Friday 14 August 2015

Hidup dengan Rheumatoid Arthritis (Part 1)



Ini merupakan lanjutan dari posting Hidup dengan Rheumatoid Atrhtiris (Mukadimah).
<--Klik di sini untuk membaca tulisan sebelumnya

Rheumatoid Arthritis, rematik artritis, RA, autoimun

Sang dokter kulit menatap saya dengan serius sekarang. Saya tahu beliau tidak sedang bercanda kali ini. Beliau mulai berbicara dengan nada suara yang dalam. Sejenak mencoba mencairkan suasana sembari mencari celah yang tepat untuk mulai masuk ke inti pembicaraan. Setelah beberapa lama, tibalah kami di pokok permasalahan. 

"Dik, saya curiga kamu terserang penyakit yang serius." ujar sang dokter sambil  tetap menatap dalam-dalam mata saya.

"Oh, ya? Penyakit apa Dok?" saya bertanya dengan agak was-was melihat sikap beliau.

"Jadi setelah melihat catatan medis, kondisi badan, dan keluhannya, saya rasa kamu mengidap penyakit..." sang dokter memberikan jeda sejenak sambil melihat-lihat status rekam medik saya.


"Ya, Dok?" 

"Lupus." kata sang dokter. 
Jengjeng! Penyakit apa lagi ini?

"Lupus itu penyakit menahun yang disebabkan sistem autoimun yang aktif menyerang tubuh dari inangnya sendiri." ucap sang dokter yang sepertinya memahami wajah bingung saya.

"Saya masih ngga paham Dok." ujar saya. 

"Ibaratnya tubuh kamu kan punya pasukan tentara yang menjaga tubuh dari serangan berbagai virus, kuman, bakteri, dan benda asing lainnya. Nah, dalam kondisi ini sang tentara justru menyerang tubuh kamu sendiri. Secara umum memang seluruh tubuh kamu terkena. Namun seringnya ada bagian spesifik yang lebih dominan diserang. Sehingga biasanya ada penyebutan nama organ yang dominan diserang setelahnya. Misal; lupus ginjal, lupus paru, lupus jantung, lupus kulit, dan sebagainya. Gejala awalnya ya seperti yang terjadi di kamu. Nyeri sendi,  pusing, demam, cepat lelah, muncul benjolan di permukaan tubuh, bercak merah, dan banyak lainnya. Makanya penyakit ini sering disebut 'penyakit 1000 wajah' karena gejalanya sangat banyak dan bisa menyerupai gejala penyakit lain." jelas sang dokter.

"............................" saya hanya bisa menyimak sambil mengangguk-angguk.

"Bagian yang paling saya khawatirkan adalah..." sang dokter menghela nafas sejenak.
"... penyakit ini sampai sekarang belum bisa disembuhkan. Penyakit ini akan terus menggerogoti tubuh kamu secara bertahap. Seumur hidup."

Tidak bisa disembuhkan?
Seumur hidup?
Well, yeah.

"Tapi yaa seperti yang saya bilang, karena ini penyakit '1000 wajah' maka saya belum bisa memastikan apa kamu terserang atau tidak. Harus ada tes laboratorium lanjutan untuk lebih meyakinkan. Dan selanjutnya, saya sangat menyarankan kamu melanjutkan pengobatan di dokter spesialis penyakit dalam. Kamu bisa coba ke RSF agar lebih pasti." kata sang dokter sambil memberi penekanan saat berucap 'sangat menyarankan'.

"Ya, Dok, saya usahakan agar bisa secepatnya ke sana."

Percakapan di atas tentulah tidak seratus persen sama dengan yang terjadi saat itu, Saya hanya bisa mengingat inti dari pembicaraannya kemudian saya improvisasikan agar lebih jelas alurnya. Ditambah sedikit dramatisasi. Karena pada kenyataannya, saya justru cengar-cengir saja mendengar saya terkena penyakit yang belum bisa disembuhkan. Tidak tahu mengapa. Mungkin ada bagian otak saya yang sudah diserang.

Saya telah melewati fase berobat-sembuh-habis obat-kambuh sebanyak beberapa kali. Terakhir adalah ketika lepas obat dari dokter kulit tadi. Yang saya rasa setelahnya justru penyakit ini semakin parah. Demam yang menyerang memang relatif turun suhunya, namun bisa berhari-hari tidak reda. Rasa kaku di persendian berubah menjadi nyeri dan pegal, yang menyebabkan persendian saya tidak dapat bergerak dengan normal. Benjolan di kulit hilang timbul di sepanjang permukaan kulit. Kadang di dekat sikut, di tumit, di bawah jari kaki, bahkan pernah muncul di dahi bagian tengah. Tapi tetap saja yang terasa cukup mengganggu adalah sakit di persendian karena berperan besar dalam mobilitas harian.

