Wednesday 19 August 2015

Terapi Injeksi


<--Klik di sini untuk tulisan sebelumnya

Posting kali ini niatnya ingin saya beri judul "Bokong yang Tersakiti", namun saya urungkan niat karena malah terlihat seperti headline koran Lampu Hijau. Kenapa bokong? Menurut para petugas Puskesmas, bagian bokong adalah tempat paling ideal untuk dilakukan tindak injeksi secara rutin dalam waktu lama. Bagian ini terlindung dari lapisan lemak yang cukup tebal sebelum bertemu otot. Resiko cedera dan trauma bisa lebih diminimalkan. Saya sih mengiyakan saja.

suntik, streptomisin, streptomycin, suntikan, jarum suntik, TBC, TB paru,

Setelah fix dengan jadwal suntik, saya jadi lebih tenang menjalani kegiatan sehari-hari. Walau tetap saja tidak bisa terlalu malam karena khawatir dengan kondisi fisik para perawat yang sudah lelah seharian bekerja. Khawatir mereka malah menyuntik yang bukan-bukan. Akibatnya, saya berkali-kali bolos kuliah (lagi)  yang terjadwal di sore hari. Salah sendiri mengadakan kelas jam 4 sore. Mahasiswa sehat saja belum tentu mau mengikuti kuliah full dari jam 8 pagi sampai 6 sore. Begitu kira-kira pembenaran saya. Mohon jangan ditiru.

Prosedur penyuntikan ya seperti yang sudah disepakati sebelumnya. Datang, daftar, menunggu antrean, dipanggil, dieksekusi, lalu pulang dengan rasa riang. Eksekusi di lakukan di ruang praktik dokter yang luas. Terdapat dua meja konsultasi yang dibatasi semacam gorden. Tempat eksekusi saya juga berada di ruang tersebut. Hanya tempat tidur pemeriksaan yang juga dibatasi gorden. Seperti yang pernah saya bahas, eksekusi akan dilakukan oleh perawat yang bertugas di hari H.  Dan di sini, jam kerja para perawat bergantung pada shift, jadi mereka berganti orang tiap dua hari sekali. Ini berarti bokong saya akan dijamah secara bergiliran oleh semua perawat yang berada di sini. Well, yeah.

Hari pertama, perawat yang menyuntik masih terlihat muda. Mungkin hanya 2-3 tahun di atas saya. Saya pun bergerak dengan canggung saat itu. Ya, ini merupakan pertama kalinya saya menurunkan celana saya di depan seorang wanita asing. Yang masih muda tentunya, si petugas TB masuk pengecualian karena beliau sudah ibu-ibu. Si perawat hanya tersenyum simpul melihat saya. Entah terpesona karena ketampanan saya, atau karena merasa jijik.

Dia mengenakan sarung tangan karet dan mulai meracik obat ke dalam tabung suntik. Saya mengamati dengan waswas setiap pergerakannya. Tidak selincah si petugas TB memang. Hingga tibalah waktu eksekusi. Saya berbaring tengkurap menanti saat-saat itu tiba. Si perawat mulai meremas-remas bokong saya mencari titik tembak yang ideal. Ada hening sejenak, dia meminta saya agar rileks dan santai menghadapi proses ini. Tak berapa lama terasa ujung jarum yang dingin perlahan menyentuh kulit. Dan.... asdalsfhdfbdsakc^%^b)*dkasfh&*(eofhskdjfhk.

Sakit sekali. Kalau saja saya tidak melihat tulisan 'Harap Tenang' yang tertempel di dinding, mungkin saya sudah berteriak sambil mengayun-ayunkan kepala. Kemudian terdengar suara lembut dia bertanya "Sakit, Mas?". Saya hanya bisa tersenyum kecut. Menurut ngana?

Dalam hal pengalaman menyuntik, saya rasa dia sudah kalah jauh dengan si petugas TB. Ritual si petugas TB sebelum melakukan injeksi adalah memukul-mukul pelan bokong saya terlebih dahulu. Untuk membuat rileks katanya. Saya dulu berpikir ini tak akan berpengaruh banyak karena lemak di sana juga cukup tebal sehingga dapat menyerap rasa sakit. Ternyata saya salah, ketika si perawat muda tadi langsung menyuntik tanpa memukul-mukul pelan bokong saya, sangat jelas perbedaannya. Seketika muncul pertanyaan, bisakah saya menjalani ini selama dua bulan ke depan?

