Sunday 8 November 2015

Bertafakur di Dipati Ukur


<---Cerita sebelumnya

Anjis, udah jam tiga pagi.

Padahal wisuda si Pengkang bakal berlangsung di pagi hari. Bisa gawat nih kalo telat datang dan ngga ketemu sama dia. Soalnya itu merupakan salah satu agenda wajib kehadiran kami di Bandung. Lalu akhirnya gue berusaha keras untuk tidur, tapi tetap aja sulit.


Kamar si Otong emang bukan didesain buat kapasitas empat orang. Ini menjadi satu kesulitan tersendiri. Ya, menentukan posisi tidur. Tapi berhubung gue lumayan ahli dalam bidang penempatan ruang, maka gue ditugaskan untuk mengatur posisi tidur.

Tentunya ngga gue sia-siakan kesempatan ini. Gue secara sepihak langsung meng-klaim tempat di kasur. Berdua sama Harcuk. Sedangkan Bos Onta dan si Otong tidur di lantai dengan beralaskan selimut dan sajadah. Nggak tega sih sebenernya, Otong sang pemilik kamar malah harus tidur di lantai. Maap yak, Tong.


Beres urusan posisi tidur, ternyata belum menyelesaikan masalah. Dalam posisi udah berbaring, gue dan mereka masih aja melanjutkan obrolan ngga penting. Dan ujung-ujungnya baru beneran tidur setelah shalat Subuh. 

Gue bangun sekitar jam setengah delapan. Untungnya ketiga makhluk lain juga udah bangun. Kami lalu sepakat buat mencari sarapan di sekitaran gerbang Unpad. Gue sih iya-iya aja. Makan di mana aja ngga masalah kalo udah lapar.

Lalu berangkat lah kami dengan modal cuci muka doang. Baju aja belum diganti dari kemarin. Mata gue masih berasa sepet banget itu. Maklum baru tidur beberapa jam doang. Tambah lagi, rambut sensual gue yang mengembang dan megar layaknya singa betina. 

Si Otong berjalan di depan sebagai penunjuk arah. Diikuti oleh tiga cecunguk di belakangnya. Otong kemudian masuk ke salah satu tempat makan yang menjual bubur ayam. Tiga cecunguk ini pun mengikuti dengan setia. 

Beres menyantap semangkok bubur ayam dan segelas teh hangat, Otong berinisiatif mengajak kami masuk mengitari kampus Unpad. Setelah gue perhatikan, keadaan kampusnya lumayan representatif sebagai tempat belajar. Banyak pohon dan yang pasti udaranya sejuk. Sebelum masuk lebih jauh, si Otong minta izin dulu buat ngecek saldo dulu di ATM centre dekat gerbang masuk.

Sembari menunggu Otong, gue coba melihat ke sekeliling. Astaga, gue baru sadar kalo kami lagi berada di tengah para mahasiswa/i yang sedang bersiap kuliah pagi. Saat itu emang gue pergi bukan pas liburan. Wajar lah kalo banyak mahasiswa/i berseliweran.

Penampilan mereka yang rapi jali sungguhlah sangat kontras kalo dibandingkan kami. Gue sendiri sadar banget kalo diperhatikan oleh beberapa mahasiswi yang berpapasan sama gue. Mungkin mereka ngerasa aneh kali, kok jam segini udah ada gembel yang muncul aja. Ya sudahlah. Terima aja, orang emang itu kenyataannya.

orang dusun
Sayang, kami ngga bisa terlalu lama berada di sana. Karena harus berkejaran waktu demi menghadiri wisuda si Pengkang. Balik ke kosan Otong, lalu segera mempersiapkan diri. Gue sendiri lupa bawa peralatan mandi dan terpaksa minta jatah sabun cair sama shampo dari Bos Onta.

Wisuda si Pengkang bakal diadakan di Dipati Ukur, sedangkan kami masih berada di Jatinangor. Menurut Otong ada dua pilihan buat menuju ke Dipati Ukur. Naik bis Damri yang murah, tapi muter-muter dulu. Atau naik travel yang langsung dan cepat, tapi agak mahal.

Berhubung waktu udah mepet, maka gue dan duo mesum memutuskan naik travel aja demi mengejar waktu. Si Otong sendiri berhalangan ikut sebab harus menjalani tugas sebagai asisten dosen.

Satu jam kemudian, sekitar pukul setengah dua belas gue dan duo mesum udah sampai di kampus Dipati Ukur. Suasana kampusnya ramai dan semarak. Iya lah, kan ada prosesi wisuda. Dan ngga tau kenapa, semua perasaan nyelekit saat melihat orang wisuda, seperti yang gue tulis di postingan ini sama sekali ngga berasa. 

