Nanti berangkat jam berapa?
Sebuah chat masuk dari Bos Onta ketika gue baru aja sampai di rumah. Gue melirik ke arah jam tangan gue. Jam satu. Terlalu cepat kalo pergi jam-jam segini. Lagian perjalanan siang bakalan kurang bersahabat, mengingat terik matahari yang menyengat. Setelah gue pikirin masak-masak, gue lantas membalas chat dari Bos Onta.
Jam tiga aja, Bos. Ketemu di Plaza Depok yak.
Oke
Rabu, 4 November 2015
Hari itu gue udah janjian sama Bos Onta dan satu orang teman gue lainnya, Harcuk. Kami berencana mengunjungi prosesi wisuda seorang kawan pada keesokan harinya. Sebut saja namanya Pengkang. Wisudanya sendiri diadakan di sebuah kampus negeri di daerah Dipati Ukur, Bandung.
Yap, gue dan dua makhluk mesum itu akan melakukan perjalanan ke Bandung. Tapi berhubung ketiadaan penginapan di Bandung, maka kami menuju ke Jatinangor terlebih dulu untuk bermalam di tempat si Otong.
Jujur aja, pas kemarin Bos Onta mengajak gue buat ke Bandung, gue langsung menerima tawaran itu. Alasan utama adalah untuk penyegaran. Sebab belakangan ini kepala gue udah mulai panas mikirin perkuliahan dan masa depan bangsa. Gue butuh piknik agar tetap waras. Bahkan agar lebih menghayati, di perjalanan kali ini gue sengaja ngga membawa HP sendiri, melainkan merampok HP punya adek gue untuk berkomunikasi.
Jam tiga kurang lima menit gue udah berada di Plaza Depok. Celingak-celinguk mencari keberadaan duo mesum itu. Dan sesuai dugaan, mereka telat datang ke lokasi. Bos Onta telat 20 menit dan si Harcuk baru datang jam empat kurang sepuluh. Itu sih bukan telat lagi namanya, tapi brengsek.
Tanpa buang waktu kami lalu berjalan ke arah ke terminal yang terletak persis di seberang Plaza Depok. Menaiki angkot D112 jurusan Depok - Kp Rambutan menuju ke Pasar Rebo. Yap, menurut info yang gue dapat, buat menuju Jatinangor bisa ditempuh dengan menaiki bis ke arah Tasikmalaya atau Garut. Kemudian turun di gerbang keluar tol Cileunyi.
Awalnya kami emang berencana turun di Pasar Rebo, tapi karena keasyikan ngobrol, tujuan utama pun terlewat. Jadinya gue memutuskan naik bis dari Kampung Rambutan aja. Sesampainya di terminal, kami langsung dikerubungi oleh para 'pemandu'.
Gue ngga tahu pasti istilah apa yang lebih tepat buat menggambarkan mereka. Ya intinya kerjaan mereka itu memaksa calon penumpang buat menaiki bis tertentu. Dan setelah kita naik, mereka akan dapat komisi dari kernet bis tersebut. Semacam makelar gitu mungkin ya. Jadi, jangan kaget kalo harus menghadapi mereka. Pokoknya pasang tampang yakin aja.
Sedikit tips, baiknya sebelum naik bis ini, tanya dulu tarifnya sama si kernet. Takutnya kejadian si kernet main tembak harga ketika kita telah duduk manis di dalam.
Setelah dapat kepastian soal harga, kami lalu bergegas menaiki bis. Ngga berapa lama, akhirnya bis mulai bergerak ke luar terminal. Selama bis melaju dari terminal ke jalan raya, banyak banget pedagang asongan yang keluar masuk.
Mereka berjualan apa aja. Paling umum sih menjual cemilan dan minuman. Untuk penumpang yang belum menyiapkan perbekalan, mungkin kehadiran mereka bisa membantu. Kita bisa beli bermacam cemilan pada mereka. Tapi kalo bisa secepatnya, karena begitu bis masuk ke tol, ngga akan ada lagi pedagang yang muncul.
Perjalanan termasuk menyenangkan saat itu. Suasana di tol terlihat lengang. Si supir juga mengendarai bisnya dengan stabil, ngga ugal-ugalan. Untuk mengisi waktu, gue dan dua mahkluk itu melanjutkan obrolan ngga penting yang sempat tertunda. Lalu ketawa-ketawa ngga jelas lagi selama perjalanan.
