Sunday, 20 December 2015

Ocehan tentang BPJS Kesehatan


BPJS Kesehatan.

Gue yakin kalian udah pada tau kepanjangan dari BPJS Kesehatan. Iya kan? Tapi gue juga yakin mayoritas dari kalian belum pernah menggunakan layanan ini secara intens. Beda sama gue yang hampir tiap bulan memanfaatkan BPJS Kesehatan *bangga*.

Oke, sebagai satu-satunya anak muda pengguna rutin  BPJS Kesehatan, gue akan coba membahas seputar BUMN yang satu ini. Anyway, biar ngga ribet nulisnya dan kalian ngga capek bacanya, istilah “BPJS Kesehatan” bakal gue singkat jadi “BPJS” aja ya.


BPJS Kesehatan askes bpjs


Semua info yang akan dibaca adalah hasil perbincangan gue sama berbagai kalangan, mulai dari petugas BPJS, orang Puskesmas, admin RS, dokter, perawat, kasir, apoteker sampe pasien BPJS lain. Kalo emang ada yang salah atau ada revisi peraturan bisa hubungi gue lewat kontak yang tersedia.

Baiklah, mari kita mulai.

Secara kasar, BPJS ini adalah perusahaan asuransi di bidang kesehatan, tapi plat merah alias punya pemerintah. Mekanisme pengajuannya sama aja kayak perusahaan asuransi sejenis. Bedanya adalah birokrasinya sangat berbelit-belit. Tipikal plat merah banget.

Kalo penasaran, kalian bisa langsung liat aja ke situs resminya. Karena persyaratannya lumayan banyak. Apalagi setelah kemarin agak ricuh sama MUI, sepertinya BPJS mengubah lagi prosedur pendaftarannya.

Sehabis daftar ya semua berjalan kayak asuransi pada umumnya, kita harus membayar premi tiap bulan. Tapi biayanya emang ngga begitu besar dibanding perusahaan asuransi lain. Maklum, plat merah.

Sayangnya, masalah pembayaran premi ini ternyata belum disosialisasikan dengan baik oleh pemerintah. Buktinya kemarin gue sempat menemukan pasien di Puskesmas yang BPJS-nya udah dicabut karena nunggak tiga bulan. Pas ditanya kenapa nunggak, jawabannya adalah “Kan kemaren-kemaren ngga sakit, Tong. Ngapein bayar?”

Tolonglah, pembayaran premi ini WAJIB dilakukan tiap bulan. Baik kita sakit, ataupun sehat wal’afiat. Gue sendiri karena hitungannya masih tanggungan Bokap yang seorang PNS, maka tiap bulan preminya otomatis diambil dari uang gaji beliau. Ini sebenernya udah berjalan dari dulu sih, cuma kan dulu namanya masih Askes.

Dan jujur aja, setelah Askes dilebur dan kemudian muncul BPJS Kesehatan, gue merasakan sendiri kalo dunia per-rumah sakit-an bukannya membaik, tapi malah makin berantakan. Ngga hanya gue, banyak dokter atau staf RS yang juga “curhat” soal hal yang sama.

Permasalahan di BPJS ini emang layaknya lingkaran setan. Satu kejadian mempengaruhi kejadian lain dalam sebuah siklus. Dan menurut dokter yang menangani gue, bibit persoalannya adalah ‘pemaksaan’ dari pemerintah.

Pihak pemerintah ini kayaknya udah ngebet banget mau memberikan pelayanan kesehatan prima sama seluruh warga negaranya. Mereka bahkan membuat satu aturan untuk ‘memaksa’ RS yang dianggap layak buat menerima pasien BPJS. Bukan cuma RS punya pemerintah, tapi juga RS swasta.

Biasanya pihak RS bakal senang ketika ada perusahaan asuransi yang mau bekerja sama dengan mereka, tapi kali ini tidak. Malah ada yang sampe terang-terangan menolak. Kenapa? Karena BPJS malah berpotensi merugikan RS.

Gini, ketika bekerja sama dengan perusahaan asuransi, pihak RS ngga akan meminta biaya pengobatan dari pasien. Sebagai gantinya mereka akan menagih ke perusahaan asuransi yang menanggung pasien tadi. Dan setau gue biayanya ngga beda jauh sama tarif normal yang berlaku di RS tersebut.

Beda ketika harus bekerja sama dengan BPJS. Ambil contoh di RS tempat gue sering berobat, tarif normal konsultasi dokter ada di kisaran 200.000 - 300.000 rupiah. Dari jumlah tersebut tau berapa yang diganti oleh BPJS? Cuma 75.000 rupiah. Itu bahkan ngga ada setengahnya.

