Friday 2 October 2015

Lava Cake


Pandanganku sepenuhnya terpusat pada seorang wanita yang duduk di hadapanku. Ia terus bercerita dengan sangat ekspresif. Matanya berbinar memancarkan semangat yang meluap-luap. Tangannya menari-nari memeragakan setiap kata yang diucapkannya. Aku masih terdiam memperhatikan sambil mencondongkan tubuhku ke arahnya. Sesekali aku tersenyum melihat raut wajahnya yang sangat menggemaskan.

“Permisi.”

Obrolan kami terhenti ketika seorang pelayan datang menghampiri. Pelayan itu mulai menghidangkan pesanan di atas meja. Sesaat perhatianku tertuju pada dua piring kue berwarna coklat kehitaman berbentuk kerucut.

choclav.jpg

“Jadi ini yang namanya lava cake?” tanyaku.

“Iya, cobain deh. Enak loh.”

Aku langsung memotong kue itu dengan sendok kecil di tanganku. Dan ternyata dari dalamnya muncul lelehan coklat yang keluar dengan perlahan. Kucoba mengambil sepotong kecil kue itu dan memasukkannya ke dalam mulut. Sesuai dugaan, kuenya bertekstur lembut dan bercita rasa manis.

Setelahnya tak ada sepatah kata pun yang keluar dari mulut kami berdua. Kami larut dalam suasana nyaman pada sore itu. Duduk berhadapan di sebuah Cafe yang terletak di bilangan Jakarta Selatan. Jumlah pengunjung Cafe ini tak seramai biasanya. Menciptakan ketenangan yang kami cari untuk bersantai sejenak.

“Lo masih ada utang cerita ya sama gue.” kataku tiba-tiba.

“Hah? Cerita apa?” ujarnya sambil mengernyitkan dahi..

“Daritadi lo belom cerita traktir gue dalam rangka apa.”

Ia seperti tersadar akan sesuatu. Menyimpan sendoknya di pinggiran piringnya. Lalu menyeka mulut dan mulai bercerita.

“Well, sebenarnya traktiran hari ini adalah bentuk terima kasih gue sama lo.” katanya sambil menatapku. Nada bicaranya kini terdengar serius.

“Terima kasih karena?”

“Ya, karena lo udah hadir pas gue lagi ada di masa-masa tersulit gue kemaren.”
“Saat teman-teman gue menjauh, lo justru dateng ngasih gue semangat.” katanya lagi.

“Oh ya? Menurut gue sih wajar aja kan sebagai teman kita saling support.”

“Nope. It means a lot.”
“Lo ngga tau perasaan gue waktu itu. Semua teman yang selama ini gue bangga-banggain, ninggalin gue gitu aja. Cuma ada beberapa doang yang masih care sama gue.”
“Dan lo termasuk salah satunya.” ia berkata dengan suara bergetar, tampak ada setitik air di sudut matanya.

Aku masih terdiam di tempatku duduk saat ini. Mencoba memahami setiap ucapannya. Dalam hati aku membenarkan semua perkataannya barusan. Seperti yang ia bilang, aku memang peduli padanya. Dan kuharap rasa peduli ini tak menjelma menjadi rasa yang lain. Semoga saja.

Dan kini ia terlihat berusaha agar tidak menumpahkan air matanya. Coba mengatur nafasnya agar lebih tenang. Tanpa sadar jemariku mulai bergerak ke arah telapak tangannya. Menggenggamnya erat seraya mengelus lembut punggung tangannya dengan ibu jariku. Mungkin hanya itu yang bisa kulakukan dalam situasi ini. Mencoba membuatnya tenang.

Nampaknya perlakuanku tadi telah membuahkan hasil. Ia kini terlihat sudah mulai bisa menguasai dirinya. Perlahan ia memalingkan wajahnya ke arahku.  Menatapku dengan pandangan meneduhkan. Matanya masih sedikit berkaca-kaca namun bibirnya tetap menyunggingkan senyum. Manis sekali.

“Sorry, malah jadi mellow begini.”
“Gue cengeng banget ya?” tanyanya sambil memasang muka memelas.

“Haha, ngga lah. Justru gue bersyukur bisa hadir pas lo lagi butuh.”
“Untuk selanjutnya, lo boleh kok hubungi gue kapan aja kalo mau cerita.” ujarku.

“Ya, mulai dari kejadian kemarin, akhirnya gue sadar kalo lo cowok yang bisa diandalkan.” 

“Weits, iya dong, gue kan selalu setia setiap saat.”

“Hahaha, kayak deodoran dong?” ia berkata sambil tertawa lebar.

Ah, senang rasanya melihat ia kembali bisa tertawa lepas.

“Begitulah.” aku menjawab sambil menyendokkan lava cake di piringku. “Oh hampir lupa, makasih ya buat traktiran kuenya.”

“Eh, iya, iya. Ini sih ngga seberapa.”
“Lagian traktiran ini cuma simbol. Gue tau ini ngga akan bisa sepadan sama semua perlakuan lo kemaren.”
“Tapi gue harap lo bisa menangkap niat baik yang gue maksud.” katanya lagi.

Air di sudut matanya terlihat sudah mengering. Berganti pancaran semangat yang tadi sempat hilang. Ia lalu mengambil sendoknya dan menyuapkan sepotong kue ke dalam mulutnya.

“Lo tau ngga kenapa gue suka sama lava cake?” katanya sambil melahap potongan kecil kue itu.

“Hmm karena manis dan enak?” jawabku asal.

“Haha iya sih. Tapi ada alasan lain.”

"Alasannya?"

“Gue ngerasa diri gue kayak lava cake ini. Dari luar kelihatan padat dan tangguh.”
“Tapi ternyata di dalamnya lembek dan gampang hancur.” ucapnya.
“Hehehe, ngga jelas banget ya?” tambahnya lagi sambil tertawa kecil.

Hanya senyum yang kuberikan sebagai tanggapan. Kuharap dengan tersenyum akan bisa meredakan kegundahannya hari ini. 

“Abis ini mau ke mana?” tanyaku.

“Hmmm kalo nonton gimana? Gue yang bayarin lagi deh. Ya ya ya?” katanya dengan antusias.

“Haha. Oke, abis ini kita nonton.”
“Tapi ngga usah lo bayarin lah, bayar sendiri-sendiri aja biar adil.” jawabku.

Aku sudah menduga pasti ia tidak akan mau jika aku yang membayar tiket bioskop kami. Pilihan terakhir adalah dengan membayar masing-masing. Dan sepertinya keputusanku tepat.

“Oke! Deal ya.”
“Kalo gitu cepetaan! Keburu tutup nanti bioskopnyaa.” ia berkata penuh semangat.

“Elah, tutup apaan sih, masih jam lima sore juga.”
“Bentar, gue abisin dulu ini kuenya.”

Aku lantas menyantap sisa kue di piringku dengan secepat kilat. Sesekali melirik ke arahnya yang sedang memperhatikanku. Di suapan terakhir, tak sengaja mata kami beradu pandang. Dan kali ini aku merasakan sebuah sensasi baru. Tatapannya kurasa agak berbeda.

Begitu lembut dan manis.

Seperti potongan terakhir lava cake yang memenuhi mulutku.

I have a dream I hope will come true
That you'll grow old with me and I'll grow old with you
We thank the earth, sea, the sky, we thank too.

I lava you

-James Ford Murphy-



Tulisan Lain

No comments:

Post a Comment