Friday, 28 April 2017

Isu Usang


Sedikit lega mengetahui bahwa prosesi pemungutan suara Pilkada DKI sudah berakhir.

Itu artinya akan berakhir pula ribut-ribut soal polemik memilih pemimpin yang seiman, jenazah yang ditolak untuk disholatkan, serta sentimen negatif terhadap etnis dan agama tertentu. Semua akan segera berlalu.

Tapi benarkah demikian?

Menurut saya justru sebaliknya.

Apa yang terjadi di Pilkada DKI kelihatannya justru makin menguatkan alasan untuk menggunakan isu-isu tadi sebagai senjata utama menghadapi pemilihan umum. Makin memantapkan pihak-pihak tertentu untuk terus menggunakan pola kampanye yang sama; isu SARA.

sumber

Kemenangan Anies di DKI merupakan contoh nyata bahwa penggunaan isu SARA masih sangat efektif untuk digunakan. Saya tidak mengatakan kalau kemenangannya semata hanya karena isu-isu SARA, terutama agama. Namun, kita juga tidak boleh menampik bahwa isu tersebut memegang peranan sangat penting dalam kemenangan Anies.

Dengan berbekal kemenangan di DKI, bukan mustahil jika pola kampanye SARA masih terus akan menjadi pilihan utama di pemilihan-pemilihan selanjutnya.

Dan mungkin untuk selamanya.

Maka jangan heran apabila di masa depan ribut-ribut soal agama dan tuduhan rasial akan terus terdengar tiap kali pesta demokrasi digelar.

Pola kampanye menggunakan isu SARA sebenarnya sudah dicoba di pemilu-pemilu sebelumnya, namun belum berhasil. Pilgub DKI 2012 dan Pilpres 2014 adalah contoh paling nyata dari penggunaan isu SARA. Kedua pemilihan itu terang-terangan menggunakan kampanye hitam isu SARA dengan menjadikan Jokowi dan Ahok sebagai ‘korban’.

Isu yang selalu saja digunakan dalam kampanye hitam tersebut adalah pelabelan (maaf) ‘Cina Kafir’ bagi siapapun yang dianggap musuh oleh pihak-pihak tertentu. Bahkan terhadap Jokowi yang Muslim dan keturunan Jawa pribumi sekalipun.

Namun sayangnya, pelabelan ‘Cina Kafir’ belum terlalu efektif saat Pilgub DKI 2012 maupun Pilpres 2014. Terbukti dari kedua paslon yang dikenakan tuduhan rasial dan agama ternyata masih dapat memenangkan pertarungan.

Walau demikian, ternyata penggunaan isu SARA sudah menunjukkan tren yang positif dari 2012 ke 2014.

Bila diperhatikan, sebelum pemilihan tidak banyak orang yang menganggap bahwa Prabowo dapat bersaing dengan Jokowi.dalam Pilpres 2014. Terlebih saat itu, Jokowi merupakan anak emas media. Berbagai pencitraan yang beliau lakukan beserta tim suksesnya berhasil meningkatkan elektabilitas Jokowi dan pasangannya, Jusuf Kalla, secara drastis.

Tapi siapa sangka jika pada akhirnya perbedaan presentase suara di antara Jokowi-JK dan Prabowo-Hatta sangat tipis, hanya berbeda sekitar dua persen saja. Menurut saya, itu semua tidak terlepas dari kampanye hitam yang mengatakan bahwa Jokowi merupakan seorang komunis yang pro-Tiongkok. Dan secara otomatis menjadikannya masuk ke dalam golongan ‘Cina Kafir’.

Lalu kenapa harus kombinasi antara ‘Cina’ dan ‘Kafir’?

Yang dapat saya tangkap dari penggunaan label ‘Cina’ adalah karena etnis Tionghoa merupakan minoritas dan dianggap lemah. Lalu sebagian besar masyarakat ‘pribumi’ Indonesia juga sepertinya masih menyisakan sentimen negatif kepada etnis Tionghoa. Entah apa alasannya.

