Friday, 9 October 2015

Tak Terduga


Suatu malam di bulan Oktober. Hujan baru saja turun kala itu, membuat udara malam terasa dingin menusuk tulang. Saya sedang duduk di halte dekat kantor, menunggu bis untuk pulang ke rumah. Sembari menunggu saya coba mengedarkan pandangan ke sekeliling guna menghilangkan rasa jenuh. Sesaat perhatian saya tertuju pada sesosok bapak tua yang sedang membawa kantong plastik berwarna hitam. 

Bapak tua itu duduk di trotoar sambil mendekap kantong plastik itu di dadanya. Wajahnya terlihat sangat lelah. Tubuhnya tampak ringkih dan tersandar di sebuah pohon. Matanya menatap kosong pada keramaian di depannya. Sesekali ia mengusap wajah guna menghilangkan kantuk.

ilustrasi
sumber gambar
Saya cukup lama mengamati bapak tua itu. Entah kenapa sosoknya terlihat sangat mencolok di mata saya. Karena penasaran, saya coba menghampiri bapak tua itu dan mengajaknya untuk berbincang.

“Permisi, Pak.” ujar saya.

“Ya, ya silakan.” kata bapak tua itu.

“Asalnya dari mana, Pak?” tanya saya coba berbasa-basi.

“Oh, saya mah tinggal di belakang, Mas. Ngga gitu jauh dari sini.” jawabnya.

“Itu bapak bawa apa kalo boleh tau?”

“Dompet bekas, Mas.” katanya sambil mengeluarkan beberapa dompet dari dalam kantung itu.

“Dijual berapaan itu, Pak?”

“Seplastik gini biasanya dikasih harga 30ribu, Mas.” katanya sambil menghela napas.

“Kalo saya beli satu boleh Pak?”

“Wah, ya boleh dong, Mas. Coba aja dipilih-pilih dulu.” ia lalu menyerahkan kantung itu pada saya.

Di dalam kantung itu terdapat beberapa dompet bekas. Namun yang saya lihat, masih ada juga yang tampak bagus dan layak pakai. Setelah melihat-lihat, saya menjatuhkan pilihan pada sebuah dompet kulit berwarna hitam.

“Kalo yang ini berapaan Pak?” saya berkata sambil menunjuk dompet pilihan saya.

“Ya terserah aja, Mas. Saya ngga pernah jual satuan soalnya.”

Saya lantas mengeluarkan dompet saya dari saku celana belakang. Mengambil selembar uang lima puluh ribuan dari dalam sana. Lalu memasukkan dompet saya ke saku baju.  Kemudian menyerahkan uang lima puluh ribuan tadi pada bapak tua itu. Saya rasa tak apalah memberikan uang lebih pada si bapak tua. Anggap saja sebagai ganti usahanya selama ini.

Si bapak sempat memandangi saya dengan penuh keheranan. Mungkin ia pikir jumlah itu terlalu banyak. Tapi saya tetap menyodorkan uang itu lebih dekat kepadanya. Ia lalu menerima uang itu dengan tangan sedikit bergetar. Tampak senyum lebar di wajahnya saat mengantongi uang pemberian saya. Tak henti-hentinya ia mengucapkan terima kasih. 

Setelahnya saya coba bertanya pada bapak tua ini soal keadaannya. Ia lalu bercerita bahwa ia hidup berdua dengan cucunya. Anaknya, yang juga orangtua dari sang cucu, telah pergi bertahun-tahun lalu untuk menjadi TKW di negeri tetangga.

Sehari-hari bapak ini bekerja serabutan. Kadang berjualan minuman di lampu merah, kadang menjadi pemulung. Dan di lain hari menjadi pekerja bangunan. Pokoknya bekerja apa saja agar dapat memenuhi kebutuhannya bersama sang cucu.

Seketika saya merasa tertampar. Di usianya yang sudah tak muda lagi, ternyata bapak ini masih semangat dalam mencari rezeki. Saya merasa malu karena kadang masih banyak mengeluh soal pekerjaan. Padahal sebenarnya pekerjaan saya sudah lebih baik dibanding dengannya.

Setelah cukup lama berbincang, si bapak tua berpamitan pada saya. Ia menjelaskan bahwa akan segera membeli makanan lalu pulang untuk menemui cucunya. Mereka berdua ternyata belum makan dari tadi siang. Hati saya agak miris mendengar pengakuannya. Saya lalu menyilakan bapak itu untuk lekas pulang menemui cucunya. Memperhatikan sosoknya mulai menjauh dan akhirnya hilang sepenuhnya ditelan kegelapan malam. 

Selepas bapak itu pergi, saya lihat seorang bapak yang lebih muda datang menghampiri saya. Dia lalu duduk di dekat saya dan mulai membuka percakapan.

“Maaf,  Mas.” ujar Bapak itu.

“Ya?”

“Mau tanya, orang yang tadi ngobrol sama kamu itu sodara kamu, Mas?”

“Ha? Bukan, Pak. Saya aja baru kenal barusan. Emang kenapa?”

“Oalah, sebetulnya saya mau ngasih tau ini dari tadi, tapi saya segan. Saya kira itu sodaranya. ” kata orang itu.

“Ngasih tau apa, Pak?” tanyaku heran.

"Tadi saya lihat kalo dia... ngambil dompetmu, Mas. Coba dicek dulu deh.”

Spontan saya langsung merogoh saku baju untuk mencari dompet saya. Tapi ternyata tidak ada. Saya coba mengecek di tempat lain, di saku celana, di dalam tas, namun tidak ada juga. Astaga, dompet saya telah hilang! 

Tiba-tiba saya teringat pada kantung plastik si bapak tua itu yang terisi penuh oleh dompet bekas. 

Ah, sialan.

cerita di atas hanyalah fiktif belaka.
sebagai alternatif dari sekian banyak 'kisah inspiratif' yang dipaksakan..

Tulisan Lain

No comments:

Post a Comment