Wednesday 9 September 2015

Berjuanglah Jagoan!

“Bang, tidur cepat kau. Besok kita berangkat pagi-pagi.”

“Iya, berangkat jam berapa emang?”

“Jam enam. Kau bangun jam setengah lima lah biar aman.”

"Yassalam."

Dialog di atas adalah potongan percakapan seorang Bapak dengan anak lelakinya yang super tampan. Ya, gue tentu saja.

Hari ini, tanggal 9 September 2015, gue bermaksud untuk menghadiri acara pelantikan adik gue satu-satunya di sebuah kampus kedinasan.  Adik gue ternyata lolos semua tahap seleksi yang diselenggarakan oleh kampus tersebut. Dari yang awalnya ada 3500-an orang akhirnya tersaring jadi 80 orang saja. Itu artinya peluang lolos cuma sekitar 2 persen. Dan tes yang diberikan bermacam-macam, mulai dari akademis hingga fisik. Standar sekolah kedinasan lah. Cukup membuat gue bangga, walaupun sesungguhnya gue ga punya andil apa-apa sih atas keberhasilan dia.


Selama sebulan kemarin adik gue menjalani semacam Ospek dari kampusnya. Rangkaian awal penyambutan dilakukan di pusat pelatihan militer yang terletak di markas Kopassus, Batujajar. Super greget. Acaranya bertajuk Pembentukan Karakter. Gue ga kebayang pelatihan yang diberikan para anggota Kopassus itu. Pelatihan dilakukan sebulan penuh dan baru hari ini gue berkesempatan menjumpainya lagi. Maka, gue langsung menerima tawaran Bapak buat ikut ke acara pelantikan ini.

Oh ya, sekadar info, adik gue juga tembus SBMPTN di Fakultas Hukum universitas negeri ternama di Depok. Gue dan Abang gue udah berusaha membujuk agar dia agar kuliah di FH aja. Tapi dia tetap dengan pendiriannya untuk kuliah di kampus kedinasan itu. Perjuangannya lebih berat kata dia. Di SBMPTN nasibnya ditentukan cuma dengan beberapa jam ujian tulis. Sedangkan di kampus kedinasan seleksi masuknya makan waktu berbulan-bulan. Itu jadi salah satu pertimbangannya selain masalah ikatan dinas dan bebas biaya kuliah. Ya sudahlah, toh dia ini yang menjalani perkuliahan.


Acara pelantikan dimulai pukul sepuluh pagi, cuma supaya perjalanan ga terburu-buru maka gue dan orangtua gue berangkat dari rumah pukul enam pagi. Ini jelas masalah. Selama menganggur ga jelas menunggu saat masuk kuliah, jam tidur gue berantakan. Gue disuruh bangun jam setengah lima pagi, sementara menurut jam biologis gue, itu tuh masih tengah malam. ‘Pagi’ versi gue adalah jam sembilan.

Walau begitu tetap aja gue kebangun tepat jam 4.25 karena mendengar pengumuman Om Marbot untuk bersiap-siap shalat Subuh. Gue langsung menuntaskan panggilan alam di kamar mandi. Setelahnya menyambar sarapan di ruang makan dengan mata setengah terpejam. Lalu ngulet-ngulet sebentar. Urusan mandi dan berpakaian ga usah diceritakan lah. Intinya gue udah siap sedia di pukul 5.40.

Gue dan orangtua gue berangkat menggunakan mobil sejuta umat. Lalu lintas jam segini ternyata udah lumayan ramai juga. Sepanjang perjalanan seringkali kami berpapasan dengan dedek-dedek gemesh yang berangkat menuju sekolah. Lumayan, biar ga terlalu sepet nih mata. Singkat cerita, kami sampai di tempat tujuan pukul 7.30. Sementara acara mulai jam sepuluh. Masih terlalu lama. Gue memutuskan untuk melakukan kegiatan yang bermanfaat selama menunggu, Yak, melanjutkan tidur tentu saja.

Sayup-sayup terdengar suara obrolan riuh membangunkan gue. Dengan kesadaran di ambang batas, gue melirik jam tangan hitam kesayangan gue. Sudah jam sembilan. Dan para orangtua mahasiswa mulai diperbolehkan memasuki gedung tempat acara. Iya, khusus orangtua atau wali. Artinya gue harus menunggu sampai acara selesai baru bisa bertemu dengan adik gue.