Bahkan gue jadi ikut merasakan aura kebahagiaan yang mereka pancarkan. Mungkin waktu nulis postingan itu pikiran gue lagi diselimuti kegalauan mendalam. Buktinya sekarang gue merasa biasa aja. Time will heal kalo kata orang bule sih. Gue cukup setuju sama ungkapan itu.

Tinggal membiarkan waktu bekerja, maka semua akan baik-baik saja.

Setelah sampai segera gue telepon si Pengkang buat memberi tahu posisi kami.

"Cil, gue udah di gedung satu nih. Lo di mana?" gue bertanya tanpa basa-basi.

"Wih, cepet banget, Bang. Gue di sekitar situ kok, cari aja orang tampan yang lagi make toga."

Jawaban yang sangat apa banget. 

"...... Err Cil, boleh gue perjelas situasinya ngga?" tanya gue.

"Iya, Bang."

"Pertama, lo sama sekali ngga tampan. Kedua, sejauh mata gue memandang udah ada ratusan orang yang pake toga. Ketiga, gue bahkan ngga tau ini pintu masuknya di sebelah mana."

"Oh yaudah, biar gue yang ke sana deh."

"Nah gitu dong! Dari tadi, kek."

Muncullah dia dengan tampang kriminalnya. Dia lalu mengajak berjalan-jalan sejenak di kampusnya. Kemudian gue diperkenalkan sama adik dan juga pacar si Pengkang. Lagi-lagi gue harus dihadapkan pada kenyataan hidup. Pengkang, seonggok manusia yang kadar kebermanfaatannya dalam tatanan hidup masyarakat mendekati nol persen, bisa punya pacar. Cakep pula. Agak aneh aja menurut gue.

Setelahnya kami tentu nggak melewatkan kegiatan wajib kala menghadiri wisuda. Foto-foto. Cuma memang nggak begitu banyak gambar yang diambil. Sekenanya aja. Kemudian kami berkeliling mencari spot yang enak buat duduk-duduk.

iya, gue emang alay
Bagian paling disayangkan, ternyata dia nggak bisa lama-lama bersama gue dan duo mesum. Sebab harus menemui orangtuanya di penginapan sekitar situ. Gue kurang jelas sih perihal apa. Yang jelas kan keluarga mesti didahulukan.

Gue sempat ditawarin buat memperpanjang masa kunjungan sih sama dia. Namun terpaksa gue tolak mengingat kondisi dompet yang kurus kering. Dari rumah gue emang udah ngejatah duit sebanyak limaratus ribu selama di sini. Plus ninggalin kartu ATM biar bisa hemat.


candid ala-ala
Terhitung hanya sekitar 1,5 jam kami bisa bercengkrama. Abis berpisah sama Pengkang, gue dan duo mesum memutuskan untuk makan siang dulu di daerah kampus. Terus langsung meluncur ke Baltos buat pulang ke Depok menggunakan travel.

Untung ngga perlu nunggu lama hingga travel-nya berangkat. Perjalanan pulang emang beda dibanding pas berangkat hari sebelumnya. Macet di mana-mana. Mungkin karena berbarengan sama jam pulang kerja. Total gue habiskan empat jam dari Bandung ke rumah.

Sesampainya di rumah, gue serta-merta mengecek keadaan dompet tersayang. Tersisa dua ratus ribu rupiah lebih sedikit. Lewat perhitungan kasar, berarti gue ngabisin sekitar 300ribu selama dua hari di sana. Tapi bagi gue ngga masalah.

Efek penyegaran yang gue dapat dalam liburan kali ini jauh lebih besar daripada duit yang dikeluarkan. Beberapa jam setelah itu bahkan gue masih senyam-senyum sendiri memikirkan semua hal baik yang baru aja gue lalui. Otak gue berasa segar, pikiran ringan, pokoknya sangat asoy sekali. Jadi kalo ada yang merasa jenuh atau stress dengan rutinitas harian, cobalah piknik sesekali.

Tiba-tiba terlintas di benak gue buat mengucapkan terima kasih pada si Otong atas tumpangannya kemarin. Gue ambillah HP gue yang sengaja gue tinggal sepanjang perjalanan. Ternyata udah banyak banget chat yang masuk selama dua hari kemarin.

“Cuy, jangan lupa revisi kodingan”
“Tugas kemaren kirim ke email gue aja ya”
“Gue udah bikin PPT-nya nih. Nanti lo tambahin poinnya ya.”
dst.
dst.

chat brengsek perusak suasana
Well, yeah.
Selamat datang di kenyataan!


Tulisan Lain

No comments:

Post a Comment