Sunday, 30 August 2015

Sepotong Cerita dari Balairung


Jum’at, 28 Agustus 2015

Gue melirik ke arah jam dinding yang tergantung di kamar. Jarum pendek sudah menunjuk ke arah angka dua sekarang. Tanpa pikir panjang, gue bergegas berganti pakaian rumah dengan pakaian yang lebih pantas. Pilihan jatuh pada kemeja lengan panjang kesayangan gue, walau sebenarnya cuaca sore itu sedang panas-panasnya.

Selesai urusan persiapan diri, gue sempatkan untuk mengintip event yang akan didatangi melalui live streaming di Youtube. Keyword yang gue masukkan adalah “Wisuda UI 2015”.


photo by @sayaderri

Yap, gue akan menghadiri acara yang paling ditunggu-tunggu oleh semua mahasiswa; wisuda. Kabar buruknya adalah peran gue sekarang bukan sebagai salah seorang wisudawan, melainkan hanya sebagai orang yang menghadiri wisuda teman-temannya. Target utama jelas si Bos Onta. Beberapa teman yang lain ngga gue niatkan buat ketemu, mengingat pengalaman wisuda sebelumnya yang sangat ramai.

Jam sudah menunjukkan pukul tiga sore sekarang. Gue lalu bersiap untuk berangkat. Berhubung gue mendukung penuh gerakan ramah lingkungan, maka gue memutuskan buat menumpang angkot sampai ke tujuan. Dan memilih spot favorit gue untuk duduk, bangku penumpang sebelah supir. 

Angkot lalu melaju dengan kecepatan fluktuatif sekehendak sang supir. Baru beberapa menit gue mulai merasa kepanasan dan memutuskan untuk menggulung lengan kemeja gue. Ternyata kondisi dalam angkot lumayan panas juga. Asli lah, kalau bukan untuk menghormati Bos Onta, gue juga ogah panas-panas gini pakai kemeja.

Untungnya perjalanan kali ini terhitung lancar. Tak terasa gue sudah sampai di halte Pocin seberang Balairung yang menjadi titik temu dengan geng Kuda. Sayang cuma beberapa Kuda yang bisa datang. Tanpa buang waktu, kami lalu bergerak mencari keberadaan Bos Onta.

Setelah sekian waktu menunggu, gue mulai melihat gerombolan wisudawan satu-persatu mulai keluar dari Balairung. Ada sensasi asing yang gue rasakan. Gue sama sekali ga pernah menyangka bakal seperti ini rasanya saat melihat mereka diwisuda duluan. 

Yang jelas sangat sulit digambarkan. Di satu sisi gue tentu senang melihat mereka bisa lulus tepat waktu. Namun di sisi lain, gue merasa sedikit nyelekit mengingat seharusnya gue berada di antara mereka sebagai seorang wisudawan. Perasaan senang dan nyelekit tadi sepertinya bersatu membentuk rasa haru. Mungkin.

Setidaknya ini menjadi pengalaman berharga dalam hidup gue. Tidak semua orang berkesempatan mengalami hal ini kan? Gue harap rasa nyelekit ini bisa menjadi motivasi buat gue untuk menjalani sisa masa perkuliahan dengan baik.

Gue dan geng Kuda kemudian bergerilya mencari target utama, Bos Onta. Dia ternyata berdiri tak jauh dari pintu keluar Balairung. Tanpa basa-basi gue langsung menghampiri dia.

Gue beranjak mendekati tubuhnya. 
Menatap matanya dalam-dalam.
Mengelus pipinya dengan perlahan.
Kemudian memeluknya dengan erat sambil sesekali mengecup keningnya dengan lembut.

Ya enggak lah.

Bos Onta ternyata sedang menunggu keluarganya yang entah di mana. Jaringan telekomunikasi di sekitar Balairung memang selalu bermasalah tiap kali wisuda. Si Bos Onta pun terlihat kesulitan menghubungi keluarganya. Dia lalu menyuruh kami untuk menuju lapangan rotunda terlebih dulu, kemudian dia akan menyusul. Gue sih setuju aja, karena kan bisa sekalian mencari teman-teman lain yang juga sedang wisuda.

Benar saja, tidak berapa jauh dari posisi ketemu Bos Onta, gue mendapati salah seorang teman wanita gue di Kimia dulu. Secara spontan, gue lantas memberikan ucapan selamat kepadanya disertai sebuah pelukan hangat (dalam khayalan). Lalu disusul teman-teman lain yang juga berasal dari jurusan Kimia. Oh ya, tulisan khusus tentang mereka sudah gue buat beberapa pekan lalu.
Cuplikan:
Selepas gue resign, gue sempat berkali-kali datang ke sana. Terutama saat sedang libur kuliah di kampus gue sekarang. Jadwal kampus gue memang agak unik. Gue baru libur ketika teman-teman di Kimia memulai perkuliahan semester baru. Jadi sering banget gue sempatkan main-main ke sana. Sampai sepertinya mereka bingung melihat gue datang terus.