Hingga gue lihat si Harcuk mulai diam membisu. Dia meringkuk dan menyandarkan kepala ke senderan kursi di depannya.
“Cuk, kenapa lu?” tanya gue.
“Tau nih, badan gue berasa ngga enak.” Harcuk menjawab lirih sambil memejamkan mata.
“Masuk angin kali lu.”
“Ah nggak lah, gue udah makan kok tadi.”
Karena gue lihat mukanya udah asem banget, gue memutuskan untuk ngga melanjutkan obrolan. Takutnya, salah-salah nanti gue malah ditabok sama dia gara-gara kebanyakan nanya. Ngga lama dia mulai menggumam dengan absurd.
“Heemmmm”
“Hhhh”
“Cuk, kenapa lagi lu?”
“Ah sudahlah, gue udah ngga kuat lagi. Kayaknya gue mau mati nih bentar lagi.”
“...”
“Aduh kayaknya gue mau mati nih.”
“Ah, nggak enak banget. Gue mau mati nih.”
“Gue mau mati nih kayaknya.”
“Mati nih.”
Selama lima belas menit, dia terus-terusan ngoceh kayak gitu. Berlebihan banget, anjis. Cuma mabok darat aja sampe segitunya tuh anak. Dan sebagai teman yang baik, gue coba menawarkan permen buat ngurangin rasa mual. Berhasil, dia udah mulai terlihat mesum seperti sedia kala.
Ngga terasa kami udah mau tiba di tempat tujuan. Cukup cepat menurut gue sih. Sekitar dua jam perjalanan doang. Setibanya di Cileunyi, kami turun dan mencoba melihat keadaan sekitar. Daerah sini lumayan ramai juga ternyata. Gue kira masih sepi layaknya desa terpencil. Suhu udaranya pun ngga terlalu dingin kayak gue kira. Cuma sejuk-sejuk aja.
Terus gue segera memberi tahu si Otong kalo kami udah sampai. Otong menginstruksikan supaya kami naik angkot 04 warna cokelat untuk menuju ke kosannya.
Terus gue segera memberi tahu si Otong kalo kami udah sampai. Otong menginstruksikan supaya kami naik angkot 04 warna cokelat untuk menuju ke kosannya.
sumber |
Kami baru sampai di kosan Otong sejam kemudian. Bukan, bukan karena jaraknya jauh. Tapi karena si supir jahanam yang ngetem seenak jidat. Mana abis itu gue ditipu lagi. Ongkos perjalanan jarak dekat aja kena 8000.
Selepas turun angkot, dari kejauhan gue liat si Otong berjalan mendekat. Kami langsung saling ngata-ngatain guna melepaskan kerinduan. Lalu menuju ke kosannya buat menyimpan barang-barang, dan beranjak cari makan malam karena selama perjalanan cuma diisi cemilan doang.
Kelar urusan perut, kami balik ke kosan. Mulai cerita topik perbincangan yang ngga jelas dan ketawa keras-keras lagi. Kalo boleh jujur, gue udah lumayan lama ngga merasakan hal seperti ini. Ya, sekedar ngobrol dan bisa tertawa lepas semalaman.
Di sana gue menyadari satu hal. Untuk bisa menyegarkan pikiran, terkadang yang kita butuh cuma hal-hal seperti ini. Sesederhana bercengkrama semalam suntuk dengan para manusia absurd macam mereka. Kita bisa cerita pengalaman selama ngga ketemu, gosipin temen-temen sekolah dulu, atau saling ngatain satu sama lain.
Sayangnya, hal sederhana seperti itu perlahan menjelma menjadi suatu kemewahan. Karena tiap orang harus menjalani kehidupannya sendiri. Menjalankan rencana hidup yang udah disusun. Mengejar impian masing-masing. Hingga untuk sekadar ketemu aja sulitnya bukan main. Gue sendiri berusaha menikmati saat-saat seperti ini.
Sampai saat kenikmatan itu seketika berakhir ketika gue melihat jam.
Sayangnya, hal sederhana seperti itu perlahan menjelma menjadi suatu kemewahan. Karena tiap orang harus menjalani kehidupannya sendiri. Menjalankan rencana hidup yang udah disusun. Mengejar impian masing-masing. Hingga untuk sekadar ketemu aja sulitnya bukan main. Gue sendiri berusaha menikmati saat-saat seperti ini.
Sampai saat kenikmatan itu seketika berakhir ketika gue melihat jam.
No comments:
Post a Comment