Gue agak kaget ketika melihat sebuah tayangan di televisi. Saat itu pemandangan yang tersaji adalah sekelompok pengendara ojek online sedang mengacak-acak salah satu mall di Jakarta. Permasalahannya emang lumayan pelik. Salah satu pengendara ojek meninggal ditusuk oleh juru parkir mall tersebut.
Kejadian di mall itu bisa dikatakan brutal abis. Ratusan pengendara ojek berseragam datang berbarengan sambil teriak-teriak ke segala arah. Ada di antara mereka yang berjalan sambil mengacungkan senjata semacam bambu atau balok kayu.
ngeri |
Orang-orang jelas pada panik ngeliat ini gerombolan barbar ini. Yang bawa anak langsung kelimpungan melindungi anak-anaknya. Pemilik toko buru-buru menutup lapak mereka. Nassar KDI tiba-tiba berubah jadi macho.Pengunjung yang lagi pada ngumpul segera membubarkan diri. Iya lah, siapa yang ngga resah ngeliat segerombolan mahluk berjaket hijau datang sambil mengacau.
Tujuan mereka cuma satu, mencari sang juru parkir pencabut nyawa.
Sialnya, ada seseorang yang sempat dikira pelaku pembunuhan. Dia dikerubungi sambil dimaki-maki sama geng ojek barbar tadi. Hampir aja jadi bulan-bulanan massa, tapi untungnya keburu diamankan oleh sekuriti. Plot twist, orang yang dikira pelaku pembunuhan ternyata adalah salah satu keluarga korban. Bodoh sekali.
Di samping kelakuannya yang sungguh bodoh, ada satu hal yang mau gue bahas dari kejadian di atas. Seragam.
Kenapa? Bingung ya? Dari masalah geng ojek kok tiba-tiba nyambung ke seragam. Oke, biar gue jabarkan.
Gue yakin seribu persen gerombolan pengojek itu ngga saling kenal. Kalopun ada paling cuma dua-tiga orang. Tapi kenapa para pengojek itu bisa sebegitu loyalnya membela ‘teman’ mereka? Karena mereka memakai seragam. Ya. Emang apa lagi yang bisa menyatukan orang selain keseragaman?
Tentu seragam yang gue maksud bukan sekadar jaket hijau bertuliskan nama perusahaan. Lebih kepada kata sifat daripada kata benda. ‘Se-ragam’ alias satu ragam, satu macam, satu jenis, dan segala hal lain yang merujuk tentang kesamaan.
Bentuk keseragaman pun bermacam-macam. Ada yang berdasarkan persamaan nasib, daerah, suku, agama, hobi dan lainnya. Kalo dilihat dari kasus tadi, berarti dari kesamaan profesi. Ada juga keseragaman soal melawan musuh yang sama, kayak jaman penjajahan dulu.
Dan yang bikin sedih, sekarang-sekarang ini keseragaman justru malah bikin perpecahan.
Masih teringat gimana panasnya situasi negeri ini saat berlangsungnya pemilihan presiden. Kubu nomor satu dengan safari putihnya dan kubu nomor dua dengan kemeja kotak-kotaknya.
Ini salah satu episode paling ngeselin selama sejarah pilpres. Gue sangat kecewa ngeliat temen-temen gue yang awalnya akrab tiba-tiba berubah jadi sering berdebat kusir karena pilpres kemarin. Sindir-sindiran tiap hari lewat sosial media, membagikan berita hoax dari tim sukses masing-masing, menjelekkan pasangan calon lawan, dan semacamnya. Parahnya, permusuhan ini masih berlangsung sampai sekarang.
Belum lagi soal tawuran pelajar. Masalah tawuran ini juga akar permasalahannya dari seragam. Begitu udah ngumpul di tongkrongan menggunakan seragam, bawaannya mau berantem aja. Merasa paling berkuasa karena berjumlah banyak. Adrenalin terpacu kencang. Lihat anak sekolahan lain lewat langsung diteriakin, Padahal mah cuma lewat doang, ngga ngapa-ngapain.
Cuma gara-gara apa? Ya, perbedaan seragam.
Sebenernya banyak lagi yang lain. Kayak soal suporter bola yang akurnya pas Timnas main doang, Ormas agama yang demen pake setelan putih-putih, atau geng motor yang merasa jagoan karena pake jaket komunitas.
Emang sih di sisi lain se-ragam juga bisa membawa hal positif. Kayak kemarin ketika ada seorang pengendara ojek online yang meninggal ditabrak bis, rekan-rekan sesama pengojek urunan buat membayar uang sekolah anak korban.
Tapi gue tetap menganggap solidaritas itu bersifat semu. Alias sekadar di awang-awang belaka. Oke, mereka emang bahu-membahu membantu keluarga korban. Tau karena apa? Yap, karena mereka memakai seragam yang sama. Terus gimana kalo tanpa seragam itu, apakah mereka bakal tetap membantu?
Gue pribadi lebih yakin sama konsep persatuan daripada keseragaman. Konsep ini sangat keren menurut gue. Karena persatuan bukan cuma melihat dari sisi kesamaan aja, tapi juga bagaimana kita bisa tetap berdampingan walaupun berbeda. Bhineka Tunggal Ika.
Gokil, asik betul ya pemikiran gue. Udah bisa dapat Nobel perdamaian nih harusnya.
Dan metode mempersatukan dengan cara menyeragamkan udah agak kurang relevan. Karena pada dasarnya setiap orang itu berbeda dan unik. Kalopun bisa bersatu karena seragam, ya kayak yang gue bilang tadi. Sifatnya semu. Bukan persatuan yang hakiki. (Anjis, hakiki banget sob bahasanya).
Terakhir, jangan sampai keunikan kita dibatasi sama embel-embel keseragaman lah. Bebaskan diri buat berekspresi. Dobrak batasan-batasan yang dibentuk sama lingkungan. Salah bukan masalah. Berbuat, lalu silakan menanggung semua akibat.
Satu lagi, jangan percaya dengan persatuan semu karena seragam.
Karena “berseragam” adalah salah paham.
No comments:
Post a Comment