Terkadang yang kita rindukan bukan tempat atau orangnya, tapi momen yang terjadi bersama mereka di masa lalu. Dengan datang ke sana dan bertukar cerita dengan mereka, gue setidaknya bisa memuaskan rasa rindu dengan suasana yang terjadi empat tahun kemarin. Tentang melewati berbagai kejadian yang membentuk gue menjadi diri gue yang sekarang. Dari sana...

Baca selengkapnya-->
Gue bersama geng Kuda lantas mengitari Balairung dengan binal. Terlalu ramai di sini, tapi tidak menghalangi ketajaman mata kami kala melihat teman-teman lain. Ternyata mereka sudah berkumpul di salah satu sudut Balairung. Sesi foto-foto pun tak terhindarkan. Ya, gue berusaha menguatkan hati untuk bisa berfoto bersama mereka lengkap dengan toga yang mereka pakai. Satu hal itu saja sudah membuat gue bergejolak, ditambah lagi ucapan

“Wisuda kapan lo?” 
“Kapan nyusul Bro?”
“Kerjain skripsi lah, biar cepet pake toga.”
“Semoga cepet lulus ya!”

Dengan raut wajah yang sangat puas dan gembira. Sebenarnya itu merupakan reaksi paling standar yang diberikan dari wisudawan kepada orang yang belum wisuda kaya gue gini. Berhubung suasana hati gue lagi bergejolak, gue merasa tingkah laku mereka itu sangat menyebalkan. 

Tapi mau gimana lagi? Ini adalah hari besar dalam hidup mereka. Wajar jika mereka begitu lepas dan ceria. Gue ngga mungkin melarang orang untuk bergembira di hari besarnya. Gue bisa apa selain ikut bahagia dengan pencapaian mereka?

Setelahnya kami disibukkan dengan misi pencarian Bos Onta (lagi) karena selepas bertemu dengan keluarganya dia pergi entah ke mana. Lapangan rotunda yang berbentuk lingkaran sudah kami kelilingi, namun nihil. Usut punya usut ternyata dia sedang berada di Masjid. Kami lalu menentukan satu tempat sebagai titik temu. Tak lama berselang, kemudian dia datang menampakkan batang. Hidungnya.

Sesi foto bersama dia lalu dilakukan. Kali ini tidak ada lagi perasaan nyelekit. Gue sudah sepenuhnya bisa menerima kondisi ini. Ga mungkin juga lah kalo gue ga ikut bahagia atas kelulusannya.


bahkan outfit gue senada sama toga yang dia pakai
photo by Bos Onta
Sehabis foto-foto, gue lalu melanjutkan penjelajahan seorang diri. Masih penasaran karena ada beberapa orang yang belum gue temui. Kemudian sampailah gue di gerombolan wisudawan yang juga teman-teman SMA gue. Ternyata cukup banyak juga teman-teman lain diwisuda di hari yang sama. Yang datang untuk mengucapkan selamat juga ga kalah banyaknya. Jadilah acara wisuda itu disisipi acara reuni dadakan. 

Sudah bisa ditebak, sebagian besar mereka tetap terlihat pangling dengan penampilan gue, seperti yang pernah gue bahas di sini. Lagi, acara foto-foto. Cukup banyak gambar yang diambil pada waktu itu. Sebagian besar berada di kamera dan ponsel mereka. Dan gue terlalu malas untuk memintanya, bahkan untuk melihatnya saja tidak terpikir.

Lepas dari acara reuni dadakan, gue mengedarkan pandangan ke sekeliling. Orang-orang terlihat beranjak pergi meninggalkan tempat acara. Langit juga sudah mulai gelap tanda malam akan segera datang. Gue memutuskan untuk menyudahi perkelanaan gue di sini. 

Gue berjalan melewati kumpulan wisudawan yang sedang berbahagia. Dalam hati gue terus mendoakan agar semua orang yang diwisuda hari ini dapat diberi kemudahan dalam hidup. Dan berharap apapun fase kehidupan yang dihadapi setelah ini, semoga menjadi langkah maju dalam mencapai masa depan yang lebih baik. 

Semoga.

Gue lalu beranjak pergi.
Bergerak menuju arah pulang melewati sisa-sisa pesta yang baru selesai digelar.


