Friday, 21 August 2015

Hidup dengan Rheumatoid Arthritis (Part 2)


<--Klik untuk kisah sebelumnya

Dalam dua bulan itu, saya lebih memfokuskan diri untuk melanjutkan pengobatan di RSF. Mengantre sudah barang tentu terjadi karena jumlah pasien yang sangat banyak. Waktu yang dibutuhkan untuk melakukan sekali kunjungan bisa mencapai enam jam. Dihitung mulai berangkat dari rumah hingga akhirnya sampai ke rumah lagi. Bahkan bisa lebih. Saya bisa maklum karena saya masih menggunakan kartu Askes jatah orangtua saya yang PNS.

Rheumatoid Arthritis, rematik artritis, RA, autoimun, kesehatan


Saya biasanya berangkat dari rumah pukul tujuh, kurang dari itu kondisi jalanan masih penuh dengan orang berangkat kerja dan juga para siswa yang menuju sekolah. Sedangkan jika lewat, maka dipastikan bisa mendapat nomor antrean yang besar. Lalu sampai sekitar pukul delapan. Di sana, seperti biasa, sudah ramai dipenuhi orang-orang yang akan berobat.
Dari awal saya sudah mengantre untuk mendapatkan nomor pendaftaran. Waktu di sini biasanya habis sekitar setengah jam. Setelah mendaftar adalah bagian menunggu untuk masuk ke ruang praktik. Di sini, setahu saya, sudah tidak ada poli umum. Langsung ke bagian-bagian yang lebih spesifik sesuai spesialisasi dokter. Poli yang paling ramai pasien adalah poli penyakit dalam, jantung, dan paru-paru. Poli penyakit dalam bahkan mengambil hampir seluruh ruang periksa dalam satu lantai.

Mekanismenya adalah; pasien mendaftar dengan menyertakan berkas-berkas yang diperlukan.Yang terdiri dari kartu Askes, surat rujukan Puskesmas, fotokopi KTP, dan ada beberapa lagi yang sudah saya lupa. Setelahnya dari pendaftaran mendapat suatu berkas lagi untuk diserahkan kepada perawat jaga di Poli. Dari sana kita akan menunggu di tempat yang sudah disediakan. Zaman masih menggunakan Askes dulu, saya biasanya menunggu sekitar dua sampai tiga jam. Tidak tahu kalau sekarang, kemungkinan semakin lama. Lalu nama kita akan dipanggil oleh perawat yang berjaga. Sekadar tips, anda jangan sampai terlewat atau tidak mendengar ketika nama anda dipanggil. Resikonya besar. Kuping anda bisa berdengung kala mendengarkan ocehan perawat.

Para perawat di sini memang sebagian besar judes bin jutek. Saya rasa orang sekelas Ahok saja akan langsung jinak jika harus berurusan dengan para perawat itu. Menurut saya itu hal yang wajar, walau tidak bisa dibenarkan. Suasana rumah sakit memang terlalu ramai. Keramaian yang semrawut. Hal ini tentu memicu siapa saja untuk melepas hormon adrenalin lebih banyak. Akibatnya stress. Terlebih, mereka menjalani ini setiap hari bertahun-tahun lamanya. Walau, seperti yang saya bilang, hal ini tidak bisa dibiarkan berlarut-larut. Mayoritas pasien adalah para orang-orang tua yang memiliki penyakit-penyakit akut. Akan berbahaya jika penderitaan mereka diperparah dengan omelan para perawat.

Dokter penyakit dalam yang praktik dalam satu hari bisa mencapai sepuluh orang. Disebar dalam sepuluh ruangan terpisah dalam satu lantai. Banyak? Jangan heran karena pasien yang berobat bisa mencapai 400 orang dalam sehari. Ketika dibagi sesuai jumlah dokter, ujung-ujungnya jadi sama saja. Dan kita tidak bisa memilih pada dokter siapa kita akan ditangani. Karena semua tergantung dari nomor urut kita. Terkecuali anda menyelipkan 'salam tempel' pada perawat. Lalu biarkan mereka mengatur nomor sehingga anda bisa ditangani dokter idaman. Saya sendiri, jujur saja, sudah lupa dengan dokter yang menangani saya selama itu. Mulai dari dokter tua, muda, pria, wanita, botak, cepak, gondrong, baik, judes, dan segala macam sudah saya temui.

Para dokter juga sepertinya tidak terlalu fokus saat melakukan pemeriksaan. Saya pernah mendengarkan cerita satu dokter, mereka tak akan membuang waktu terlalu lama di situ, istilahnya 'kejar setoran'. Bagaimana pun cara agar mereka bisa menyelesaikannya secepat mungkin, karena mereka juga memiliki jadwal praktik di rumah sakit swasta yang bayarannya sungguh lumayan. Ya, agak miris mendengarnya. Saya bisa apa selain memaklumi? Memaklumi bahwa dokter adalah sebuah profesi, bukan dedikasi. 