Jadilah gue menunggu di warung yang terletak di depan gerbang kampusnya. Bergumul dengan para sopir yang mengantarkan majikan mereka. Mereka mengajak gue berbincang dengan berbasa-basi menanyakan tempat tinggal dan lalu lintas. Awal-awal gue masih bisa nyambung, tapi lama-kelamaan gue kerepotan juga. Mana gue disorientasi arah pula, ga begitu paham soal perlalu-lintasan. Akhirnya gue cuma bisa nyeletuk sedikit-sedikit.

Mau cuci mata melihat teteh-teteh juga ga ada. Daerah sana masih terbilang sepi. Paling yang ada cuma kambing sama ayam. Ga mungkin juga kan gue mengalihkan target operasi. Sekalinya ada manusia, ya gerombolan sopir tadi. Imbasnya gue cuma bisa melamun, menyeruput teh, terus main HP. Melamun, menyeruput teh, main HP. Sama menuntaskan hajat di kamar mandi. Diulang-ulang terus sampai bosen. Kali ini gue serius, bosen banget. Menunggu adalah hal yang paling membosankan. Gue sangat setuju dengan ungkapan itu.

Empat jam gue melamun, menyeruput teh, dan main HP sampai akhirnya gue diperbolehkan masuk juga. Kesan pertama gue setelah memasuki area kampus; kampusnya bagus, rapi, bersih, dan teratur. Desain gedungnya memang sangat militer. Satpam-nya aja gue rasa diambil dari kesatuan. Mukanya angker-angker banget. Tampang gue yang (katanya) mengesalkan mah ga ada apa-apanya. Sampai depan gedung tempat acara, gue lihat ada senior-senior yang berjaga.

Perawakan mereka militer sekali. Badan tegap, tatapan tajam, kepala mendongak, dengan rambut cepaknya. Mereka memandang ke arah gue dengan tatapan nanar. Ya, gue memang agak gondrong sekarang. Dan mungkin mereka merasa aneh atau malah iri dengan gaya rambut gue yang sensual. Gue berjalan melewati mereka dengan sedikit mengibaskan rambut. Menatap dengan pandangan meledek seolah berkata “Wleee, bisa ga punya rambut kaya gue? Bisa ga? Ga bisa kan? Huahahaha.”

Semilir angin dari AC menyambut kedatangan gue di dalam gedung. Tempat duduk dibagi jadi dua kelompok. Bagian kiri diperuntukkan bagi para undangan. Yang kanan ditempati oleh para mahasiswa senior. Mata gue menjelajah ke setiap penjuru ruangan, mencari keberadaan orangtua gue. Dan gue dapati mereka duduk di antara dua sujud. Oke, sorry. Gue dapati mereka duduk di bagian depan barisan. Langsung gue hampiri keduanya dan duduk di dekat mereka.

Pandangan gue beralih menuju ke panggung tempat pelantikan. Di sana para mahasiswa baru sedang berbaris rapi menunggu para pejabat datang untuk sesi foto bersama. ‘Mana adek gue nih?’ ujar gue dalam hati. Anjis, penampilannya jadi mirip semua. Mulai dari pakaian, postur badan, warna kulit, potongan rambut, semua nyaris serupa. Diperparah dengan mata gue yang mulai agak rabun, gue ga bisa mengenali adik gue sendiri.

Sambil menunggu, mereka dipersilakan membawakan yel-yel yang dibuat saat pelatihan kemarin. Hentakan kaki dan tepukan tangan mendominasi. Serta dibawakan dengan penuh semangat. Keren, gue sampai merinding saat melihatnya. Sebelumnya ga pernah gue merasa merinding banget kayak begini. Masa iya auranya bisa sedemikian magis? Pas gue menoleh, eh, ternyata ada bapak-bapak yang niupin leher gue dari belakang. Kan ngeselin.

Pejabat yang ditunggu-tunggu telah datang. Sesi foto-foto pun berlangsung. Lalu semua mahasiswa baru diperkenankan meninggalkan panggung. Ketika mereka turun, barulah gue bisa melihat adik gue. Badannya sekarang agak lebih kurus, tapi posturnya jadi lebih tegap. Kulitnya terlihat semakin gelap. Ga apa-apa lah, biar gagah. Dia kemudian mengambil jatah makannya dan mengambil tempat duduk di antara orangtua kami. Selagi dia makan, kami mulai menginterogasinya dengan berbagai macam pertanyaan.