Hal yang sama terjadi di bagian farmasi. Kebetulan bagian farmasi di RS tadi punya mekanisme keuangan yang terpisah sama manajemen RS. Farmasi juga mendapatkan uang pengganti yang di bawah standar. Harga obat 100.000 rupiah cuma diganti 50.000 rupiah doang. Validitas datanya emang masih diragukan, tapi gue rasa angka pastinya ngga jauh dari itu.

Kesannya BPJS kok jelek banget ya.

Tapi tunggu dulu,  jangan terlalu berpikiran buruk soal BPJS. Karena di sisi lain, banyak juga pasien yang sangat terbantu oleh kehadirannya. Gue sempet dengar ada seorang pasien kanker ditanggung seluruh pembiayaannya. Mulai dari biaya operasi, kamar, obat, jasa dokter dan lainnya. Dan gue yakin masih banyak pasien lain yang seperti itu.

Soal mereka mengganti biaya pengobatan di bawah standar juga beralasan. Ini semua ternyata karena BPJS dalam kondisi defisit parah. Soalnya masih banyak orang yang menunggak bayar premi. Kayak contoh kasus pasien Puskesmas tadi, dia cuma bayar premi pas sakit doang. Ya pasti bikin rugi lah.

Alasan satu-satunya BPJS masih bisa beroperasi adalah karena dibantu oleh dana talangan pemerintah. Kalo aja ada perusahaan asuransi swasta macam begini, gue yakin di hari ke-lima pasti udah kolaps. Ini salah satu keunggulan BPJS dibanding perusahaan sejenis. Bantuan pemerintah.

Tapi mau sampai kapan?

Tujuan didirikannya badan usaha kan buat cari keuntungan, tapi nyatanya BPJS sendiri udah rugi bandar. Menurut dokter langganan gue, kerugian BPJS menyentuh angka 3 triliun rupiah. Ngga tau deh kalo sekarang.

Menyalahkan para pasien yang menunggak juga kurang bijak. Mayoritas dari mereka adalah warga kurang mampu. Yang mana lebih mementingkan urusan hidup sehari-hari ketimbang bayar premi. Iya lah, perut akan selalu menjadi proiritas.

Jadi gimana dong?

Agak rumit emang mengatasi masalah ini. Dimulai dari ‘anjuran’ pemerintah, lalu masyarakat berbondong-bondong menggunakan layanan BPJS, tapi banyak yang nunggak. BPJS defisit, terus jadi ngga bisa mengganti biaya sesuai standar. Akibatnya RS ikutan rugi dan ngga mampu ngasih pelayanan maksimal. Ujung-ujungnya pasien lagi yang merasakan pahitnya.

Gue sendiri masih belum tau ini akar masalahnya di mana. Soalnya masing-masing pihak emang punya alasan cukup kuat untuk ‘dianggap benar’. Tapi memikirkan siapa yang salah ngga akan menyelesaikan masalah. Yang terpenting itu solusi.

Dan solusi terbaik menurut gue adalah membiarkan ini tetap berjalan, dengan terus melakukan perbaikan di sana sini. Gue udah melihat satu inisiatif baik dari pemerintah. Mungkin emang harus kayak gini jalannya. Istilahnya learning by doing. Karena kalo cuma direncanakan aja ngga bakal kejadian.

Pemerintah udah lumayan berani buat membangun sistem sebesar ini. Tinggal menambal yang kurang-kurang aja. Misal dengan menolak pasien dengan keluhan minimal. Sehingga bisa menekan biaya operasional.

Soalnya gue pernah ketemu pasien datang ke UGD cuma gara-gara jarinya teriris pisau. Lukanya juga cuma gores dikit doang.  Apa banget. Tapi ya positif thinking aja, mungkin dia mengidap hemofilia jadi lukanya susah kering.

Atau bisa juga pemerintah proaktif melakukan sosialisasi agar para pasien bisa tertib membayar premi. Sekaligus menjelaskan bahwa ngga semua ‘kasus’ harus ditangani di RS.

Itu cuma contoh kecil solusi yang bisa dilakukan. Gue rasa sih orang internal BPJS pasti lebih tau permasalahan di tempatnya. Jadi mudah-mudahan sistem ini bisa membaik. Soal kapan sistem ini menjadi matang dan menjanjikan, gue juga ngga tau.

Mari kita bertanya pada biduan yang bergoyang.


Tulisan Lain

No comments:

Post a Comment