Besoknya, yang mengeksekusi masih perawat yang sama dengan kemarin. Saya meminta kepadanya agar lebih berhati-hati saat menyuntik. Dan penyuntikkan pun dilakukan pada sisi bokong yang lain. Jadi misal hari ini disuntik di bokong kanan, besoknya akan dilakukan di bokong kiri. Begitu seterusnya sampai selesai. Saya juga diberi kartu kontrol yang berisi catatan tanggal dan bagian bokong mana yang disuntik pada hari itu. Kodenya terdiri dari 'boka' dan 'boki'. Saya rasa sudah jelas apa kepanjangannya. Si perawat hanya tersenyum saja mendengar permintaan saya. Kali ini saya lebih bersiap untuk menghadapi kemungkinan terburuk. Sakitnya masih sama saja dengan kemarin, perihnya terasa sampai ke ujung kaki. Tapi berkat persiapan mental, saya bisa lebih tenang menjalaninya.

Selanjutnya, para perawat di sana bergantian melakukan tindak injeksi pada saya. Terhitung sekitar tujuh perawat bergiliran menjamah bokong saya. Awalnya saya kira perawat yang bertugas di sana seluruhnya wanita karena sampai minggu ketiga saya selalu dieksekusi oleh perawat wanita. Namun ternyata pemikiran saya salah. Masuk minggu keempat, ada seorang perawat laki-laki yang mengeksekusi. Perawakannya tidak terlalu tinggi, kekar, dan berkulit gelap. Wajahnya persegi dengan rambut spikey sok gaul yang berkilauan terkena cahaya. Sesekali dia menyeringai ketika menatap saya. Yassalam, cobaan apalagi ini.

Si perawat lelaki ini, seperti perawakannya, mengeksekusi saya dengan cara yang cukup brutal. Dia menjumput sebagian area kulit hingga tertarik ke atas, lalu tanpa tendeng aling-aling langsung menyuntikkan cairan obat. Rasanya tentu lebih buruk dari yang dilakukan para perawat wanita. Perih plus pegal. Ah, kalau saja badannya agak letoy sedikit, sudah pasti langsung saya ajak kelahi di parkiran Puskesmas.

Berminggu-minggu lamanya saya bolak-balik ke Puskesmas, sampai saya menjadi terkenal di antara para perawat. Kalau saya memasuki ruang praktik dokter, saya tak lagi mengantre bersama pasien lain. Namun langsung di suruh berbaring di tempat tidur tempat eksekusi. Kemudian sang perawat langsung menghampiri saya untuk melakukan injeksi. Tempat saya dieksekusi hanya dibatasi gorden tipis berwarna putih yang kadang tersingkap ditiup angin.

Hal itu menyebabkan terkadang ketika saya sedang dieksekusi, ada saja orang-orang yang mengintip. Jelas risih rasanya, karena posisi saya yang sedang menurunkan sebagian celana saya. Dan mengekspos bagian bokong saya yang... begitulah. Kalau orang-orang dewasa mungkin masih bisa saya toleransi. Saat angin menyingkap gorden, biasanya mereka cuma melirik sekilas ke arah saya, lalu langsung mengalihkan pandangan ke arah lain. Bagian paling mengesalkan adalah ketika ada bocah-bocah sialan yang berjumlah cukup banyak di Puskesmas itu. Jika mereka menyadari keadaan saya yang dalam posisi... begitulah, mereka justru menghampiri saya dengan wajah penuh minat. Saya lalu bereaksi.

"Woy anak setan! Ngapain lo ngintip-ngintip?! Pergi sana atau gue pukulin nanti keluarga lo!" saya berteriak dengan keras sambil melemparkan baskom alumunium ke arah kepalanya.

Namun sayangnya kejadian di atas hanya ada dalam lamunan saja. Saya tak sampai hati melakukan itu. Paling saya hanya meminta kepada perawat untuk merapatkan gorden kembali. Dan eksekusi kembali dilanjutkan.

Saat selesai eksekusi, para perawat menyarankan saya agar segera mengompres bekas suntikan dengan handuk yang telah direndam air hangat. Untuk melancarkan peredaran darah serta mengurangi resiko trauma. Ya, di permukaan kulit yang habis disuntik biasanya muncul semacam benjolan kecil sebesar ujung jari. Benjolan itu biasanya akan hilang seiring dikompres dengan air hangat. Walau saya lebih suka dengan air yang agak panas karena lebih efektif.

Lanjut--->

Tulisan Lain

2 comments:

  1. Terimakasih banyak atas kemuliaan hatimu berbagi pengalaman dengan yang lain. Saya saat ini sedang galau dengan kondisi keehatan adik saya yang sedang menjalani therapi suntik TB yang mengeluh pusing 7 keliling. berarti dia harus bersabar, insaAllah pusingnya akan menghilang setelah selesai therapi. insaAllah.

    ReplyDelete
    Replies
    1. Bu kira2 berapa lama adik sembuh dari pusingnya?
      Oya pas pusing itu terjadi awal suntik apa sudah beberapa kali suntik?

      Delete