Cara berjalan saya juga agak aneh karena harus menahan rasa sakit di kaki. Semua pergerakan jadi terasa menyakitkan untuk saya. Jika saat itu ada pertanyaan tentang hal tersulit apa yang ada dalam hidup, maka saya akan menjawab; jongkok. Silakan tertawa kalau sekiranya ini lucu. Tapi saya benar-benar kesulitan untuk sekadar jongkok. Berat seluruh tubuh sebagian besar tertumpu di lutut ketika jongkok, dengan kondisi lutut normal  mungkin hanya akan merasakan kesemutan. Tapi dengan lutut yang bermasalah, itu bagaikan mimpi buruk.

Jari-jari tangan saya juga jadi terbatas pergerakannya. Saya tidak dapat menggenggam sesuatu dengan erat. Seiring waktu (sampai hari ini) kondisi jari tangan saya sudah tidak bisa diluruskan lagi. Tidak bisa direntangkan, juga tidak bisa dikepalkan. Hingga melakukan hal kecil seperti membuka tutup botol saja saya kesulitan.

Bagian paling mengesalkan adalah saya jadi tidak nyaman ketika melaksanakan Sholat. Sulit karena Sholat merupakan ritual rutin yang membutuhkan banyak pergerakan. Terutama ketika duduk di antara dua sujud. Ini merupakan salah satu gerakan yang menyerupai posisi orang saat duduk bersimpuh. Bisa dibayangkan dengan kondisi lutut saya yang nyeri dan tidak bisa menekuk dengan normal, saya harus tetap berada dalam posisi duduk bersimpuh. Di mana lutut dipaksa ada di keadaan menekuk maksimal 180 derajat sehingga bagian tumit menyatu dengan bokong. Memang harus dicoba sendiri agar tahu sensasinya.

Hal lain adalah demam yang tidak kunjung reda. Tahu rasanya terserang demam? Badan menggigil, lemas, dan sakit kepala. Itu yang saya rasakan setiap harinya selama berbulan-bulan. Every. Single. Day. Tapi anehnya suhu tubuh di sekitar persendian terasa lebih panas. Terutama persendian besar seperti lutut, sikut, ankle, dan bahu. 

Lalu benjolan di tumit yang terkadang muncul. Agar lebih bisa membayangkan, anda boleh melakukan eksperimen dengan menyelipkan karet penghapus di bagian tumit alas kaki anda, kemudian cobalah berjalan dengan normal. Tidak nyaman bukan? Tak hanya itu, keadaan tubuh saat berjalan pun menjadi condong ke depan agar mengurangi rasa tak nyaman itu. Ini salah satu penyebab postur tubuh saya menjadi agak bungkuk.

Itu adalah beberapa hal yang paling menonjol dari sekian macam gejala yang muncul. Dan sampai saat berminggu-minggu setelah dari dokter kulit, saya belum juga ke RSF untuk melakukan pemeriksaan. Karena saya telah duduk di kelas 9 (sebutan gaul kelas 3 SMP) saat itu. Yang berarti akan menjalani Ujian Nasional. Saya memutuskan untuk menunda pengobatan dan lebih fokus belajar menghadapi UN. Walau dengan kondisi tubuh porak-poranda. 

Tibalah waktunya Ujian Nasional. Keadaan saya tak cukup baik sebenarnya. Ditambah lagi dengan perasaan cemas menghadapi soal-soal ujian nanti. Saya memasuki kawasan sekolah dengan tertatih-tatih. Terlihat banyak petugas dari kepolisian berjaga di sekitar sekolah. Jelas ini membuat saya semakin tidak tenang.

Bel tanda dimulainya rangkaian ujian dimulai. Saya beranjak menuju kelas dan duduk di tempat yang sudah disediakan. Tak berapa lama soal dibagikan. Saya menatap soal lekat-lekat. Sial. Huruf-huruf di lembaran soal terlihat berbayang di mata saya. Sejujurnya soal-soal tersebut tidaklah terlalu sulit. Semua sudah pernah diajarkan oleh guru saya ketika persiapan kemarin. Saya lebih khawatir pada masalah non-teknis. Terutama saat pengisian LJK. Pandangan yang agak kabur berisiko membuat saya salah melihat opsi jawaban. Lalu jari tangan saya yang kaku menyulitkan saat saya menghitamkan jawaban.

Selama beberapa hari (seingat saya  tiga hari) akhirnya rangkaian Ujian Nasional selesai. Kini kegiatan belajar-mengajar di sekolah sudah bisa dikatakan selesai. Saya tinggal menunggu hasil ujian keluar dan melakukan persiapan masuk ke SMA favorit. Otomatis, banyak waktu senggang di sini, kurang lebih selama dua bulan. Dan kesempatan itulah yang saya gunakan untuk melakukan pencarian informasi tentang penyakit saya. Keluar masuk rumah sakit bukan menjadi hal asing dalam kurun waktu dua bulan itu
Tulisan Lain

No comments:

Post a Comment