Tuesday 22 September 2015

Pria Tua dan Hujan



Mataku sesekali menatap sosok pria tua yang duduk di pojokan Cafe ini. Memastikan dia tetap diam di tempatnya dan tidak melakukan hal-hal yang tak semestinya. Sudah hampir dua jam aku berada di sini. Dan selama itu pula dia duduk di sana menyeruput kopinya sambil menatap ke arah luar. Hanya duduk dan meminum kopi memang, tapi aku rasakan aura yang tidak biasa pada sosoknya. Membuatku sangat tidak nyaman.

Aku mencoba sekuatnya mengabaikan kehadiran pria tua itu. Memfokuskan diri pada laptop silver-ku, menyelesaikan artikel yang kutulis untuk kantor. Sebuah tulisan tentang hujan. Tapi tenang saja, aku bukan ingin menulis sajak indah mendayu-dayu melukiskan keindahan kumpulan titik-titik air itu. Lebih kepada analisa ilmiah soal hujan yang tak kunjung membasahi bumi selama berbulan-bulan. 

pria tua hujan rainy hujan
image by rhads.deviantart.com

Sengaja aku memilih mengerjakannya di Cafe ini. Suasananya yang tenang membantuku mengeluarkan ide-ide segar sebagai bahan tulisan. Aku mulai larut pada artikel yang kutulis. Mengetikkan kata demi kata dan sejenak mengambil kesempatan untuk merenggangkan tubuh.

“Harinya panas ya.” tiba-tiba terdengar suara dari arah sebelah kiriku.

Aku menoleh. Astaga! Si pria tua itu sudah berada di dekatku. Menggeret sebuah kursi yang kemudian digunakannya untuk duduk. Tepat di sampingku! Pikiranku langsung melayang ke mana-mana. Untuk apa dia menghampiriku secara tiba-tiba seperti ini? Pasti ada yang tidak beres. Namun aku tak mau berprasangka buruk terlalu jauh. Ini tempat umum, tidak mungkin dia melakukan hal-hal nekat seperti yang terpikir di benakku.

Ia mengenakan kemeja putih yang dipadukan dengan celana panjang berwarna putih pula. Tidak ada satu keanehan pun pada dirinya, namun aku tetap merasa ada yang janggal. Wajahnya mengarah padaku dengan raut datar tanpa ekspresi. Tatapan matanya tajam, dipertegas lewat keriput-keriput di sekitar mata dan pipinya.

“Iya, Pak. Lama tidak hujan sih.” aku coba merespon ucapannya.

“Itu salah satunya.” 
“Omong-omong, kau suka hujan?” tanyanya padaku.

“Tidak terlalu. Tapi untuk kondisi saat ini, jelas aku sangat mengharapkan hujan.”

“Hmm menarik.” ia berkata sambil menyenderkan badan dan melipat tangannya di dada.

“Menarik?”

“Ya, karena orang-orang yang kutanya sebelumnya mengaku sangat menyukai hujan.”

“Kurasa itu wajar. Di mana bagian menariknya?” tanyaku heran.

“Perhatikan ini.” katanya sambil mengisyaratkan agar aku mendekat.

Seperti tersihir, aku hanya bisa menatap lekat-lekat apa yang sedang dilakukan pria tua ini. Memperhatikan ia mulai memejamkan mata sembari menggumamkan sesuatu yang kurang kupahami. Terdengar seperti jampi-jampi atau mantra. Oh, siapa saja tolong bawa aku keluar dari situasi ini. Dari awal aku sudah punya firasat buruk tentang pria tua di sebelahku. Dan akhirnya terbukti lewat tindakannya yang sangat tidak wajar sekarang.

