Rheumatoid Arthritis? Apa itu? Apakah sejenis hasil fermentasi dari kacang kedelai dan ampas kelapa?
Bukan. Itu tempe bongkrek.
Rheumatoid arthritis adalah semacam penyakit yang disebabkan kelainan sistem kekebalan tubuh (imunitas). Kenapa imunitas -yang bertujuan melindungi tubuh- malah bisa membuat sakit? Simak penjelasannya berikut.
Jadi dalam tubuh kita ada yang namanya sistem kekebalan tubuh. Fungsinya adalah menjaga tubuh kita dari paparan benda-benda asing semacam virus, bakteri, kuman, dan sebagainya. Nah, untuk melancarkan aksinya, sistem ini bakal memproduksi suatu zat yang namanya antibodi. Gunanya buat apa? Ya buat ngancurin benda-benda asing yang berpotensi membahayakan itu.
Itu kondisi yang ideal. Tapi dalam hidup, tidak semua berlangsung dengan ideal kan?
Di kasus rheumatoid arthritis, si antibodi ini justru malah menyerang dengan serampangan. Membabi buta. Mereka gagal membedakan antara benda asing dan jaringan tubuh kita. Sehingga selain benda asing, mereka juga menyerang jaringan sehat, khususnya bagian selaput tipis di persendian. Dalam kondisi lanjutan, juga bisa nyerang ke jaringan organ dalam. Udah dapet intinya? Ya, betul. Tubuh kita bakal ‘diserang’ sama sistem kekebalan tubuh kita sendiri. Bukan diserang oleh virus, bukan oleh bakteri, tapi oleh sistem kekebalan kita sendiri. Terdengar aneh memang.
Kita udah mempercayakan mereka untuk menjaga badan kita, eh ujung-ujungnya malah kita sendiri yang disakiti.
Para pakar-pakar di bidang kesehatan, menganggap ini cuma sebatas masalah perbedaan kondisi antibodi. Misal, dalam masalah fisik ada kondisi hidung mancung, ada yang pesek. Ada yang rambut keriting, ada yang lurus. Ada bermata bulat, ada yang sipit. Nah, dalam kasus ini, ada yang antibodinya normal, ada yang ngaco. Antibodi yang ngaco seakan wajar dan cuma dianggap sebagai 'variasi' dari keadaan tubuh. Terkesan menggampangkan.
Buah dari penggampangan tersebut adalah sampai sekarang, alasan kenapa si antibodi ini jadi ngaco masih belum terpecahkan. Sejauh ini para dokter cuma bisa meredakan gejala yang ditimbulkan. Kalo timbul gejala demam, ya dikasih paracetamol. Kalo sendi meradang, dikasih anti-peradangan. Begitu aja terus, ngga pernah bisa diatasi sampai ke sumber masalah. Lalu kenapa gue tau banyak soal ini?
Karena gue mengidap penyakit Rheumatoid arthritis.
Sudah, sudah, ga usah terperanjat gitu. Gue aja santai kok. Soal gejala yang gue alami? Coba lo main-main ke sini. Niscaya apa yang lo dapat di sana bisa sedikit menjelaskan. (Beberapa bulan lalu juga gue coba menuliskan secara rinci soal kondisi gue lewat tulisan-tulisan ini.) Yang paling mengganggu jelas nyeri sendi. Gue ga bisa beraktivitas dengan normal dengan kondisi persendian yang rusak. Selama ini lo pasti ga menyangka kalo gue kena penyakit ini kan? Gue memang terlihat sehat, segar, kuat, dan bergairah.
Tapi itu sih pintar-pintarnya gue aja berakting seolah semua berjalan normal. Di depan orang-orang gue berusaha tidak menunjukkan rasa sakit. Soalnya nanti gue bakal dianggap sebagai cowok lemah dan tak berdaya. Terus nanti dilihat dengan tatapan penuh rasa iba. Mengerikan. Padahal kalo lagi sendirian juga kadang gue menangis meraung-raung, membenturkan kepala ke tembok yang dilapisi bantal. Atau berlarian keliling rumah sambil teriak-teriak cuma pake celana dalam doang.
Ya enggaklah.
Sakit memang. Iya lah, namanya juga penya-kit. Beda dengan penya-ir, kalo itu sih yang suka baca puisi. Kalo yang suka nyanyi? Ya namanya penya-nyi. Oke, sorry. Beberapa persendian gue udah cacat, dalam artian tidak bisa diluruskan atau ditekuk secara benar layaknya manusia normal. Satu hal, gue ga bisa jongkok. Sungguh ironis. Gue susah payah sekolah sampai ke perguruan tinggi, tapi masalah jongkok aja ga bisa. Kalah gue sama mas-mas warung yang tahan jongkok semaleman.
