Friday 11 September 2015

Pungguk yang Malang


Langit telah mengubah warnanya dari merah jingga menjadi kelabu tanda malam segera tiba. Si Pungguk bersiap di tempatnya menanti sang Bulan muncul menyunggingkan senyumnya yang bersinar. Menatap ke arah cakrawala yang sebagian telah berganti kelam, melebur batasan antara langit dan bumi. Dingin yang menusuk memaksa si Pungguk merapatkan sayap untuk menghangatkan badan. Meringkuk di ranting sebuah pohon demi pujaan jiwanya.



Sang Bulan bukan tidak tahu jika si Pungguk sedang menantinya. Setiap kali sang Malam menjemput, ia selalu berdebar memastikan adakah si Pungguk bertengger di tempatnya. Bukan, bukan karena sang Bulan menginginkan kehadirannya. Hanya mengingat kembali cara apa yang belum dipakai untuk dapat menghindarinya. Sang Bulan sudah muak dengan cemooh para penghuni langit tentang ketidakpantasan jalin hubungan antara dirinya dan si Pungguk.

Malang bagi si Pungguk, ia harus menjatuhkan hatinya kepada primadona seluruh penghuni langit. Sejak pertama kali dapat membuka mata melihat dunia, ia sudah terjerat keindahan cahaya sang Bulan. Berbeda dengan sinar sang Surya yang menusuk retina, cahaya sang Bulan begitu lembut dan menentramkan. Saat ini menjadi istimewa. Sang Bulan akan menampakkan sosoknya dalam fasa purnama. Tak akan didapatinya lagi sosok bulan yang seperti ini dalam waktu dekat. Tekadnya sudah bulat. Ia kan berjuang sekerasnya mengantarkan serpihan rindu yang terpendam selama ini.

Sembari mencengkram ranting pohon dengan kedua kakinya, tak terhitung sudah berapa kali ia berteriak. Berteriak sekuat tenaga agar sang pujaan jiwa menyadari keberadaannya. Tak peduli akan peluh yang sudah membanjiri tubuhnya. Tak peduli soal sakit yang terasa pada syrinx-nya. Berteriak lantang mengharapkan perhatian walau tak kunjung datang. Hanya suara gemerisik daun tertiup angin malam yang membalas teriakan si Pungguk malang. Hanya suara gemerisik.

Suara si Pungguk makin lirih, sang Bulan yang menyadari itu tampak tegang dan gamang. Ia jelas mendengar teriakan penuh harap dari si Pungguk, namun kumpulan Bintang di sekitarnya memasang senyum mengejek. Seolah menantangnya apakah ia cukup bernyali sekadar menolehkan mata indahnya pada si Pungguk. Tetapi nyali sang Bulan memang tidak besar. Tidak pernah cukup besar untuk melawan tatapan sinis para penghuni langit. Ia hanya bisa berharap si Pungguk segera menyerah dan pergi dari tempatnya berada.

Harapan sang Bulan agaknya akan menjadi realita. Perlahan sang Awan datang menuju arena pertunjukan drama penuh kepedihan itu. Dinaunginya cahaya lembut sang Bulan dari pandangan Pungguk. Membuat si Pungguk kecewa pada dirinya sendiri. Kecewa akan ketidakmampuannya untuk sekadar mendapat sedikit saja tatapan sang Bulan yang menyejukkan.

Kini malam semakin kelam. Tak terlihat lagi sang Bulan. Tertutup oleh gerombolan awan hitam yang kian lama kian pekat menyelimuti langit. Tinggal menyerahkan takdir pada waktu sampai nanti sang Awan berubah menjadi hujan. Sudah semakin berat beban kumpulan uap air yang ditanggung oleh awan. Maka ditumpahkanlah kumpulan uap air itu lewat sederas- derasnya hujan.

Hujan malam itu bukanlah hujan yang penuh ketulusan. Ada semacam muslihat dari para penghuni langit guna merusak kesempatan si Pungguk bercengkrama dengan pujaan jiwanya. Si Pungguk tak bisa lagi menahan rasa pedihnya. Berteriaklah ia menggunakan seluruh energi yang tersisa dalam tubuhnya. Membiarkan air matanya mengalir bercampur air hujan yang turun. Merasakan badannya berguncang hebat melepaskan kerinduan yang tak tersampaikan. Hempasan angin yang datang secara kuat bersama hujan mengguncang tubuh ringkihnya yang makin tak berdaya. Cengkraman kakinya kian melemah seiring kesadaran yang di ambang batas.

Penghuni langit lain seolah bersekongkol menyelesaikan prahara ini. Awan yang menggelayut semakin tebal, membuat hujan semakin deras turun menerpa bumi. Suara petir terdengar bersahut-sahutan. Percikan kilat menyambar di sekitar si Pungguk menjadikannya semakin terteror keadaan. Ia berteriak sekali lagi, mungkin untuk yang terakhir kali. Tidak ada yang tahu pasti perihal apa ia berteriak. Untuk mendapat perhatian sang Bulan, untuk menumpahkan rasa kecewanya, untuk melepas kerinduan, atau sebagai cerminan rasa takutnya pada teror penghuni langit? Tiada yang tahu.

Serangan sang Angin menutup perjuangan si Pungguk yang malang. Cengkraman kaki pada ranting pohon melemah dan akhirnya terlepas. Kesadarannya mulai terenggut dan ia meluncur cepat menuju dataran di bawahnya. Jatuh. Kepalanya menghempas keras bebatuan yang berserak. Terbaring dalam posisi telentang namun secara ajaib ia masih dapat membuka matanya. Melihat sang Bulan pujaan jiwanya untuk terakhir kali. Memasang senyum paling menyakitkan sepanjang hidupnya. Senyum perpisahan.

Rombongan semut di sekitar tempatnya jatuh mulai siaga menunggu saat itu datang. Saat di mana nanti sukma si Pungguk terpisah dari raganya. Selalu seperti itu. Kematian suatu makhluk bisa akan menjadi anugerah bagi makhluk hidup lainnya. Sang Bulan melihat dengan jelas semua kejadian itu. Termasuk senyum perpisahan dari Pungguk yang malang. Seketika ia merasa kehilangan sesosok makhluk yang setia menjadi pemujanya. Namun diam-diam ia merasa lega. Akan tiada lagi cemoohan dari penghuni langit terhadapnya. Ia tiada pernah merasakan kesedihan mendalam karena memang sosok si Pungguk tak berarti apa-apa bagi dirinya. 
Takkan pernah menjadi apa-apa.

Beristirahatlah dengan tenang wahai Pungguk yang malang. 



Tulisan Lain

No comments:

Post a Comment