bila film yang ditonton masuk kategori berat.
Untuk berkumpul juga saya lebih memilih berada di dalam kelompok kecil berisi tiga sampai enam orang. Lebih dari itu saya akan diam saja, menyimak, sambil sesekali mengeluarkan celetukan. Yang untungnya sejauh ini masih dianggap lucu. Saya kurang suka berbicara panjang lebar menceritakan sebuah lelucon. Cukup satu celetukan dan satu tongkrongan pun geger tertawa karena itu. Efektif.
Satu penyebab lain tentang pendiamnya saya ini mungkin adalah kecenderungan kondisi Introvert pada saya. Singkatnya, introvert adalah suatu kondisi dimana seseorang akan mendapat energi dari hasil meluangkan waktu sendirian. Banyak orang salah kaprah, dikiranya introvert adalah anti-sosial. Padahal tidak selalu begitu. Lain waktu akan saya tulis satu artikel khusus untuk masalah ini.
Lalu alasan terakhir sederhana saja, saya merasa memang beginilah saya. Tidak perlu berpura-pura untuk menjadi aktif dan ceria. Yang nanti malah terkesan palsu dan dibuat-buat.
Dari semua pemaparan tadi pasti orang berpikir saya orang yang kaku dan membosankan. Tentu ada benarnya. Terlebih jika tidak mengenal saya dengan baik. Namun sebenarnya saya juga manusia biasa. Saya juga bisa menjadi ‘gila’. Ada sisi lain dalam diri saya yang juga sama seperti orang lain. Tertawa keras terbahak-bahak, melontarkan candaan kotor, berbicara kasar, melakukan hal-hal bodoh, dan yang lainnya. Tapi perlu diingat bahwa tidak kepada semua orang saya bisa menunjukkan itu. Tidak juga kepada orangtua saya, kalau yang ini sih atas alasan malu dan segan sebenarnya. Sisi lain itu hanya muncul jika berhadapan dengan orang tertentu saja.
Di sisi lain, saya tetap bisa berbicara di depan khalayak umum. Presentasi di kelas juga bukan masalah besar buat saya. Saya bukan pemalu. Saya hanya lebih diam dibandingkan orang yang dianggap normal oleh masyarakat. Diam saya juga bukan tak beralasan. Saya lebih suka mengamati. Saya adalah pengamat yang baik. Saya memilih mendengarkan orang bercerita dibandingkan saya yang harus berbicara.
Jadi jika suatu hari takdir memutuskan kita untuk bertemu, janganlah ragu untuk menyapa.
Lalu silakan bercerita apa saja.
No comments:
Post a Comment