Jari-jari gue juga udah pada bengkok. Ngga bisa dikepalkan dengan baik karena pergerakannya udah terbatas. Gue pun ga bisa menggenggam sesuatu yang sebenarnya enak-buat-di-genggam. Handphone misalnya. Kadang kalo lagi memegang HP, tiba-tiba suka jatuh sendiri karena pegangan gue kurang erat.
Secara keseluruhan postur badan gue jadi aneh. Karena sendi-sendi pada mengkerut, badan gue jadi terkesan bungkuk. Bukan terkesan sih, tapi emang bungkuk. Lutut gue dalam posisi berdiri juga ga bisa lurus. Kalo lagi diam berdiri, gue jadi kelihatan letoy banget. Padahal emang iya. Ibaratnya kalo gue lagi berdiri dan ada Balotelli di sebelah gue terus dia bersin, bisa aja gue langsung terpental jauh.
hmmm keknya ada yang ngomongin w nich |
Masalah lain yang mengganggu, paling cuma ketahanan fisik sih. Stamina jadi ga sekuat jaman keemasan gue dulu. Sesederhana kegiatan nongkrong yang cuma duduk sambil ngobrol dan ketawa-ketawa aja bisa jadi hal yang melelahkan. Nongkrong yang hanya dua jam di malam hari harus dipulihkan dengan tidur seharian di keesokan harinya. Ya, selemah itu.
Lalu apakah gue tahan dengan semua kondisi itu? Iya lah, gue kan lelaki tangguh dan penuh aksi. Bahkan ketika pertama kali divonis kena penyakit ini aja gue malah cengengesan. Soal sepele, ga bisa disembuhkan bukan berarti dunia gue langsung berakhir. Tidak sesederhana itu. Masih ada kesempatan mengurangi gejala-gejalanya.
Gue sampai sekarang masih meminum obat immunosuppressan. Ini adalah semacam obat buat menekan antibodi agar tidak terlalu banyak diproduksi tubuh. Kenapa? Karena kayak yang gue bilang tadi, antibodi gue ngaco. Mereka bersifat merusak. Jadi biar kerusakan bisa dicegah, maka satu-satunya cara adalah dengan mengurangi jumlah mereka. Menekan jumlah antibodi berarti mengurangi efek yang ditimbulkan dari penyakit ini. Dan karena antibodi terus diproduksi setiap hari selama kita hidup, maka gue harus mengonsumsi obat ini setiap hari pula.
Yap, gue harus selalu minum obat setiap hari. Seumur hidup.
Seperti makan buah simalakama, menekan produksi antibodi juga berarti melemahkan sistem kekebalan tubuh. Yang menyebabkan tubuh gue sangat rentan terserang penyakit. Dan memang benar, gue jadi gampang banget sakit. Bahkan sampai terserang tuberkulosis paru di tahun 2011 kemarin. Rheumatoid Arthritis dan Tuberkulosis. Dua penyakit menyerang di saat bersamaan. Keduanya adalah penyakit yang tergolong berat. Lalu apa gue menyerah? Untungnya enggak.
Entah kenapa gue malah terpacu buat membuktikan diri bahwa penyakit-penyakit ini ga akan bisa mengalahkan gue. Malah termotivasi mencari tahu sekuat apa tubuh gue menghadapi dua penyakit ini. Nyatanya tubuh gue cukup kuat. Gue saat itu berpikir kalo menyerah adalah hal yang terlalu mudah. Dan rasanya gue bisa berbuat lebih dari sekadar menyerah. Walau akhirnya ga bisa normal seperti semula, tapi setidaknya gue bisa menghadapi itu semua.
Tahun ini masuk tahun ke-tujuh gue hidup dengan Rheumatoid arthritis. Menurut lo lama ya? Kalo kata gue sih sebentar, karena perjalanan kan masih panjang. Semuanya serba relatif. Tujuh tahun kalo dilihat ke belakang pasti terasa lama. Tapi kalo menatap ke depan, tujuh tahun kemarin belum ada apa-apanya. Masih banyak tahun-tahun ke depan yang bakal gue lalui bersama si Rheumatoid arthritis ini.
Mudah-mudahan gue bisa melaluinya dengan baik.
Boleh minta doanya?
Mudah-mudahan gue bisa melaluinya dengan baik.
Boleh minta doanya?
Gaya lo bayi wkwkwk berjuang ya dengan kesehatanmu, bukan dengan penyakitmu :") #eaaa
ReplyDeleteSiap laksanakan!
Deleteterima kasih, Tante.
Semangat ya, saya juga penderita RA, sdh 10 tahun. Tetep semangat :)
ReplyDeleteyap.
Deleteterima kasih.