Satu lagi topik random yang ingin gue bahas kali ini. Mengenai wajah atau muka. Seumur gue hidup, terhitung sudah 286.583.471 kali orang berkomentar negatif tentang muka gue. Mulai dari dibilang jutek, galak, ngeselin, nyolot, dan istilah lain yang sejenis dengan itu.
Pengakuan ini gue dapat dari beberapa kerabat yang akhirnya mengetahui jati diri gue yang asli. Dulu mereka menganggap gue orang yang serius, jutek, dan galak. Tapi setelah mereka mengenal gue dengan baik, akhirnya mereka sadar kalau gue sebenarnya ga terlalu serius, ga terlalu jutek, dan ga terlalu galak. Syukurlah.
image by advarsitysports.com |
Gue rasa penyebab utama muka gue terlihat galak adalah karena anatominya. Seperti keturunan Batak tulen pada umumnya, gue diberkahi muka dengan sudut-sudut tegas. Kata orang sih bentuk muka gue terlihat gagah dan kokoh. Padahal ya kalau ditonjok tetap aja bonyok.
Tulang pipi gue yang menonjol, sama sorot mata gue yang katanya tajam. Aslinya sih mata gue minus, jadi kalau melihat objek jarak jauh harus dengan memicingkan mata. Ini yang mereka anggap sorot mata tajam, terserah lah. Gue juga jarang senyum. Sekalinya senyum yang keluar malah senyum sinis dengan mengangkat sebelah bibir doang.
Bentar, ini kayanya kok muka gue beneran ngeselin ya?
Bahkan ketika gue sedang menulis posting ini di koridor kampus, gue sepertinya tak sadar memasang wajah super serius. Hingga teman gue datang dan berucap "Woy, mukanya biasa aja dong!". Well, dengan ini berarti sudah 286.583.472 kali.
Muka ngeselin ini sedikit banyak cukup berperan besar dalam kehidupan sosial gue. Yeah, people do judge a book from its cover. Kesan pertama menjadi penting. Terutama ketika berkenalan dengan orang baru. Dengan muka galak dan sifat seperti ini, sempurna sudah permasalahan sosial gue. Orang yang mau menyapa jadi enggan melihat tongkrongan gue. Gue juga malas kalau harus memulai basa-basi.
Jangankan orang baru, kadang orang yang udah kenal pun ga bebas kalo mau komunikasi sama gue. Sering terlihat canggung pas harus bicara. Lah, karena dia canggung maka gue jadi ikutan canggung. Puncaknya, kami malah canggung-canggungan.
Ini baru soal komunikasi biasa, atau bahasa kerennya: ngobrol. Belom masuk ke candaan atau jokes. Gue kira ini salah satu elemen penting di komunikasi. Obrolan bisa lebih cair saat kita bisa mengeluarkan jokes yang tepat. Gue pribadi lebih suka untuk melontarkan jokes secara verbal. Simple aja, lebih irit tenaga.
Secara personal, gue terima aja kalo orang melontarkan candaan kasar. Tau kan? Semacam candaan-candaan yang terbungkus dengan ejekan. Sebenarnya itu bukan masalah sama sekali. Mau sekasar atau separah apapun itu, kalo masih dalam koridor bercanda, ngga apa-apa. Gue orang yang santai menanggapi candaan macam itu. Cuma muka gue kadang ga bisa berekspresi secara benar. Alhasil yang ditangkap orang-orang jadi lain sama yang gue rasa. Mereka kira gue tersinggung, padahal ngga sama sekali.
Tapi selain permasalahan yang gue sebut di atas tadi, punya muka ngeselin juga bisa jadi keuntungan.
Yang udah gue alami adalah muka ini membebaskan gue dari persoalan remeh-temeh. Paling baru sih ketika gue ditawari rokok oleh SPG pas gue lagi makan di warung pinggir jalan. Cukup dengan memasang tampang datar dan ngomong seadanya, lama-lama dia capek sendiri. Terus akhirnya pergi ke warung lain.
Atau saat ada teman gue yang mau minta bantuan pas gue lagi lelah-lelahnya. Kalo aja waktu itu dia minta bantuin, pasti bakal gue bantu. Meski gue lagi capek banget. Tapi berhubung gue masang muka datar, dia agak segan juga. Mungkin muka gue terlihat sangat-sangat asem di matanya. Baguslah, dengan begitu gue bisa langsung pulang buat beristirahat.
Dan yang paling krusial, saat gue hampir jadi korban pencopetan. Waktu itu gue dalam perjalanan pulang menggunakan angkot. Kondisi angkot terbilang cukup sepi. Banyak ruang kosong di sana, tapi entah kenapa ada seorang bapak-bapak, yang malah duduk persis di sebelah gue. Gelagatnya udah mencurigakan. Celingak-celinguk melulu macam karyawan baru.
Ngga berapa lama, dia mulai ngoceh kalo dia baru belajar pijat refleksi. Terus dia nawarin gue buat dipijat secara gratis. Biasanya sih gue paling seneng kalo ada hal-hal gratisan, tapi kala itu gue ga tertarik sama sekali. Dia terus maksa sambil mulai menggerayangi kaki gue.
Firasat gue ga enak. Spontan gue langsung pasang tampang nyolot sambil ngomong ala-ala mafioso. Lah, muka datar aja udah nyolot, apalagi sengaja gue pasang tampang nyolot kan. Dan untungnya berhasil, ga jauh setelahnya dia buru-buru minggat dari angkot.
Belakangan gue tau, kalo itu modus pencopetan. Skenarionya adalah dia pura-pura mijit kaki sampai paha kita. Pas kita lengah, dia bakal mendorong keluar HP yang kita simpan di kantong celana. Abis dengar cerita itu, gue lantas mengusap-usap muka sebagai tanda terima kasih pada muka gue sendiri.
Yap, mungkin itu aja yang bisa gue bagi kali ini. Setiap orang pasti memiliki kekurangan dan kelebihan masing-masing. Orang berwajah ramah pun gue rasa bakal memiliki kesulitannya sendiri. Terlalu sering dimintai tolong misalnya.
Oh ya, satu lagi yang perlu diingat. Biar muka gue ngeselin, sebenarnya gue adalah orang baik hati, suka menolong, dan bisa menjadi pendengar yang baik. Jadi jangan ragu buat berinteraksi. Tapi kalo untuk mengubah raut muka jadi lebih ramah, gue kira ngga bisa. Sorry.
“Karena yang ramah belum tentu baik.” - Gervais Yao Kouassi
No comments:
Post a Comment