Sunday 9 August 2015

Hidup Dengan Rheumatoid Arthritis (Mukadimah)

Sesuai janji, saya akan merealisasikan rencana proyek besar yang telah saya wacanakan beberapa minggu lalu. Sebetulnya saya sudah menuliskan hal ini beberapa tahun silam. Cukup lengkap pula. Dari cerita mengenai alur pemeriksaan, hari dan tanggal saat kontrol, nama dokter yang menangani, sampai obat-obatan yang diberikan. Sayangnya, saya dulu belum tertarik untuk menuliskan di blog. Hanya mengendap di file Ms.Word dan akhirnya lenyap tak bersisa saat komputer saya terserang virus. 

Menuliskan kembali catatan itu tentu sulit. Terlalu banyak detail dari cerita itu. Seingat saya, dulu catatan itu terdiri dari 80-an halaman A4, TNR; 12. Selain itu kesulitan lain adalah mengumpulkan niat dan mencari waktu kosong tentunya. Kebetulan sekali dalam waktu 3 minggu ke depan, jadwal kuliah saya agak longgar. Pertengahan September mungkin saya mulai pra-penelitian. Saya berharap agar proyek ini selesai sebelum penelitian.

Saya sepertinya akan membagi catatan ini ke dalam beberapa part. Karena akan terlalu panjang apabila dijadikan satu postingan. Jadi, silakan menikmati.
__o0o__


Rheumatoid Arthritis, rematik artritis, RA, autoimun



2008.
Saya masih menjadi seorang siswa SMP yang polos, lucu, dan menggemaskan. Saya bersekolah di sebuah sekolah favorit di Depok. Ini adalah pertama kali saya merasakan gejala-gejala Rheumatoid Arthritis mulai muncul. Suatu pagi yang cerah, ketika bangun tidur dan bermaksud berjalan ke kamar mandi saya merasakan ada yang aneh di tubuh saya. Di ujung tumit, saya merasakan ada mengganjal saat akan berdiri, lalu rasanya seluruh persendian tubuh kaku dan sulit digerakkan, belum lagi saya merasa agak sedikit pusing. Saya kemudian memijat kepala untuk meredakan pusing, tapi setelah tangan saya menyentuh kening, ternyata terasa agak panas. Di pemikiran saya paling ini cuma demam biasa, nanti juga sembuh sendiri. Saya tak terlalu ambil pusing dan melesat ke kamar mandi untuk menuntaskan hasrat yang terpendam.

Beres semua urusan persiapan diri, saya lalu berangkat ke sekolah dengan menumpang angkot. Sampai di sekolah, rasa aneh di tubuh ini belum hilang juga. Malah bertambah dengan pandangan berkunang-kunang. Saya hanya bisa bersikap senormal mungkin menutupinya. Keadaan itu berlangsung hingga bubaran sekolah. Di rumah pun, saya belum merasa baikan. Praktis, saya hanya bisa tidur seharian.

Esoknya ternyata keadaan belum juga membaik. Rasa kaku dan sedikit nyeri masih terjadi di seluruh persendian, terutama di lutut dan bahu. Benjolan di tumit juga belum menunjukkan tanda-tanda menghilang. Demam yang terasa juga semakin parah. Namun sebagai siswa berdedikasi, saya tetap berangkat ke sekolah. Sederhana saja, hari itu ada pelajaran olahraga. Biarpun badan saya berpostur tinggi gemuk saat SMP, tapi saya suka olahraga, terutama futsal. Sial bagi saya, ternyata hari itu saya tak cukup kuat untuk mengikuti pelajaran olahraga. Jadi saya hanya terduduk di pinggir lapangan melihat teman-teman yang lain.

Masuk hari ketiga, saya sudah tidak tahan lagi. Saya berterus terang atas keadaan saya pada orangtua. Saya diizinkan tidak bersekolah hari itu dan langsung diantarkan menuju tempat praktik dokter langganan. Di klinik, untungnya antrean tidak terlalu panjang. Saya hanya menunggu sekitar 15 menit untuk dapat masuk ke ruang praktik. Sang dokter mengajak saya berbincang sebentar kemudian memeriksa saya dengan seksama. Terakhir beliau memberikan saya resep untuk obat. Saya lalu dipersilakan pulang.

Setelah mengonsumsi obat-obatan tersebut badan saya terasa agak baikan. Di hari ketiga saya mengonsumsi obat, saya bahkan merasa telah sembuh total. Rasa sakit di persendian, benjolan di tumit, dan demam sudah hilang sepenuhnya. Saya pun menjalani hari-hari dengan ceria dan penuh kegembiraan. Sayang, kegembiraan itu tak berlangsung lama. Ketika obatnya habis, gejala-gejala itu muncul lagi. Lalu saya kembali menuju ke klinik dengan ditemani Ibu guna melakukan pemeriksaan ulang. Dokter terlihat agak heran dengan kedatangan saya, karena terhitung belum lama saya terakhir berobat ke sana. Sang dokter lalu melakukan pemeriksaan lagi disertai konsultasi yang agak lama. Saya diberikan obat yang sama dengan kemarin. Dan sang dokter berpesan agar segera kembali kalau gejala itu muncul lagi. Dan benar saja, selepas obatnya habis, gejala itu muncul lagi. Bahkan kali ini ditambah dengan bercak merah di seputar tangan dan lutut.

