Disclaimer:
Cerita ini hanyalah fiktif belaka, jika ada kesamaan tempat, nama dan juga cerita adalah hanya kebetulan semata dan tidak ada unsur kesengajaan dari penulis.
Mata gue dengan cermat menelusuri ratusan boneka yang terpajang rapi di tempat ini. Entah kenapa belum ada satupun boneka yang cocok seperti apa yang gue mau. Di kursi dekat kasir gue lihat si jahanam Bayu sedang menggoda pramuniaga toko ini. Sialan, tau gitu gue sendiri aja tadi berangkatnya. Mengajak dia juga percuma, tidak membantu sama sekali. Gue mengalihkan lagi pandangan mencari boneka yang sekiranya pas di hati. Tiba-tiba gue teringat sebuah potongan gambar screenshot chat yang tersimpan di handphone gue. Aha! Gue tahu boneka apa yang harus gue beli.
***********
Satu jam sebelumnya.
Sudah sangat sering gue kedatangan mahluk sialan yang mampir ke rumah gue. Bayu namanya. Gue sudah kenal dia dari awal gue pindah ke rumah yang sekarang gue tempati saat gue SD dulu . Hingga saat ini kami sudah berkuliah, walau berbeda kampus. Tapi dia sering datang mengunjungi rumah gue untuk… entahlah.
Kerjaan dia setiap datang ke sini cuma menumpang tidur dan sesekali menghabiskan jatah makan gue. Gue juga sudah tidak heran lagi dengan kelakuan absurdnya. Tapi biar absurd, dalam beberapa kesempatan dia sering menunjukkan sisi kedewasaannya. Dan gue lihat sekarang dia mulai menyalakan laptop gue untuk bermain game.
Kerjaan dia setiap datang ke sini cuma menumpang tidur dan sesekali menghabiskan jatah makan gue. Gue juga sudah tidak heran lagi dengan kelakuan absurdnya. Tapi biar absurd, dalam beberapa kesempatan dia sering menunjukkan sisi kedewasaannya. Dan gue lihat sekarang dia mulai menyalakan laptop gue untuk bermain game.
“Nyet, temenin gue nyari boneka yok.” kata gue pada Bayu.
“Males amat. Bakal apaan emang?” tanya dia sambil tetap melihat layar laptop.
“Buat hadiah wisuda si Indah.” kata gue lagi.
“Hahaha, belom nyerah lo ternyata?” dia mulai mengalihkan pandangan ke arah gue.
“Iya lah, kata lu dulu kalo mau ngejar cewek harus sekuat tenaga.”
“Nah! Ini baru murid gue.” ujarnya sambil menepuk-nepuk bahu gue.
“Sesuka lu aja dah.”
“Jadi gimana? Mau nemenin ga?”
“Bentar, tanggung satu game dulu.”
**********
Gue memilih sebuah boneka hamster berwarna pink yang dipajang agak tersembunyi di bagian belakang toko. Itu juga setelah gue ingat kalau si Indah pernah chat gue minta dibawakan bunga mawar pink dan hamster yang juga berwarna pink saat dia wisuda.
Sempat gue berpikir ini hal yang mustahil, mana ada hamster warna pink? Tapi dengan sisa-sisa otak gue yang masih berfungsi, gue dapat mengambil kesimpulan bahwa dia sebenarnya menginginkan boneka hamster. Haha, cerdas kan gue?
Sempat gue berpikir ini hal yang mustahil, mana ada hamster warna pink? Tapi dengan sisa-sisa otak gue yang masih berfungsi, gue dapat mengambil kesimpulan bahwa dia sebenarnya menginginkan boneka hamster. Haha, cerdas kan gue?
Setelah memilih boneka hamster dengan kondisi paling baik, gue berjalan menuju kasir untuk melakukan pembayaran. Terlihat si jahanam masih berada di sana sambil tertawa tanpa suara.
“Kenapa lu Nyet?”
“Seneng banget kayaknya?” tanya gue pada Bayu.
“Hahahaha lo harus lihat pemandangan yang tadi gue lihat, Bim.” katanya sambil tetap tertawa kecil
“Hah? Pemandangan apaan?”
“Tadi gue lihat ada mas-mas tampang serem, badan gede, pake kaos band metal nenteng-nenteng boneka warna pink.”
“Hahaha bloon banget sumpah.”
Gue melirik sebuah cermin yang tergantung di tiang beton penyangga toko.
“Monyet lu.” ujar gue setelah menyadari kalau orang yang dimaksud oleh Bayu adalah gue.
Dan dia kembali tertawa terbahak-bahak sekarang. Bodo amat deh, demi pujaan hati, apa saja bakal gue lakukan. Gue meminta pada mbak-mbak kasir agar sekalian membungkus boneka itu dengan kertas kado. Kalau sampai gue yang membungkus, bisa tahun depan baru kelar. Selesai urusan, gue langsung mengajak si jahanam untuk segera pulang.
