Friday, 30 December 2016

Waktu Berhenti di Tahun 2000


Hanya dalam hitungan beberapa jam ke depan kita akan segera menyambut tahun yang baru. Ngga berasa ya? Rasanya baru kemarin kita merayakan pergantian tahun, tau-tau sekarang udah mau ganti lagi aja. Entahlah, apa cuma gue atau semua orang juga mengalami hal yang sama. Tapi kayaknya seiring bertambahnya umur, pergantian tahun pun makin terasa begitu cepat.

Dan yang bikin gue makin berasa ‘dewasa’ adalah ketika gue menyadari bahwa di tahun depan dedek-dedek kita yang lahir di tahun 2000 udah pada bisa punya KTP.

Tahun 2000-an sendiri (tanpa sadar) selalu gue jadikan patokan pas lagi mengingat suatu kejadian di masa lampau. Jadi misalnya ada orang yang bilang “Kejadiannya sih sekitar 20 tahun lalu”, maka otak gue bakal langsung membayangkan bahwa kejadian itu terjadi di tahun 1980. Bukan di tahun 1996.

 

Pun kebalikannya. Misalkan ada orang yang bilang “Kejadiannya di tahun 1980”, maka otak gue menganggap itu terjadi dua puluh tahun lalu. Padahal seharusnya kan 36 tahun yang lalu.

Ini juga yang membuat gue merasa punya persepsi aneh sama setiap mahasiswa baru di kampus gue. Soalnya tiap anak yang gue liat profilnya rata-rata adalah kelahiran tahun 1997. Wtf, Men. Di bayangan gue, orang-orang kelahiran tahun 1997 adalah sekumpulan bocah yang masih duduk di tingkat SD atau paling ngga SMP lah. Bukan mahasiswa.

Padahal tahun kelahiran gue juga sebenarnya ngga jauh-jauh amat dari mereka. Paling beda empat tahun doang. Tapi ngga tau kenapa gue selalu menganggap mereka semua masih anak-anak. Pokoknya menurut gue batasnya itu ada di tahun 1995. DI bawah itu ya gue anggap masih bocah.

Persepsi ini juga, sialnya, gue bawa sampe ke lingkungan tempat tinggal dan keluarga. Bocah-bocah tetangga gue yang dulu masih ingusan sekarang udah pada gede. Sekolahnya pun udah di tingkat SMA, ada yang kuliah, bahkan udah ada yang kerja. Tapi tetap aja, di pikiran gue mereka tetaplah anak-anak yang dulu sering gue isengin.

Gitu juga yang terjadi sama sodara-sodara gue. Mereka yang dulu kecilnya suka rusuh dan petakilan, sekarang udah pada gede-gede dan makin kalem. Ngga keliatan lagi jejak-jejak keberingasannya di masa kecil.

Walaupun tetap aja gue kagok tiap gue tanyain umurnya, mereka menjawab “umurnya 20”, tapi “kelahiran tahun 1996”. Umur 20 jelas udah dewasa menurut gue. Tapi kelahiran tahun 1996? Oh, jelas masih anak-anak kalo dilihat dari “persepsi tahun 2000” tadi.

Fenomena ‘berhenti di tahun 2000’ ini emang soal persepsi doang sih. Tapi menurut gue bakal menarik banget kalo sampe dibahas dari segi keilmuan, semisal dari sisi psikologi atau sains. Gue juga penasaran apakah ada penjelasan ilmiahnya atau ini emang murni karena angka 2000 yang terlalu sering dijadikan patokan?
Tapi apapun penjelasannya, yang pasti gue yakin bahwa gue bukanlah satu-satunya orang yang sering mengalami mis-persepsi ini. Soalnya gue tau, generasi 'matang' kayak lo juga pasti mengalami hal yang sama.

Iya kan?

Thursday, 15 December 2016

Tangis Kematian


Aku tak kuasa menolak ketika diharuskan berpindah tugas ke wilayah yang sama sekali asing untukku.

“Tak mudah untuk bisa masuk ke perusahaan ini. Jangan macam-macam, ikuti saja aturannya.” ujar mereka.

Iya, mereka ada benarnya. Memang sulit sekali bagiku untuk bisa masuk ke perusahaan ini dan mencapai posisiku sekarang.

Maka, aku menurut saja ketika perusahaan menugaskanku untuk pindah ke sebuah daerah terpencil. Daerah ini sebenarnya tidak terlalu jauh dari pusat kota, mungkin hanya sekitar dua jam berkendara dengan mobil. Namun, entah mengapa suasananya kurasakan begitu sunyi dan mencekam.




Aku tinggal di sebuah rumah yang sudah disediakan oleh perusahaan. Rumah ini berada dalam sebuah kompleks perumahan yang baru selesai dibangun. Dan terletak di areal hutan yang jarang dimasuki warga. Bagian paling mengesalkannya, rumahku tepat berada di pojok lokasi perumahan. Sehingga berbatasan langsung dengan hutan belantara pada bagian belakang dan samping kirinya.

Seminggu lalu, rekan-rekan kerjaku berinisiatif untuk mengadakan semacam pengajian di rumah ini. Mereka berpendapat bahwa setiap rumah yang dibangun di atas tanah kosong pasti telah ditempati oleh sesuatu. Oleh karenanya, pengajian perlu dilakukan agar para penunggu itu mau pergi. 

Aku sendiri tidak percaya dengan hal-hal konyol semacam itu. Menggelikan.

Saturday, 10 December 2016

Karena Mayoritas, Kita Harus Menindas


Tanpa ada perencanaan sebelumnya, blog ini tiba-tiba kembali kedatangan seorang penulis tamu. Penulis tamu kita kali ini adalah salah seorang blogger yang juga pakar dalam bidang miring. Penasaran seperti apa pemaparannya? Mari langsung saja kita sambut dengan meriah penulis tamu kita; Ustadz Abu Ghasshaq! (kata ‘Ustadz’ bukan merupakan gelar keagamaan, melainkan nama depan -red).

Karena Mayoritas, Kita harus Menindas

Oleh: Ustadz Abu Ghasshaq

sumber
Salam sejahtera.

Halo jemaah sekalian. Ape kabar nih?

Apakah ente sekalian udah merasa lega abis teriak-teriakan di Monas kemarin? Apa ente juga udah merasa semua emosi ente terlampiaskan di sana? Enak ye abis ngata-ngatain satu orang secara kompak bareng sodara seiman? Iya lah.

Siapa suruh itu orang duluan ngata-ngatain kitab suci kita? Ye gak? Pokoknya kalo sampe itu orang lolos, kita jangan sampe berpangku tangan. Kita sendiri yang harus memastikan itu orang gak bakalan lagi berkutik. Bakar! Bakar! Bakar!

Wednesday, 7 December 2016

Aksi Super Damai dan Superioritas Iman



Aksi Super Damai 212
sumber


Kalo gue disuruh menggambarkan pasca aksi super damai 212 lalu dengan satu kata, maka kata itu adalah ‘norak’. Iya, norak. Tapi tolong jangan dipelintir. Yang gue bilang norak adalah kehebohan pasca aksinya. Alias setelah aksi damai itu telah berakhir.

Aksi damainya sendiri berjalan dengan sangat baik. Gue pun mengapresiasi penuh aksi kemarin. Walau cuma melihat dari layar kaca, namun semangat para massa aksi itu terasa sampe ke bulu kuduk gue. Bikin merinding.

Terus kenapa pasca aksinya gue bilang norak?