Seiring dengan mulutnya yang komat-kamit, perlahan titik-titik air mulai jatuh menerpa bumi. Lama-kelamaan titik-titik air itu berubah menjadi gerimis dan akhirnya menjelma jadi hujan lebat.  Apa-apaan ini? Adakah kaitan hujan ini dengan perbuatan yang dilakukan pria tua aneh barusan? Kulihat ia masih meneruskan kegiatan anehnya. Gumaman tadi telah berubah menjadi perkataan pelan yang dapat kudengar dengan jelas. Namun tetap gagal kupahami karena ia menggunakan bahasa yang asing bagiku. Pelan-pelan ia membuka matanya, melihat ke arah luar, lalu beralih menatapku.

“Kau lihat wanita itu?” tunjuk si pria tua pada seorang wanita yang sedang tergesa mengeluarkan payungnya.

“Ya. Apa ada yang aneh dengannya?”

“Tadi dia berkata padaku kalau dia sangat menyukai hujan, tapi coba kau lihat sekarang,”
“Dia kini memakai payungnya, menghalangi diri dari sesuatu yang dia sangat sukai. TIdakkah itu cukup aneh buatmu?”

“...” aku terdiam mencoba mencerna perkataan pria tua ini.

“Lalu pria di seberang sana.” tunjuknya lagi pada pria yang sedang meneduh di emperan seberang Cafe.
“Dia juga tadi berkata sangat menyukai hujan. Tapi seperti yang kau lihat, dia malah berlindung dari hujan di balik atap pertokoan itu.” sambungnya lagi.

“Sebentar, kita tidak bisa berpikiran seperti itu, Pak Tua.” 
“Bisa saja mereka masih ada urusan yang harus dikerjakan setelah ini, yang tidak pantas dilakukan dengan pakaian basah kuyup.” kataku coba menanggapi

“Itulah yang kumaskud. Mereka tidak benar-benar menyukai hujan.”

“Barangkali mereka lebih menikmati hujan sebagai fenomena alam, karena menyejukkan dan membuat mereka lebih tentram“
“Lebih menyukai suasana saat hujan, tanpa ingin terlibat di dalamnya”
“Masuk akal bukan?” kataku coba berpendapat.

“Persis.”
“Itu yang sebenarnya ingin aku sampaikan. Mereka tidak sedemikian cintanya pada hujan.”

“...”

“Aku sudah muak pada kenaifan mereka. Mengaku paling mencintai hujan, namun malah berpaling darinya.”

“...” aku hanya diam membiarkannya bicara.

“Kau tahu? Dari jaman dahulu kala, hujan hanya dijadikan komoditi. Dikomersialkan demi mendapat keuntungan semata.”
“Entah itu berupa puisi, sajak, novel, lagu, film, dan tetek bengek kesenian lain. Tidak ada yang benar-benar mencintai hujan.”

“....”

“Mereka lebih pantas disebut penikmat hujan. Bukan pencinta.”

“Penikmat hujan?”

“Ya, penikmat hujan. Dan kuharap kau tidak seperti mereka. Tidak elok menjadikan hujan hanya sebatas objek.”
“Kalau berkata mencintai hujan, cintailah dengan sepenuh hati. Berinteraksilah dengannya”

“Terserah kau saja, Pak Tua.” aku tetap memandang keluar menikmati hujan yang sudah lama tak datang.

Sepi. Tak kudengar lagi ocehan dari pria tua itu. Aku lantas menoleh ke samping kiri mencari keberadaannya. Tidak ada. Dia menghilang! Pria tua itu sudah tidak ada di tempatnya. Cepat sekali dia luput dari penglihatanku.  Mataku melihat ke setiap sudut Cafe ini, namun tak membuahkan hasil. Si pria tua benar-benar lenyap dari pandanganku. Bersamaan dengan kepergiannya, hujan perlahan mulai berhenti, berganti sinar mentari yang muncul malu-malu dari balik awan. Aneh sekali.

Ya, kuharap pria tua aneh itu tidak membaca tulisanku ini. Kalau pun ternyata membaca, setidaknya tadi dia tidak menyebut ‘cerpen’ sebagai hal yang komersil.


Tulisan Lain

No comments:

Post a Comment