Suatu sore beberapa pekan lalu, gue iseng-iseng main ke MIPA. Sepi sih emang, karena mungkin lagi ga ada KBM. Gue liat ada sekelompok anak berjaket kuning berseliweran di sekitar DPR. Tebakan gue sih paling mereka panitia Ospek. Gue lalu duduk sejenak di bangku semen di bawah pohon rindang sambil memerhatikan kegiatan mereka. Menikmati angin sore yang saat itu berembus dengan menenangkan. Membelai permukaan kulit dengan lembut. Cahaya matahari muncul dengan hangat dari balik dedaunan pohon tempat gue berteduh. Gue menyenderkan badan ke belakang dan bersikap sesantai mungkin meresapi suasana ini.
Dari tempat gue duduk, hampir semua bangunan yang ada di sini bisa terlihat. Tapi pandangan gue terpaku ke gedung B yang tepat berada di hadapan gue. Ada sisa-sisa material bangunan di sana. Entah apa yang sedang terjadi, namun sepertinya ada pekerjaan konstruksi yang sedang berjalan. Tanpa gue sadari, gue perlahan berdiri dan bergerak menuju ke arah gedung B. Gue berjalan menuju ruang B101 yang berada di bagian paling bawah gedung. Dengan tetap berhati-hati karena ada semacam beton-beton besar tergeletak di sekitarnya. Gue melongok sejenak ke dalam dan terlihat kosong di sana. Ah, sudah empat tahun rupanya.
Gue pernah baca suatu artikel. Para ilmuwan mengungkap bahwa semua tempat memiliki suatu energi metafisik yang unik bergantung dari subjek yang hadir di sana. Jika kita pernah datang ke suatu tempat, lalu pergi untuk waktu lama dan kembali lagi di lain hari, maka frekuensi energi metafisik di tempat itu akan beresonansi dengan frekuensi otak kita. Menarik kembali memori tentang kejadian di tempat itu yang terjadi pada masa lalu. Gue rasa semua orang juga pasti mengalami ini walaupun secara ga sadar.
Empat tahun lalu, ruang B101 adalah ruangan pertama yang gue masuki di fakultas ini. Seingat gue sih untuk briefing Ospek. Melongok ke dalam sekali lagi, dan seolah-olah gue dapat melihat sosok gue empat tahun lalu sedang memperhatikan pengarahan dari panitia. Seolah melihat sosok teman-teman gue yang masih lugu dan polos mengikuti alur kegiatan Ospek Fakultas waktu itu. Ngga terasa gue malah melamun dan tersenyum sendiri mengingat itu semua.
Gue lantas bergerak menuju ke lantai atas untuk melihat keadaan. Tidak ada perubahan signifikan. Di lantai dua terdiri dari empat kelas. Setiap kelas diberi jatah ruangan besar dengan kontur bertingkat dan berundak-undak, seperti bangunan kelas kampus yang sering kita lihat di televisi. Dinding yang terlihat tak banyak berubah dan ubin kuning yang menyelimuti bagian bawah. Entah memang berwarna kuning atau menguning dimakan usia.
Ada dua tingkat lagi di atas, tapi gue terlalu malas untuk naik. Gue lalu menuju dinding pembatas dan melihat suasana kampus dari atas. Pandangan gue menyapu ke segala arah dan terhenti tepat di gedung Kimia.
Lagi, gue seakan melihat sosok gue dan teman-teman sedang menjalani Ospek. Kali ini Ospek jurusan lebih tepatnya. Rangkaian Ospek inilah yang membuat ikatan kami semakin erat. Bagaimana kami dituntut menyelesaikan persoalan secara bersama-sama. Berkumpul untuk mengerjakan perintilan atribut Ospek. Diteriaki para Komdis karena pelanggaran yang kami lakukan. Meneriakkan yel-yel yang... begitulah.
*********
Lalu terbayang saat-saat gue masih berkuliah di sini. Saat-saat bersama geng Dongo. Yang selalu memilih duduk di kursi barisan belakang pada semua kelas. Geng Dongo sebenarnya terdiri dari kumpulan mahasiswa unggulan, kecuali gue tentu saja. Dan karena didasari rasa kecemburuan intelektual, gue menamai kelompok kami dengan nama Geng Dongo tanpa sepengetahuan mereka.