Sedangkan ‘kafir’ secara etimologis ialah sebutan untuk orang-orang yang menolak kebesaran Allah SWT. Sehingga seringkali disematkan kepada orang-orang yang beragama selain Islam. Padahal Islam sendiri adalah agama mayoritas di Indonesia.

Intinya, ‘Cina’ dan ‘Kafir’ secara umum menggambarkan kondisi yang berseberangan dengan mayoritas penduduk di Indonesia.

Jadi siapapun orang yang mendapat label ‘Cina’ dan/atau ‘Kafir’ akan secara otomatis menjadi musuh bersama kaum mayoritas dan membuatnya sulit bersaing di bursa pemilihan umum.

Ahok adalah salah satu individu yang paling ideal untuk diserang menggunakan isu ‘Cina Kafir’. Karena ia Cina dan juga 'kafir'. Diperparah dengan kasus penistaan agama yang menimpanya, lengkap sudah alasan untuk menyerang Ahok menggunakan isu SARA.

Cina Kafir yang Menista Agama Islam; apa yang lebih baik dari itu bagi para oknum tim sukses di belakang lawan-lawan politik Ahok?

Kasus Ahok secara tidak sengaja (atau mungkin sengaja) telah meningkatkan efektivitas penggunaan isu SARA. Hasilnya bagus. Mereka berhasil menumbangkan Ahok dengan cukup telak di Pilkada DKI.

Oknum-oknum di balik isu ini pastinya akan semakin percaya diri untuk terus mengembuskan kampanye hitam dengan label ‘Cina Kafir’ di pemilihan umum berikutnya. Dan sekali lagi, bukan tidak mungkin jika selama pemilihan umum di Indonesia berlangsung, kita akan terus dicekoki berita-berita bernuansa SARA.

Terbayang jika nanti setiap kali pemilu digelar, berita yang beredar hanya seputar si A yang dituduh keturunan Tionghoa, si B yang dituduh neo-lib karena kuliah di luar negeri, atau si C yang dituduh muslim liberal sehingga menjadi auto-kafir.

Lalu pemilu yang seharusnya menjadi pesta rakyat, harus mengalami pergeseran fungsi menjadi ajang tuduh-menuduh serta klarifikasi dari yang tertuduh. Tidak ada lagi adu program, tidak ada lagi diskusi ilmiah, dan tidak ada lagi pencerdasan untuk rakyat.

Kita akan terus dibodoh-bodohi, dipanas-panasi, dan bagian terparahnya, diadu domba. Kita akan dibiarkan untuk selalu saling curiga dan berselisih paham satu sama lain. Semuanya dilakukan semata untuk melancarkan tujuan utama mereka; mengeruk suara kita ketika pemilu.

Karena pada akhirnya, kita tidak lebih dari sekadar alat demi melancarkan hasrat mereka untuk berkuasa.

Maka dari itu agar tidak menyuburkan praktik kampanye negatif bernuansa SARA, saya telah, dan akan terus, melakukan beberapa langkah , di antaranya:
  1. Tidak membagikan berita yang berisi kampanye negatif, apalagi yang bermuatan SARA.
  2. Tidak meladeni pihak-pihak yang sengaja memancing perdebatan soal kampanye negatif.
  3. Tidak berkomentar buruk terhadap siapapun calon yang maju di pemilihan umum, sekalipun sebenarnya tidak saya suka.
Saya tahu bahwa ini sudah terlambat. Sudah terlanjur banyak orang-orang yang ‘sakit’ akibat Pilpres ataupun Pilkada. Namun setidaknya cara-cara di atas harus saya lakukan agar tidak ikut-ikutan ‘sakit’ karena perdebatan yang tidak perlu.

Dan saya harap Anda juga demikian.

Tulisan Lain

No comments:

Post a Comment