Side Story: Kejantanan yang Terusik
Setelah ketemu bos Onta dan beberapa teman lain, gue berinisiatif buat mengelilingi rotunda. Lumayan juga ternyata, itung-itung olahraga sore lah gue pikir. Di tengah perjalanan, gue lihat ada ibu-ibu penjual bunga. Lalu gue putuskan buat membeli beberapa tangkai bunga dari ibu-ibu itu. Tidak jauh dari sana, gue ketemu salah seorang teman cewek gue saat kuliah di Kimia dulu. Gue kasih lah bunga yang gue beli tadi dan selanjutnya kami masuk ke sesi foto-foto. Beres urusan foto, ternyata dia mengajak gue mengambil mobilnya.

“Bro, temenin gue ngambil mobil yuk.” kata dia saat selesai foto.
“Boleh, parkir di mana emang?”
“Di MIPA. Hehehe.”

Pikiran gue sih ya ke MIPA ga begitu jauh lah dari rotunda. Tapi ternyata baru setengah perjalanan gue udah mulai terengah-engah, mungkin karena faktor umur. Sampai di depan mobil sedannya, dia langsung masuk mengambil posisi di jok pengemudi dan gue duduk manis di sebelahnya sebagai penumpang. Batin gue berontak, ga bisa gini caranya. Masa gue disupirin sama cewek? Tapi berhubung jarak MIPA ke rotunda dekat, jadi gue rasa ga ada masalah.

Lagi-lagi gue salah, nyatanya mulai dari keluar fakultas udah macet total entah sampai mana. Dia juga udah kelihatan capek karena acaranya kan udah mulai dari siang. Sementara macetnya bener-bener ga jelas sampai mana. Akhirnya diambil keputusan untuk motong jalan lewat boulevard. Sialnya, jalan tembus ke rotunda dijaga oleh seorang satpam. Pada mulanya dia mau parkir di boulevard aja, tapi begitu lihat mobil lain bisa lanjut ke rotunda dia pun tertarik buat ikutan.

Sebagai lelaki sejati gue pun menawarkan diri untuk membawa mobilnya sampai ke rotunda, tempat keluarganya menunggu. Masa harus dia lagi yang nyupirin gue? Walau kaki gue juga udah terasa cenat-cenut, tapi gue tetap berlagak yakin. Masalah sepele ini sih, jarak dari sini ke tempat tujuan sangat dekat, paling tiga kali nge-gas juga nyampe.

“Lu yakin mau bawa mobil gue?” tanya dia ketika gue mulai menghidupkan mesin (dengan susah payah).
“Iya lah, deket doang kok ke rotunda. Masa harus lo lagi yang bawa?” jawab gue sok keren.
“Yaudah, tapi hati-hati ya, kopling-nya agak susah.” kata dia dengan agak khawatir.
“Sip. Tenang aja.” lagi-lagi gue menjawab dengan sok keren.

Dalam hati gue berucap, ‘yaelah, ginian mah sepele, bawa Panther segede gaban aja gue lancar.’ Iya lancar, tapi itu dulu. Empat tahun yang lalu. Sebelum kondisi fisik bermasalah

Gue mengambil posisi sempurna mengemudi, lalu menggerakkan perseneling ke posisi ‘R’. Menginjak pedal gas lalu perlahan melonggarkan injakan pada kopling. Dan… wusshhh! Mobil langsung meluncur mundur dengan cepat. Edan lah! Enteng bener ini pedal gas-nya. Setelah gue ingat-ingat lagi, ternyata gue masih memakai sneakers gaul gue yang memiliki sol karet tebal. Pantes aja pedal gas-nya ga berasa. Mobil di belakang dengan sporadis langsung membunyikan klakson keras-keras. Gue sebisa mungkin mengendalikan diri agar tidak panik. Lalu gue putuskan untuk maju lagi ke tempat awal tadi kami parkir.

“Yah, elu sih ragu-ragu tadi” kata dia dengan wajah takut, khawatir, sekaligus bete.
“Astaga, sorry, sorry, gue udah lama ga bawa mobil lagi.” ujar gue pelan.
“Yaudah, sini gue aja deh yang bawa.” kata dia sambil beranjak keluar dari kursi penumpang.

Dan gue kembali disupirin sama dia sampai ke rotunda.

Anjis, mau ditaruh mana muka gue? Niatnya mau mengembalikan harga diri gue yang jatuh, eh malah gue perparah dengan tingkah konyol gue barusan. Rasanya? Ya jelas malu dan tengsin lah! Pake ditanya lagi. Mana sama cewek pula, kalau cowok sih sebodo amat. Ibaratnya pas awal disupirin sama dia harga diri gue udah sampai di titik nol, ditambah kejadian ini maka harga diri gue bergerak turun ke posisi negatif.

Sepanjang perjalanan gue cuma bisa menundukkan kepala menahan malu. Yaelah.

Pesan moral: Jangan menuhankan ego.
Pokoknya jangan.


Tulisan Lain

No comments:

Post a Comment