Pikiran gue beralih membayangkan ruang dalam gedung itu. Di lantai satu gedung Kimia terdapat laboratorium dasar. Seingat gue sih begitu. Tempat gue merasakan satu-satunya ruangan keren di fakultas ini. Saat itu gue merasakan sensasi menjadi peneliti sepenuhnya. Walau tetap aja laporannya selalu gue kerjakan tiga jam sebelum masuk lab.
Di sanalah tempat gue pernah menimba ilmu selama beberapa bulan. Ya, hanya beberapa bulan saja, tapi kenangan yang tertancap begitu dalam. Panjang ceritanya kenapa gue akhirnya resign dari sana.
Selepas gue resign, gue sempat berkali-kali datang ke sana. Terutama saat sedang libur kuliah di kampus gue sekarang. Jadwal kampus gue memang agak unik. Gue baru libur ketika teman-teman di Kimia memulai perkuliahan semester baru. Jadi sering banget gue sempatkan datang ke sana. Sampai sepertinya mereka bingung melihat gue terus-terusan datang.
Karena terkadang yang kita rindukan bukan tempat atau orangnya, tapi momen yang terjadi bersama mereka di masa lalu.
Dengan datang ke sana dan bertukar cerita dengan mereka, gue setidaknya bisa memuaskan rasa rindu dengan suasana yang terjadi empat tahun kemarin. Tentang melewati berbagai kejadian yang membentuk gue menjadi diri gue yang sekarang. Dari sana gue merasakan sepercik semangat yang muncul. Mengingat diri gue pernah menjadi bagian dari mereka. Dan itu cukup membantu gue memotivasi diri untuk menjalani perkuliahan di kampus gue sekarang.
Gedung Fakultas MIPA memang akan terus berdiri kokoh di sana. Kecuali ada peristiwa luar biasa yang terjadi. Gue pun masih tetap akan di Depok setidaknya dua tahun ke depan sampai gue lulus dari kampus yang sekarang. Jarak dari kampus gue ke FMIPA juga ga jauh, Gue bisa aja bolak-balik ke sana setiap hari.
Tapi apakah keadaannya akan sama? Gue rasa tidak.
Karena yang gue cari selama kemarin sering main ke MIPA adalah mereka, teman-teman seangkatan gue di Kimia. Bukan tempatnya. Seperti yang pernah gue bilang, gedung kampus tanpa mereka bagaikan raga tanpa jiwa.
Dan mereka sudah lulus saat ini. Walau belum diwisuda ketika gue menulis ini, tapi secara akademis mereka sudah dinyatakan lulus. Gue turut senang saat mendengar kabar tersebut. Gue sendiri pasti mendoakan yang terbaik untuk mereka. Apapun jalan hidup yang mereka pilih.
*******
Gue tersadar dari lamunan, memandang ke arah langit yang sudah mulai gelap. Gue lalu berjalan menuruni tangga dan menyusuri koridor untuk menuju halte bikun. Tidak banyak orang di halte, terhitung cuma ada gue sama seorang ibu-ibu. Setelah menunggu cukup lama, akhirnya bis kuning yang ditunggu-tunggu muncul juga. Gue dan si ibu-ibu lalu melangkah naik ke dalam bis. Keadaan di bis sama saja dengan di halte tadi. Sepi. Gue lantas mengambil tempat duduk dekat pintu keluar.
Dari balik kaca jendela bis gue menatap gedung FMIPA sekali lagi sambil tersenyum kecil. Kali ini mungkin, dan sangat mungkin akan menjadi kali terakhir. Ga ada lagi alasan kuat untuk kembali menginjakkan kaki di sana. Setidaknya sampai saat ini.
Bis mulai melaju dengan perlahan membawa gue pergi meninggalkan gedung itu dan segala kenangan yang berkaitan tentangnya.
Terima kasih kawan untuk lima bulan yang sangat berkesan.