Sunday 13 September 2015

Lepas Kendali



cerpen horror thriller darah polisi

Alex dan Benny dengan tergesa-gesa memasuki kontrakan yang mereka sewa. Kaos yang mereka kenakan basah oleh peluh dan sedikit bercak merah yang mulai menghitam. Keduanya langsung terjatuh begitu sampai di dalam ruang tamu. Nafas mereka memburu, tubuh Benny sekarang gemetar hebat dengan wajah pucat pasi.

“Sss..se. sekarang gimana Lex?” Benny akhirnya bersuara dengan bibir bergetar.

“Ya, sabar dong! Gue juga butuh waktu buat mikir.” sahut Alex dengan ketus.
“Mending lo tutup tuh pintu terus kunci rapet-rapet.” sambungnya lagi.

Benny berjalan ke arah pintu secara perlahan. Lututnya lemas hingga hampir tak sanggup menahan beban tubuhnya. Melongok keluar memastikan tak ada yang mengikuti mereka. Diraihnya gagang pintu, kemudian diputarnya anak kunci yang terpasang di sana, bermaksud mengunci pintu. Namun malah terlepas. 

Tangannya berguncang hebat, tak bisa ia kendalikan. Keringat dingin mulai muncul dari kening dan tengkuknya. Terus mencoba memutar anak kunci, tapi ia masih belum bisa menguasai gerak tangannya sendiri. Kemudian ia coba berhenti sejenak guna mengambil nafas panjang. Memejamkan mata untuk membuatnya lebih tenang.

“AAARGHH” ia berteriak melepas semua perasaan tegang yang menyelimuti.

Berhasil. Ia telah bisa mengunci pintu itu sekarang.

“Woy tolol, ngapain lo teriak-teriak?!” bentak Alex tiba-tiba.

“Gue takut banget, Lex. Sumpah.”
“Ini aja gue hampir ga bisa ngunci pintu barusan” Benny coba menjelaskan.

“Tahan diri, Ben! Gue juga takut, asal lo tau aja.”
“Tapi ga usahlah lo bertindak bodoh kayak tadi. Kalo orang-orang pada nyamperin kita karena teriakan lo gimana? Hah?!”

Benny tidak menanggapi. Hanya berjalan dengan tatapan kosong menuju kamarnya. Menatap Alex pun tidak. Pikirannya sudah semakin kalut sekarang. Terbayang apabila perbuatan mereka diketahui khalayak pastilah mereka akan menginap di hotel prodeo nantinya.

Hening suasana malam itu, hanya samar suara kendaraan melintas yang terdengar sesekali. Alex yang merasa bertanggung jawab atas kejadian tadi petang berinisiatif menghampiri sahabat baiknya itu. Dan terlihat Benny duduk di pinggir tempat tidurnya. Kepalanya tertunduk dan sesekali tubuhnya berguncang, menandakan ketakutan yang mendalam.

“Tenangin diri lo, Ben.”

“Tenang kata lo? Setelah apa yang lo lakukan tadi sore lo nyuruh gue tenang?!”
“Tai lo!” Benny tak sanggup lagi menyembunyikan rasa frustrasinya.

“Gue juga ga maksud gitu, Ben!”
“Awalnya gue mau ngomong baik-baik sama si DImas. Gue cuma minta dia buat jauhin Cindy. Udah itu doang!”

“Tapi akhirnya apa?! Lo liat ga keadaan terakhir dia tadi?”

“....” Alex terdiam mendengar ucapan Benny.

“Hah?! Lo liat ga?”
“Jawab Lex!”

“Ya itu karena dia nantang Ben. Gue sama sekali ga maksud gitu awalnya.” Alex menjawab secara lirih.

“Gila, gue ga tau nasib kita bakal gimana gara-gara ulah lo, Lex.”
“Lo kok bisa brutal banget sih ngadepin orang cemen kayak gitu doang?”

“Bahkan gue sendiri juga ga tau Ben. Gue lepas kendali. Gue liat ada balok kayu deket situ langsung gue ambil aja.”
“Rasanya puas aja abis ngebantai dia pake itu kayu.” Alex berkata sambil menyeringai.

“Anjing, dasar psikopat! Lo sama sekali ga denger apa kalo dia udah minta maaf berkali-kali?”

“...” Alex hanya menggelengkan kepala sebagai jawaban.

“Kalo sampe ga gue tarik, mungkin sekarang lo masih mukulin tu orang Lex.”
“Asal lo tau aja, tadi tuh kepalanya udah bocor, bego! Darahnya aja udah ngocor ke mana-mana. Bahkan nyiprat ke baju gue nih.” ujar Benny sambil menunjukkan bercak darah di kaosnya.

Alex melirik ke arah bagian yang ditunjuk Benny. Kemudian membandingkan dengan kaosnya sendiri. Benar juga, bahkan terdapat bercak darah lebih banyak di bajunya. Dia mulai bingung sekarang. Bagaimana jika nyawa Dimas tak terselamatkan? Bagaimana jika mereka dijerat pasal yang berat dan dihukum mati? Bagaimana jika dia diteror keluarga Dimas yang berasal dari ranah militer? Semua pikiran itu berkecamuk dalam otaknya membuat ia hanya bisa terduduk lemas di kasur.

“Sekarang gimana Lex?” tanya Benny mengulang pertanyaan yang tadi belum terjawab.

“Ga tau, Ben. Gue bener-bener bingung sekarang.”

Keduanya lalu terdiam dalam keheningan malam. Masing-masing sibuk dengan pikirannya sendiri. Menanti nasib apakah yang mereka terima seusai ini. Terbaring lemas di tempat tidur memandangi langit-langit kamar yang berwarna putih gading. Tiba-tiba terdengar suara ketukan di pintu depan. Alex dan Benny saling bertatapan. Tidak pernah sebelumnya ada yang bertamu selarut ini.

Alex lalu bergegas menuju ke pintu depan. Melihat ke luar melalui lubang intip yang terpasang di pintu. Ada beberapa orang pria berjaket kulit di sana. Dia lantas membuka pintu, tetapi dengan membiarkan rantai pengunci terpasang. 

“Selamat malam.” sapa seseorang dari rombongan itu.

“Malam. Ada yang bisa saya bantu, Pak?” Alex menjawab setenang mungkin.

“Benar saya berbicara dengan Bapak Alex?”

“Ya, benar Pak. Ada apa ya?” 

“Perkenalkan kami dari satuan reskrim kepolisian daerah. Ada beberapa hal yang ingin kami tanyakan.”
“Boleh kami masuk?”

“.........” Alex hanya bisa diam terpaku.

Dirasakan jantungnya berdegup kencang. Rasa dingin mulai menjalar ke telapak kakinya. Terjadi sudah kekhawatirannya yang sedari tadi hanya mengendap dalam pikiran. Bayang- bayang buruk kehidupan di sel mulai menyeruak lagi dalam imaji. Rasa takutnya memuncak. Ia merasa habis sekarang..

“Boleh kami masuk, Pak?” seseorang tadi mengulang pertanyaannya.

“Anjing!” teriak Alex sembari membanting pintu keras-keras.



Tulisan Lain

No comments:

Post a Comment