Tuesday 15 September 2015

Ooh, We Love You!



Siang-siang gini ngomongin bola asik kali ya? Gue suka nonton bola secara umum itu mulai gue masih bocah sekitar tahun 2000 lah. Awal-awal tahun 2000-an, di Indonesia lagi musimnya Liga Italia. Semua orang berbondong-bondong menonton pertandingan Serie A. Gue juga. Bahkan dulu gue menjagokan Juventus biar ga kalah gaul sama teman-teman gue di sekolah.

Gue sempat menyukai banget gaya main Italia. Bukan apa-apa, saat itu cuma pertandingan Serie A yang tayang di Indonesia. Gue ga punya perbandingan sama Liga lain di dunia. Menurut gue saat itu cara main yang bagus adalah cara Italia.

Sampai akhirnya suatu saat ada salah satu TV membeli hak siar Liga Inggris. Di layar kaca gue lihat sebuah tim dengan jersey dominasi merah-putih. Sangat menggugah jiwa nasionalisme gue tentu saja. Gue perhatikan gaya mainnya beda dari yang selama ini gue tau.  Keren. Oper-operannya cepat dan tepat, ga kayak tim-tim dari Italia yang cenderung lambat dan hati-hati.


image by: sport.gentside.com

Mungkin inilah yang dinamakan cinta pada pandangan pertama. Seperti yang bisa lo tebak, tim yang gue tonton saat itu adalah Arsenal. Gaya main Arsenal jaman gue bocah dulu sungguh memikat. Passing-passing pendek membongkar pertahanan lawan, atau serangan balik mematikan lewat penyerang yang cepat nan lincah. Siapa lagi kalau bukan King Henry?

Sebenarnya dulu selain Arsenal, ada juga Liverpool. Tim ini juga memiliki gaya main hampir mirip Arsenal, bahkan lebih rapi menurut gue. Pergerakan tanpa bola para pemainnya lebih terorganisir. Tapi entah kenapa, feeling gue lebih kuat ke Arsenal. Mungkin ini yang dinamakan cinta.

Jaman bocah dulu gue ga terlalu mementingkan trofi, piala, galer, eh sorry, gelar maksudnya. Gue cuma suka ketika lihat Arsenal main, lebih senang lagi kalau akhirnya menang. Enak, cuma fokus di pertandingan yang gue tonton. Ga peduli perolehan poin, selisih gol, peringkat di klasemen, statistik, dan sebagainya. Itu cara terbaik menikmati sepakbola menurut gue. Dibikin simple aja.

Teriak kegirangan saat trio Bergkamp-Henry-Wiltord mencetak gol. Menahan kecewa saat David Seaman harus memungut bola dari dalam gawang karena kebobolan. Melihat bagaimana Patrick Vieira dan Robert Pires mengatur serangan dari tengah dengan umpan-umpan berkelasnya. Dan kalau ada sosok yang harus diberikan applause atas prestasi Arsenal, maka  orang itu  tiada lain dan tiada bukan adalah Arsene Wenger.

Gue sempat berpikir bahwa nama ‘Arsene’ diambil dari nama tim yang dilatihnya, yaitu ‘Arsenal’. Jika hal yang sama dilakukan pada tim 'Udinese', maka berarti pelatihnya bakal bernama ‘Udin’. Agak norak ya? Tapi menurut media-media luar, kalau misal pelatih Arsenal bukan Mbah Wenger, maka tim bisa aja kolaps di tahun 2007 kemarin. Kebijakan-kebijakan kontroversial yang sempat dipermasalahkan beberapa tahun lalu, baru terasa efek positifnya sekarang. Visioner sekali memang Mbah-mbah yang satu ini.

Kejelian si Mbah melihat potensi para pemain muda lalu mengembangkannya jadi salah satu nilai plus. Contoh yang paling teringat jelas si Fabregas, walau sekarang lagi kena kutukan bersama tim barunya, Chelsea. Terus, taktik yang diterapkan si Mbah juga sangat berjaya di masanya. Operan pendek dari kaki ke kaki, atau serangan balik delapan detik pernah menjadi momok bagi tim manapun di dunia. Sekarang, karena tim-tim lain juga berkembang, maka agak sulit bagi Arsenal mencapai level permainan terbaiknya.

Untung di tahun 2014 kemarin Arsenal bisa ‘berbuka puasa’ gelar lewat trofi FA Cup, setelah sembilan tahun tanpa gelar. Bayangkan sebuah tim papan atas tidak dapat gelar apa-apa selama sembilan tahun. (Kurang sabar apa coba fans-nya? Maka kalau berkesempatan memilih pasangan hidup, pilihlah fans Arsenal!) Gue kira setelah dapat trofi FA Cup, Arsenal bakal membaik. Tapi nyatanya itu juga tidak mengubah keseluruhan permainan tim

Arsenal yang sekarang seperti bermain tanpa visi yang jelas. Mengepung daerah pertahanan lawan tapi ga tau apa yang harus diperbuat setelahnya. Lini depan tumpul, padahal gelandang serang kreatif bertebaran di sana. Jadi tim lawan gampang banget mengantisipasinya. Tungguin aja pemain Arsenal bingung sendiri depan gawang lawan, rebut bolanya, terus susun serangan balik sporadis. Habislah perkara.

Tapi patut diketahui, kondisi angin-anginan seperti itu bukan masalah buat gue. Selama itu masih Arsenal, apapun yang terjadi gue tetap cinta. 

We love you Arsenal, we do! Ooooh Arsenal we love you!




Tulisan Lain

No comments:

Post a Comment