**********
Esok harinya gue sudah bersiap-siap untuk datang ke acara wisuda Indah. Memakai pakaian paling bagus yang gue punya. Mengatur rambut sedemikian rapi dengan mengoleskan pomade layaknya anak kekinian. Menyemprotkan parfum yang gue colong dari kamar abang gue. Pokoknya gue berusaha tampil semaksimal mungkin untuk bertemu Indah. Gue menatap lagi cermin besar di kamar gue. ‘Ah, tampan sekali diriku. Ini sih jangankan Indah, Chelsea Islan juga pasti klepek-klepek melihat penampilanku’ begitu kira-kira suara dalam pikiran gue.
Dengan mengendarai motor bebek andalan keluarga, gue berangkat menuju lokasi wisuda Indah. Perjalanan terbilang cukup lancar. Sekitar satu jam kemudian gue sampai di lokasi dan memarkirkan motor. Di dekat parkiran, gue lihat banyak tukang bunga dadakan menggelar dagangan di trotoar. Tanpa pikir panjang, gue beli lah itu bunga tanpa menawar lagi. Sambil menenteng bunga gue langsung bergerak menuju gedung tempat berlangsungnya acara. Ajegile, ramai betul orang yang datang. Gue cuma bisa berharap dapat menemukan sosok Indah di tengah keramaian ini.
Dan sepertinya doa gue terkabul. Dari jauh gue lihat sosoknya berjalan ke arah gue. Pernah lihat adegan di film-film jadul ketika menggambarkan seorang wanita cantik? Mungkin itu yang gue rasa. Dia seolah bergerak dengan perlahan bagai adegan slow motion. Rambut yang berkibar tertiup angin. Wajah yang bersinar cerah terkena cahaya matahari sore.
Indah. Sesuai dengan namanya. Gue kenal dia setelah lulus SMA. Kami dipersatukan dalam kelas bimbel intensif persiapan seleksi masuk universitas. Awal gue melihat dia biasa saja. Wajahnya memang manis, tapi tidak ada yang spesial kala itu.
Semua berubah ketika gue mulai sering berinteraksi dengannya. Caranya berbicara, gesturnya ketika bercerita, suara tawanya yang lembut, dan tatapan matanya yang hangat. Gue suka dengan semua yang ada di dirinya. Ah, gue benar-benar jatuh.
Semua berubah ketika gue mulai sering berinteraksi dengannya. Caranya berbicara, gesturnya ketika bercerita, suara tawanya yang lembut, dan tatapan matanya yang hangat. Gue suka dengan semua yang ada di dirinya. Ah, gue benar-benar jatuh.
Pada akhirnya kami mulai jarang bertemu setelah ujian masuk perguruan tinggi. Dia memilih sebuah kampus favorit di Jakarta. Gue sendiri cuma lolos di jurusan kelas dua sebuah kampus negeri. Interaksi kami hanya sebatas lewat chat, itupun tidak sering.
Terlebih setelah kami mulai sibuk dengan aktivitas di kampus masing-masing. Paling hanya seminggu sekali kami saling berhubungan. Namun dari interaksi yang jarang, gue bisa mendapatkan kualitas hubungan yang baik. Tidak sekadar ngobrol ngalor-ngidul. Dia sering bercerita tentang kesehariannya, tugas-tugas, kegiatan kampus, sampai permasalahan dengan teman- temannya.
Terlebih setelah kami mulai sibuk dengan aktivitas di kampus masing-masing. Paling hanya seminggu sekali kami saling berhubungan. Namun dari interaksi yang jarang, gue bisa mendapatkan kualitas hubungan yang baik. Tidak sekadar ngobrol ngalor-ngidul. Dia sering bercerita tentang kesehariannya, tugas-tugas, kegiatan kampus, sampai permasalahan dengan teman- temannya.
Dia masih berjalan ke arah gue sekarang dengan sedikit mengangkat kainnya. Toga yang dipakai bergerak tertiup angin. Wajahnya terlihat makin manis dalam balutan make-up. Menyadari kalau dia agak kesulitan melangkah, gue lalu berinisiatif menghampirinya. Kini jarak kami sudah semakin dekat. Terlihat wajahnya tersenyum sumringah memancarkan aura kebahagiaan.
“Biimaaaaaa.” teriaknya memanggil nama gue.
“Halo Indah.” ujar gue dengan suara agak gemetar. Gugup.
“Makasih ya udah dateng.”
“Yap. Selamat ya untuk kelulusannya.” ucap gue sambil menjabat tangannya.
“Iyaaa terima kasih, Bimaaa”
“Gue seneng banget tau lo mau dateng jauh-jauh ke sini.” katanya sambil mengayunkan dengan kencang tangan gue yang masih digenggamnya.
“Haha, iya kan gue udah janji bakal dateng ke wisuda lo.”
“Oh iya, ini ada hadiah buat lo.” ucap gue sambil menyerahkan bunga yang gue beli tadi.
Dia menerima bunga itu dengan tersenyum makin lebar.
“Udah nih? Cuma ini aja hadiahnya?”