Sampai pada pertanyaan hal-hal apa aja yang sekiranya masih kurang di asrama, dia menjawab kalau butuh jam tangan. Karena di sana terkenal dengan kedisiplinannya. Tanpa pikir panjang gue langsung melepas jam tangan hitam kesayangan gue, lalu gue berikan ke dia. Ya, daripada ditunda-tunda. Dia harus dikarantina selama empat bulan dari sekarang. Kasihan juga kalau selama empat bulan itu dia ga pakai jam tangan, padahal sebenarnya dia butuh.

Kami lalu melanjutkan acara temu kangen ini. Seperti yang gue singgung di atas, dia harus dikarantina selama empat bulan. Dan selama itu pula dia tidak boleh menghubungi atau dihubungi pihak manapun selain kampus. Yang paling semangat jelas Ibu. Beliau tentu merasa sangat rindu dengan anak bungsunya yang satu ini. Gue dan Bapak membiarkan mereka berbincang berdua sambil sesekali menimpali.

Seusai makan, ternyata pihak kampus menyediakan sarana untuk para mahasiswa berfoto dengan keluarga. Kami tentu tidak menyia-nyiakan kesempatan ini. Berfoto keluarga berlatar belakang panggung dengan segala macam pernak-perniknya. Bahkan setelah itu gue mencuri-curi kesempatan berfoto dengan adik gue kala dia memakai seragam kebesarannya. Begitu juga orangtua dan Abang gue. Abang gue sampai harus izin dari kantor guna menghadiri acara ini, walau datang agak mepet.

Untuk masalah foto, kami sebenarnya sangat banyak mengambil gambar pada hari ini. Namun  gue ga berani share di sini demi alasan tertentu. Kampusnya sangat ketat soal peraturan. Dan gue ga tau pasti regulasi mereka tentang penyebarluasan informasi. Dalam semua fotonya, adik gue sedang mengenakan seragam khusus. Kami juga berfoto dengan latar belakang gedung instansi pendidikannya. Gue khawatir nanti adik gue bakal kena masalah di kampus karena ulah gue yang memasang fotonya di internet. Jadi, gue memutuskan untuk menjadikan semua foto itu sebagai koleksi pribadi sampai gue tau pasti tentang regulasinya.

Side Story "Siang, Bang." :
Rangkaian acara setelah makan siang adalah free-time. Artinya para mahasiswa baru diperkenankan menghabiskan waktu dengan kegiatan bebas. Kami lalu melakukan sesi foto-foto di sekitar kampusnya. Kemudian berpindah ke Masjid untuk melaksanakan sholat berjamaah. Kami berjalan beriringan pada awalnya, namun kemudian gue berjalan melambat dan memisahkan diri dari rombongan.

Gue berjalan santai sembari menikmati kondisi kampus yang begitu rapi dan teratur. Udara segar tanpa ada satupun manusia yang merokok. Sangat berbeda dengan kampus gue, di mana dalam interval 5 meter pasti ada saja makhluk yang sedang merokok. Gue melangkah menyusuri koridor untuk mencapai Masjid. Di depan gue, terdapat serombongan mahasiswa baru yang sedang berkumpul entah untuk apa. Tetap berjalan dengan lagak yakin, gue melintas di hadapan mereka. Tiba-tiba serentak mereka berucap:

“Siang, Bang.” sambil tersenyum.

Gue lantas celingukan, takut kejadian kayak di film Dono. Yang mana saat ada orang lain menyapa dan kita membalas sapaannya, ternyata yang disapa adalah orang di belakang kita. Bakal canggung banget kalo sampe gitu kejadiaannya. Gue rasa juga mereka berniat menyapa senior mereka yang jalan di belakang gue. Tapi setelah gue perhatikan, ternyata memang gue satu-satunya orang di koridor itu.

Sampai di Masjid, para mahasiswa yang kelihatannya senior, terlihat dari badge yang tersemat di kerah seragam mereka, sedang berbondong-bondong keluar seusai melaksanakan ibadah. Gue duduk mengambil tempat di serambi untuk melepas sepatu. Satu-persatu mereka melintasi gue sambil berucap “Siang, Bang” dan tersenyum.