Sang dokter biasanya melakukan pemeriksaan standar, lalu menuliskan resep obat. Setelahnya saya menuju bagian farmasi untuk mengambil obat. Di bagian farmasi juga berkasnya harus lengkap karena semua obat dari sini gratis. Semua berkas mulai dari saat pendaftaran hingga ke resep itu sendiri harus tersedia. Di tempat ini kesabaran kembali diuji . Karena semua pasien dari semua dokter dan poli akan bermuara di sini. Terbayang ramai dan semrawutnya? Waktu di sini bisa habis sejam lebih. Kadang orangtua saya mengecek dulu obatnya. Apabila tidak terlalu mahal, lebih baik ditebus sendiri di apotek lain. Daripada menghabiskan waktu dan energi dengan sia-sia.

Rutinitas ini saya jalani selama dua bulan di sela waktu kosong setelah lulus SMP. Saya putuskan untuk disingkat saja karena tak ada kejadian yang berarti selama dua bulan itu. Progress perbaikan juga tidak tampak sama sekali. Kasarnya, saya hanya mendapat capek dan stress saja selama mencari pencerahan atas penyakit saya.

Di tengah suasana tidak menentu tersebut saya harus menambah beban pikiran saya. Karena pengumuman hasil UN sudah di depan mata. Zaman itu nilai UN SMP seratus persen dipakai untuk melanjutkan masuk ke SMA. Murni, tidak diakumulasikan dengan nilai ujian sekolah. Berapapun nilai yang muncul akan dijadikan acuan untuk penetapan ranking di SMA tujuan. Perasaan khawatir jelas mendominasi, karena dulu saya mengerjakan soal UN dalam kondisi tubuh yang kurang fit.

Saya menuju sekolah dengan perasaan was-was. Di halaman, teman-teman saya sedang bergerombol menunggu pidato dari kepala sekolah. Tak lama setelahnya sang kepala sekolah tiba dan mulai memberikan sambutan. Satu-satunya bagian yang saya ingat adalah ketika beliau menyatakan bahwa sekolah kami lulus seratus persen. Seluruh murid langsung bersorak-sorai kegirangan. Saya juga, awalnya. Setelahnya saya tetap saja merasa tegang mengingat nilai inilah yang akan menjadi tiket saya melanjutkan sekolah.

Selesai sambutan, para murid dipersilakan masuk ke kelas masing-masing untuk pembagian hasil UN. Saya menunggu dengan perasaan gelisah. Sampai mendekati akhir, nama saya baru dipanggil. Saya kemudian berjalan menuju meja guru dan duduk di kursi yang telah disediakan.  Wali kelas saya menatap wajah saya dengan pandangan yang sulit dijelaskan. Lalu beliau menyerahkan selembar amplop kepada saya. Saya buka perlahan, mengeluarkan kertas di dalamnya sedikit demi sedikit. Saya baca dengan seksama tulisan yang berbunyi "Maaf Anda Belum Beruntung". Oke, sorry. Tulisan yang tertera adalah "LULUS" yang di bawahnya tertulis rangkuman nilai murni UN. Saya lalu melihat dengan teliti nilai-nilai yang tertulis. Nilai total 35,5 dari empat pelajaran. Berarti rataan nilai saya berkisar di angka 8,8. Sudah terbilang cukup untuk masuk SMA favorit di sini.

Melompat jauh ke masa awal-awal saya masuk SMA. Saya akhirnya diterima di sekolah yang sesuai keinginan saya. Berhasil menyingkirkan ribuan orang lainnya. Bahkan saya masuk di kelas unggulan karena bertengger di peringkat 40 teratas. Saya mulai menjalani kegiatan sekolah. Bagian MOS (masa orientasi siswa) saya lewat saja karena berjalan selayaknya MOS pada zaman itu.

Permasalahan yang muncul setelahnya adalah saya tidak bisa lagi melanjutkan pengobatan di RSF karena jika menggunakan Askes, layanan cuma tersedia di pagi hari. Sedangkan saya harus bersekolah dari pagi hingga sore tiap Senin-Jumat. Setelah berunding dengan Ayah saya, akhirnya diambil keputusan bahwa saya akan tetap melanjutkan pengobatan di RSF, namun di layanan swastanya yang tersedia di hari Sabtu. Saya sih oke-oke saja.

Dari sini saya bertemu dengan seorang dokter, sebut saja dr.Mar. Beliau berperan cukup penting dalam perjalanan saya mencari pencerahan ini. Silakan menanti.

Tulisan Lain

6 comments:

  1. Boleh minta kontak nya kak. Untuk sharing penyakit RA ini ..

    ReplyDelete
    Replies
    1. Hi, maaf baru baca komentarnya.

      Untuk menghubungi saya, silakan lewat email saja ya di azharyridwan(at)gmail(dot)com. Terima kasih.

      Delete
  2. Anak sy menderita ra jg, sdh 6 bln berobat di rematologi makassar blm ada kemajuan. Bisa minta informasi ttg pengalaman adik dokter yg direkomen. Terima kasih

    ReplyDelete
    Replies
    1. Dokter spesialis rematologi sudah sesuai kok Pak/Bu.

      Delete
  3. Anak sy menderita ra jg, sdh 6 bln berobat di rematologi makassar blm ada kemajuan. Bisa minta informasi ttg pengalaman adik dokter yg direkomen. Terima kasih

    ReplyDelete
  4. Anak sy menderita ra jg, sdh 6 bln berobat di rematologi makassar blm ada kemajuan. Bisa minta informasi ttg pengalaman adik dokter yg direkomen. Terima kasih

    ReplyDelete