Saya kembali lagi ke klinik. Dalam 2 minggu saja saya sudah tiga kali bolak-balik ke sana. Dokter pun sepertinya sudah tidak heran lagi melihat kedatangan saya. Di akhir pemeriksaan beliau berbincang cukup serius dengan Ibu yang ketika itu menemani saya.

"Bu, saya sebenarnya sudah curiga ketika kali kedua anak Ibu datang berobat. Sepertinya ini bukan penyakit yang bisa saya tangani karena kapasitas saya hanya dokter umum. Saya akan buat rujukan ke spesialis penyakit dalam di RS Fatm*wati agar ditangani oleh dokter yang lebih kompeten. Jadi untuk saat ini saya tidak akan memberi obat. Silakan nanti melanjutkan pengobatan di sana (RS Fatm*wati)" ucap sang dokter.

Air muka Ibu saya sudah sangat tegang saat itu. Tapi entahlah, saya malah merasa biasa saja dengan ucapan dokter. Saya pikir ya kalau sakit memang harus berobat. Jika si dokter klinik tidak bisa menangani, maka tinggal mencari dokter yang bisa. Simple saja.

Oh iya, sekitar berapa bulan sebelum kejadian ini, saya sempat terkena infeksi herpes dan diberikan berbagai obat oleh dokter yang sama. Tetapi saya tidak mau mengambil kesimpulan bahwa kejadian ini berkaitan.

Singkat cerita, saya kemudian berpindah ke RS Fatm*wati untuk menjalani pengobatan. Untuk selanjutnya saya akan menyebut RS Fatm*wati dengan RSF. Biar lebih efisien. Di RSF saya menggunakan kartu Askes untuk berobat. Kesan pertama saya ketika sampai adalah "Wow, rame banget!".Pasien yang berobat memang sangat ramai. Terhitung mungkin ada ribuan orang termasuk para pengantar pasien. Saya juga ditemani Ayah dan Ibu saat itu. Alur pendaftaran tidak akan saya ceritakan. Jujur saja, saya lupa karena kejadiannya sudah lama dan juga birokrasi agak sulit. Saya lalu duduk di ruang tunggu pasien ditemani orangtua saya. 

Keadaan RSF sungguh tidak representatif sebagai rumah sakit umum daerah. Suara obrolan orang-orang, teriakan dari suster yang memanggil pasien, manusia yang berlalu-lalang, kondisi RS yang agak kumuh. Belum lagi ditambah keadaan saya yang sedang demam dan nyeri di seluruh persendian. Saya tidak terbayang apabila ada orang dengan sakit yang lebih parah dari saya harus menunggu di suasana seperti ini. Apa tidak menjadi lebih sakit? 

Cukup lama saya menunggu. Kalau bisa justru saya ingin menuliskan 'sangat lama'. Bagaimana tidak? Saya mendaftar pukul delapan pagi dan baru dipanggil sekitar pukul satu siang. Lima jam. Tentu bukan hal yang menyenangkan bagi pasien manapun. Di ruang praktik dokter saya mendapati yang menangani saya adalah seorang dokter muda. Saya agak sangsi dengan perawakannya karena terlihat seperti anak gaul kekinian yang lebih mementingkan penampilan daripada isi otak. Kecurigaan saya terbukti, saya tidak akan menuliskan apa diagnosa beliau. Takut terkena pasal pencemaran nama baik RS. Yang jelas diagnosanya sangat konyol.

Beberapa hari setelah dari RSF saya mengikuti salah satu saran dari dokter muda itu agar memeriksakan diri ke dokter kulit. Masih ingat dengan bercak merah di seputar tangan dan lutut saya? Inilah yang menjadi fokus utama si dokter muda itu. Padahal saya datang dengan keluhan nyeri sendi dan demam.

Saya bergegas menuju ke dokter kulit yang praktik dekat rumah saya. Dia lalu melakukan prosedur standar pemeriksaan pasien dan mengajak saya berbincang. Saya ceritakan semua dari awal dokter umum di klinik sampai ke RSF. Beliau juga anehnya bereaksi hampir sama dengan dokter umum di klinik. Mengatakan agar saya segera kembali ketika merasakan gejala nyeri itu muncul lagi. Saya mulai merasa agak khawatir dengan perkataan sang dokter kulit. Saya keluar dari klinik dengan perasaan campur aduk. Dan sedikit meneteskan air mata sehabis membayar tagihan berobatnya.

Perkataan sang dokter kulit pun terbukti. Saya sempat merasa lebih baik setelah mengonsumsi obat. Dan akhirnya kambuh lagi setelah obatnya habis. Saya kembali lagi ke tempat praktik dokter kulit dengan menyiapkan mental lebih untuk pembayaran nanti. Dokter melihat saya dengan air muka yang tidak tenang. Seperti akan mengucapkan pencerahan yang terpendam selama ini. Lalu tercetuslah sebuah kebenaran yang sudah saya tunggu-tunggu.

Dan dari sinilah petualangan dimulai.
Untuk membaca lanjutannya silakan klik di sini
Tulisan Lain

No comments:

Post a Comment