Gue berpikiran, gila, ajaib juga nih rambut sensual gue. Bahkan senior kampus aja hormat sama gue berkat efek tampilan sangar yang diciptakan ini rambut. Mana dipanggil “Bang” lagi. Untung juga sih ga dipanggil “Mbak”. Soalnya sepengalaman gue, udah beberapa kali gue dipanggil “Mbak” hanya karena rambut atraktif ini. Sontak gue langsung merasa di atas angin dan berjalan dengan petantang-petenteng.

Sepanjang perjalanan, semua mahasiswa menyapa gue dengan sapaan khas-nya, yaitu “Siang, Bang” sembari tersenyum. Ga terkecuali para mahasiswi-nya yang manis-manis. Sekarang suasana udah ga canggung lagi karena gue yakin mereka memang berniat menyapa gue. Membalas sapaan mereka dengan berucap “Siang, Dek” menggunakan suara rendah nan berat sambil tersenyum manis. Menjaga postur badan gue agar tampak tegap. Dan tetap mengibaskan rambut gue yang kharismatik. Anjis, gue merasa keren banget saat itu.

Karena penasaran, seusai dari Masjid gue tanya masalah sapa- menyapa ini sama adek gue. Dia mengatakan bahwa ini hal mendasar yang pertama kali diajarkan. Ramah- tamah dan sopan- santun. Jadi setiap mahasiswa/i di sana wajib melontarkan sapaan pada setiap orang yang ditemui. Tentu disesuaikan dengan keadaan waktu, tempat, dan orang yang bersangkutan. Berhubung gue disapa pada siang hari dan gue adalah seorang lelaki muda yang matang, maka sapaan buat gue kala itu adalah “Siang, Bang.”

Gue jadi terpikir alangkah indahnya apabila mereka menularkan hal ini kepada rekan kerja mereka kelak. Karena mereka terikat dinas dan akan bekerja di bidang pemerintahan. Akan sangat menyejukkan ketika kita datang ke sebuah instansi pemerintah dan mendapat sapaan ramah serta senyum manis dari para Pegawai Negeri Sipil. Di bayangan gue, ketika nanti gue hadir di kantor mereka, gue akan disambut dan disapa:

“Siang, Pak. Ada yang bisa kami bantu?” sambil memasang wajah sejuk dan tersenyum manis.

Indah sekali bukan?


Pukul 15.00 acara dinyatakan selesai. Orangtua sangat dianjurkan untuk meninggalkan area kampus. Kata-kata ‘sangat dianjurkan’ sebenarnya ekspresi agak halus dari ‘disuruh’. Intinya mereka masih akan melanjutkan kegiatan pelantikan. Dan batas keikutsertaan orangtua dicukupkan sampai di sini saja.

Kami lalu menuju mobil karena para senior sudah mulai ‘mengusir’ para keluarga yang hadir. Seusai memastikan tidak ada yang tertinggal, mobil melaju perlahan menuju gerbang depan. Di lapangan gue mendengar sayup-sayup teriakan khas orang yang sedang baris-berbaris. Menoleh ke arah kanan, gue melihat adik gue berada di barisan paling depan. Wajahnya terlihat lelah, namun matanya tetap memancarkan semangat.

Terharu? Pasti. Begitu cepat waktu berjalan mengubah seseorang. Adik gue yang dulu culun dan sering gue bully sudah tumbuh menjadi lelaki gagah dan penuh semangat. Ada sedikit rasa kehilangan soal sosok lugu dalam dirinya. Tapi gue yakin ini hanya sementara. Yang perlu gue lakukan adalah membiasakan diri dengan perubahan yang terjadi padanya.

Jalannya masih teramat panjang. Pelantikan ini baru titik awal memasuki dunia perkuliahan. Ada empat tahun lagi yang menanti di depan. Menjalani kehidupan di asrama tentu tidak mudah karena harus berpisah dengan keluarga. Dan beradaptasi dengan berbagai macam karakter teman-temannya. Masih ada puluhan bahkan ratusan rintangan yang akan dihadapi. Harapan gue tentu saja agar dia bisa menjalani kegiatan di kampus dengan semestinya dan menjadi lulusan terbaik.

Maka dari itu, berjuanglah jagoan!


Tulisan Lain

No comments:

Post a Comment