“Yakin ga ada yang lain?” tanyanya dengan muka jahil.
“Wait. Sebentar.”
“Wait. Sebentar.”
Gue lalu teringat boneka hamster yang sudah terbungkus rapi di dalam tas gue. Gue lalu bersiap membuka tas untuk mengambil bonekanya ketika tiba-tiba ada suara asing terdengar.
“Ndah, udah selesai acaranya? Kok aku ga dikabarin?” kata suara asing tersebut.
Suara berat seorang laki-laki. Gue menoleh ke arah orang yang berbicara barusan. Asli, langsung turun rasa percaya diri gue. Penampilannya sudah seperti artis ibukota. Atau minimal seorang eksekutif muda. Kalau dibanding penampilan urakan gue, sudah pasti kebanting lah. Gue mengurungkan niat untuk menyerahkan boneka tadi.
“Ih, lagian kamu udah dibilangin tunggu aja di deket pintu keluar.”
“Malah keluyuran aja.” kata Indah pada lelaki asing itu.
“Oh ya, kenalin ini temen aku, Bima.” sambungnya lagi sambil memperkenalkan gue.
“Bima, Mas.” kata gue sambil mengulurkan tangan.
“Joshua. Panggil aja Josh.” katanya sambil menjabat tangan gue.
“Eh iya Bim, mana katanya ada hadiah lain buat gue.” ujar Indah
“Oh, errrmm ga ada Ndah, cuma bunga aja. Kemarin lagi sibuk banget.”
“Jadi ga sempet nyari. Maaf banget ya.” ucap gue pelan.
Bodoh. Sungguh bodoh. Padahal kadonya ada dan bahkan sudah terbungkus rapi dengan kartu ucapan tertempel di bagian luarnya. Tinggal menyerahkan saja dan gue malah memilih untuk berkata seperti barusan.
“Yaah, yaudah deh ga apa-apa.”
“Lo dateng aja gue seneng kok.” ucapnya dengan raut wajah agak kecewa.
“Errr, Ndah, gue langsung pamit ya. Masih ada kerjaan nih. Hehe.”
“Kok buru-buru amat? Baru juga ketemu.”
“Iya, ada meeting sama klien. Proyek besar nih buat kantor.”
“Oh gitu. Yaudah deh. Hati-hati ya.”
“Makasiiih banget udah dateng.”
“Gue seneng.” dia berkata sambil tersenyum lebar.
Setelah berpamitan dengan Indah dan Josh gue lantas berjalan ke arah motor gue. Duduk di atas motor yang masih diparkir. Mengeluarkan hadiah yang gue maksudkan untuk Indah. Menimang-nimangnya di tangan gue sembari meratapi tingkah bodoh gue barusan. Gue lalu bergegas pulang.
**********
“Goblok!” umpat Bayu setelah gue ceritakan semua kejadian di kampus Indah.
“Ya abis gimana Bay?”
“Masa gue harus ngasih hadiah itu di depan cowoknya?”
“Lo yakin itu cowoknya?”
“Kayaknya sih iya.”
“Kayaknya? Jadi lo sendiri belom yakin itu cowoknya?”
“Fix lo goblok!” katanya dengan nada lebih tinggi.
Kemudian hanya hening yang tercipta. Tidak ada sepatah kata pun yang terucap dari kami berdua. Gue terlalu malas untuk memulai perdebatan dengan Bayu. Dia perlahan merogoh sakunya, mengambil rokok dan kemudian dibakar. Dihisapnya dengan penuh penghayatan asap laknat itu.
“Bay, matiin rokok lu. Gue ga suka baunya.”
“Bodo amat. Otak lo terlalu bersih.”
“Lo butuh sedikit asap ini biar ga terlalu polos jadi orang.” katanya sambil mengacungkan rokoknya di hadapan gue.
“Sesuka lo dah.”
“Yaudah gue balik ya. Takut ketularan goblok gue lama-lama di sini.” ujarnya sambil ngeloyor pergi keluar dari kamar gue.
Gue tidak menjawab. Terserah lah dia mau ke mana. Gue malah teringat tentang hadiah buat Indah yang masih tersimpan di tas. Gue ambil dan mulai melihatnya lekat-lekat. Pikiran gue menerawang kembali ke saat kejadian di kampus Indah tadi. Dalam hati gue berpikir biarlah benda ini gue simpan sebagai pengingat bahwa gue pernah bertindak sebodoh tadi. Membuat hadiah ini tak tersampaikan. Melewatkan kesempatan emas memberikan sesuatu yang berkesan di hidupnya.
Terlihat kartu ucapan yang sengaja gue taruh di bagian luar bungkus kadonya. Gue cabut dengan kasar dan membacanya dengan seksama.
Sesuai janji karena kamu lulus tepat waktu, ini bunga dan hamster pink-nya. Berhubung hamster pink betulan tidak ada, maka sebagai gantinya adalah boneka hamster ini.
Semoga berkenan.
Selamat atas kelulusannya, Indah!
-Bima-
No comments:
Post a Comment